ABC

Frances Tiafoe Memikat Hati Penonton Tenis Australia Walau Kalah Dari Nadal

Dalam turnamen tenis besar seperti kejuaraan grandslam seperti yang sedang berlangsung di Melbourne Australia Terbuka 2019 selalu saja ada cerita-cerita menarik mengenai perjalanan karier seorang petennis.

Dan di Melbourne Park kali ini, cerita mengenai latar belakang kehidupan petenis Amerika Serikat Frances Tiafoe mendapat banyak perhatian dari penonton tenis.

Tidak saja Tiafoe berhasil maju ke perempat final untuk pertama kalinya di turnamen grand slam, walau hari Selasa (22/1/2019) kalah dari petenis unggulan kedua Rafael Nadal dalam tiga set, 3-6, 4-6, 2-6.

Dalam konteks kejuaraan tenis besar seperti grandslam, pencapaian perempat final sudah merupakan prestasi bagus apalagi untuk petenis seperti Tiafoe yang baru berusia 21 tahun.

Babak utama turnamen grandslam biasanya diikuti oleh 128 petenis dunia, dan mencapai perempat final berarti Tiafoe merupakan satu dari delapan petenis yang tersisa.

Padahal Tiafoe merupakan petenis peringkat 39 dunia saat ini yang berarti dalam perjalanannya ke perempat final Tiafoe berhasil mengalahkan petenis-petenis yang memiliki peringkat lebih baik darinya.

Di babak kedua Tiafoe mengalahkan petenis Afrika Selatan Kevin Anderson yang merupakan unggulan kelima, dalam pertandingan empat set, 4-6, 6-4, 6-4, 7-5.

Di babak ketiga Tiafoe juga menang atas petenis yang lebih berpengalaman yaitu Andreas Seppi dari Italia dalam pertandingan lebih ketat lima set, 6-7, 6-3, 4-6, 6-4, 6-3.

Dan langkah Tiafoe sebagai pembunuh raksasa berlanjut di babak keempat ketika dia mengalahkan unggulan ke-20 dari Bulgaria Grigor Dimitrov, dengan empat set, 7-5, 7-6, 6-7, dan 7-5.

Yang mengesankan adalah Tiafoe menang atas Dimitrov tanggal 20 Januari lalu bertepatan dengan ulang tahun ke-21 karena dia dilahirkan di tahun 1998.

Tidak ada hadiah paling tinggi bagi seorang petenis profesional selain menang dalam pertandingan penting di hari ulang tahun.

Tidak mengherankan ketika diwawancarai oleh televisi di lapangan setelah pertandingan Taifoe sempat tidak bisa berkata sebentar karena terharu dengan apa yang dicapainya.

Yang juga menarik perhatian penonton tenis di Melbourne Park adalah cara Tiafoe merayakan kemenanganya.

Dia membuka bajunya dan kemudian menunjukkan lengannya yang menggelembung, model merayakan kemenangan seperti yang dilakukan oleh bintang bola basket NBA Amerika Serikat Le Bron James.

Tiafoe memang mengakui bahwa dia sangat mengagumi Le Bron James dan sekarang berharap karena dia mulai terkenal, nanti di satu hari dia bisa bertemu dengan Le Bron James secara pribadi.

Berasal dari Afrika, dan beruntung dapat green card di Amerika Serikat

Frances Tiafoe, front left, with his twin brother Franklin, mother Alphina and father Frances Sr
Frances Tiafoe, kiri bersama saudara kembanya Franklin, ibu Alphina dan ayahnya Frances Sr

BBC

Dari semua apa yang terjadi di Melbourne, cerita yang paling mengesankan adalah bagaimana Frances Tiafoe bisa menjadi pemain tenis dan berprestasi sampai seperti sekarang ini.

Tenis adalah olahraga mahal karena setiap kali bermain kita memerlukan lapangan, raket tenis, bola yang harus berkala diganti, pakaian dan sepatu.

Tidak mengherankan di banyak negara hanya mereka yang berasal dari keluarga kaya yang bisa bermain tenis.

Dan untuk menjadi petenis profesional guna berprestasi di tingkat dunia, petenis dari muda harus pula memiliki dukungan, selain bakat, pelatih dan biaya yang besar guna membiayai perjalanan untuk mengikuti pertandingan.

Ketika dilahirkan di Maryland (Amerika Serikat) di tahun 1998, Tiafoe tidak memiliki semua itu.

Orang tuanya barui tiba dari Sierra Leone, sebuah negara di Afrika yang sering dilanda perang saudara ketika itu.

Keluarga Tiafoe bisa ke Amerika Serikat karena ibunya mendapatkan green card.

Green card adalah visa yang diberikan oleh pemerintah Amerika Serikat bagi banyak warga di dunia untuk bisa tinggal di sana.

Setiap tahunnya AS memberikan jatah green card ke negara-negara kecil dan para warga yang ingin mendaapatkanya harus mendaftar, dan keluarga Tiafoe beruntung mendapatkannya.

Perjumpaannya dengan tenis dimulai ketika ayahnya bekerja di sebuah fasilitas pelatihan tenis di Washington DC dimana dia bekerja sebagai pengurus lapangan.

Karena mereka tidak memiliki rumah yang cukup besar untuk ditinggali, ayah Tiafoe kemudian membawa dua anaknya, Frances dan Franklin yang kembar untuk tinggal di kantor di lapangan tenis tersebut.

Dari situlah kemudian Tiafoe mulai melihat para pemain lain disana bermain tenis, dan mulai ikut-ikutan memukul bola setiap anda kesempatan.

Melihat bakat yang dimilikinya ketika berusia delapan tahun, Taifoe dimasuikkan ke dalam program untuk anak-anak berbakatd di pelatihan tenis tersebut tanpa bayaran, padahal bayaran umumnya adalah sekitar Rp 100 juta per tahun.

Sejak itu perjalanan Tiafoe mendapat banyak perhatian.

Dua surat kabar terkenal di Amerika Serikat The Washington Post dan The New York Times menulis panjang lebar mengenai perjalanannya di dunia tenis ketika dia berusia 14 dan 16 tahun.

The Washington Post's article on Frances Tiafoe when he was 16
Artikel The Washington Post mengenai Frances Tiafoe ketika dia berusia 16 tahun.

Supplied

Salah satu ucapan Tiafoe yang banyak diingat orang adalah ketika dia berjanji akan membawa orang tuanya keluar dari kemiskinan dengan bermain tenis.

“Saya mengatakan kepada orang tua saya 10 tahun bahwa saya akan melakukan hal ini, bahwa saa akan mengubah hidup mereka, dan hidup saya.” kata Tiafoe setelah dia mengalahkan Dimitrov di babak keempat Australia Terbuka tiga hari lalu.

“Sekarang saya mencapai perempat final di turnamen grand slam di usia 21 tahun. Saya hampir tidak bisa mempercayainya.”

Sekarang dia sudah hampir mewujudkan impian tersebut.

Di usianya yang baru 21 tahun, masa depan Tiafoe di dunia tenis pasti akan diikuti dengan seksama oleh banyak pendukungnya, mungkin masih akan diwarnai dengan cerita-cerita mengesankan berikutnya.