Gagasan Bagi Pembangunan Maritim di Indonesia
Persatuan Pelajar Pascasarjana dan Cendekia Indonesia di Australia (AIPSSA) di Perth (Australia Barat) baru-baru ini menyelenggarakan diskusi membahas masa depan sumber daya maritim di Indonesia. Apa saja yang dibicarakan dalam diskusi tersebut?
Pemerintah Indonesia dinilai cukup berhasil mendorong pemanfaatan potensi kemaritiman yang tinggi, khususnya melalui peningkatan produksi perikanan budidaya dalam kurun waktu lima tahun terakhir.
Namun demikian, upaya untuk mengantisipasi dampak kerusakan lingkungan akibat aktivitas produksi tersebut belum cukup signifikan.
Selain itu, ketimpangan pembagian keuntungan antara petani, tengkulak (middleman) dan pedagang besar masih cukup lebar. Ini disinyalir akan berdampak buruk bagi keberlanjutan tren positif pengelolaan sumberdaya maritim di Indonesia.
Demikian beberapa hal yang menjadi kesimpulan dalam acara diskusi Indonesia Insight yang diselenggarakan pada hari Jumat (26/8/2016) oleh Persatuan Pelajar Pascasarjana dan Cendekia Indonesia di Australia (AIPSSA).
Mengambil tajuk Rethinking Indonesian Maritime Strategy: The Future of Sustainable Development (Berpikir Ulang Mengenai Strategi Maritim Indonesia: Masa Depan Pembangunan Berkelanjutan) kegiatan diskusi yang mengambil tempat di kampus The University of Western Australia (UWA), Perth, tersebut menghadirkan beberapa narasumber yang memiliki kompetensi di bidang kemaritiman.
Maharani Hendrawijaya, mahasiswi doktoral di bidang agricultural and resource economics dari UWA menyampaikan bahwa sumber daya alam Indonesia di bidang kelautan menarik minat sangat tinggi dari korporasi-korporasi global.
Ini sebabnya mengapa Indonesia menjadi produsen perikanan budidaya keempat terbesar di dunia. Maharani, yang juga merupakan peneliti dari Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) menyampaikan bahwa kegiatan produksi perikanan budidaya perlu dibingkai dalam kacamata pembangunan berkelanjutan serta keberpihakan terhadap petani.
Sebagai produsen, selama ini petani dinilai memiliki daya tawar yang rendah ketika berhadapan dengan tengkulak, apalagi dengan perusahaan besar.
Ini dapat dilihat, misalnya, pada kasus petambak udang di Sidoarjo, Jawa Timur. Sebagian besar petambak tidak mempunyai pilihan lain dalam menjual hasil tambaknya kecuali kepada tengkulak, karena para tengkulak telah memberikan pinjaman modal usaha sebelumnya.
Hal ini antara lain disebabkan karena para petambak tidak memiliki akses kepada institusi keuangan formal, seperti bank.
Bila ada bantuan kebijakan pemerintah pada hal ini, petambak akan mempunyai opsi lain selain menjual kepada tengkulak dengan harga yang tidak kompetitif.
Keseimbangan pembagian keuntungan antara petambak, selaku produsen, dan tengkulak atau perusahaan besar, sebagai distributor, akan berdampak bagi keberlanjutan produksi udang di masa yang akan datang.
Keberlanjutan dari sisi lingkungan hidup juga perlu mendapat perhatian pemerintah, sebagaimana disampaikan oleh Achmad Room Fitrianto, mahasiswa doktoral bidang ilmu sosial di Curtin University, serta Hadiyanto, mahasiswa pascasarjana bidang ilmu Biologi di UWA.
Sebagai negara kepulauan, pemanfaatan sumber daya laut sudah menjadi budaya dan tradisi masyarakat. Untuk konsumsi dalam negeri, dampak negatif dari eksploitasi tersebut terbilang sedikit, bahkan nyaris tidak ada.
Namun, menurut Room, yang juga peneliti pada Pusat Bisnis dan Kewirausahaan Islam di UIN Sunan Ampel, Surabaya, tingkat konsumsi yang meningkat akibat persentuhan tradisi perikanan dan globalisasi memiliki potensi untuk melipatgandakan dampak negatif tersebut.
Ini diperkuat oleh adanya temuan dari riset terkini dimana penangkapan ikan dengan menggunakan bahan peledak dan racun adalah sumber utama perusak habitat ikan. Ini sangat berpotensi mengurangi produksi perikanan di Indonesia, seperti diulas Hadiyanto, yang juga merupakan peneliti dari LIPI.
Merunut pada fakta-fakta tersebut, pemerintah selaku regulator diminta tanggap terhadap fenomena ini. Akses terhadap institusi keuangan formal perlu dibuka kepada para petani agar mereka dapat tumbuh dan menikmati profit yang lebih adil, serta tidak lagi di bawah bayang-bayang tengkulak dan korporasi besar.
Terkait aspek lingkungan hidup, penerapan teknologi ramah lingkungan (sebagai contoh: silvikultur pada budidaya udang) perlu didorong agar dapat mengurangi dampak negatif budidaya ikan.
Selain itu, kebijakan makro seperti penetapan kawasan lindung melalui rencana tata ruang pesisir perlu terus diimplementasikan dengan lebih tegas.
Selain dihadiri oleh mahasiswa dan cendekia di Australia Barat, kegiatan diskusi Indonesia Insight ini juga dihadiri oleh Dr. Fadhil Nurdin, dosen pada Program Studi Sosiologi, FISIP, Universitas Padjadjaran.
Kegiatan diskusi Indonesia Insight adalah program rutin yang diselenggarakan oleh AIPSSA. Diskusi rutin ini mengambil tempat di kampus-kampus di Australia dengan tujuan sebagai upaya diseminasi hasil riset pelajar pascasarjana di Australia sekaligus memberikan gagasan konstruktif bagi Pemerintah Indonesia, serta edukasi kepada publik, sebagaimana disampaikan oleh Presiden AIPSSA, Faris Alfadhat.
* Agung Dorodjatoen, mahasiswa doktoral bidang ekonomi geografi di the University of Western Australia dan pengurus AIPSSA periode 2016-2017