Food Not Bombs: Berteman Lewat Makanan Dari Sampah Swalayan
Sebuah kelompok warga di ibukota negara bagian Queensland Brisbane mengolah makanan yang dibuang oleh swalayan menjadi makanan rumahan, yang mereka sajikan untuk orang-orang yang kesepian, terisolasi dan mereka yang tidak mampu membeli makanan.
Sekelompok laki-laki dan perempuan muda berkumpul setiap Jumat di sebuah taman di wilayah West End di pusat kota Brisbane. Mereka tak memiliki izin untuk berada di sana, mereka juga tak percaya bahwa mereka harus meminta izin.
Mereka adalah bagian dari kelompok ‘Food Not Bombs’, gerakan global untuk merebut kembali ruang publik dan memprotes pemborosan makanan yang makin merajalela.
Andy Paine dan teman-temannya mengobrak-abrik tempat pembuangan sampah seminggu sekali selama enam tahun terakhir.
Mereka membongkar satu tempat sampah, mencari makanan segar yang cukup untuk memberi makan 30 sampai 40 orang -sekantong zucchini (labu hijau serupa mentimun), kentang, roti, dan juga pisang serta donat kemasan.
Ada juga minuman ringan yang belum dibuka, yang dibuang oleh supermarket setelah satu kaleng dalam kemasan berisi empat pecah.
Makanan yang masih bisa diolah dicuci, yang rusak diubah menjadi saus, dan yang terlalu rusak dikompos.
“Jumlah makanan yang dibuang ini luar biasa, tetapi itu akan membantu kami menyediakan makanan bagi orang lain,” kata Andy.
Mereka membawa bahan makanan itu ke sebuah rumah komunitas untuk dimasak, mengubah sampah menjadi makanan vegan dan vegetarian.
“Kami tak hanya mengurangi limbah makanan,” ujar Andy.
“Limbah makanan juga termasuk makan di depan TV dan tak memikirkan potensinya,” kata Andy.
Ia menjelaskan, “Tak berpikir tentang apa yang bisa kita lakukan dengan makanan kita, masyarakat apa yang bisa kita bangun, bagaimana kita bisa menjangkau orang-orang, bagaimana kita bisa menggunakan jalanan.”
“Itulah yang dilakukan ‘Food Not Bombs’; kami mengangankan dunia yang berbeda dan cara yang berbeda untuk makan,” imbuhnya.
Jalin persahabatan lewat makanan
Sebagai bagian dari ritual mingguan mereka, kelompok bertelanjang kaki ini membawa makanan untuk orang-orang yang membutuhkan, dari rumah komunitas ke sebuah taman di Boundary Street.
Di antara sejumlah sajian pekan lalu adalah sup wortel, kentang tumbuk dengan safron, jamur, tumis terong dan jahe, pie apel dan salad buah.
Mereka juga membuat kue wortel untuk salah satu pelanggan tetap yang merayakan ulang tahun -yakni Paul, si tunarungu.
“Ia tinggal di daerah ini dan menjalani kehidupan yang cukup terisolasi. Ia telah menjadi berkat yang nyata, ia mengajarkan kami bahasa isyarat,” kata Andy.
“Kami telah menjalin persahabatan yang lama,” ungkap Andy.
“Jika ia tak muncul, saya mengirim pesan teks untuk memastikan bahwa ia baik-baik saja,” sebutnya.
Paul tak mau diwawancarai atau difoto, tetapi mereka yang ada di sana bisa melihat kegembiraan di wajahnya.
Kelompok ini mengelilinginya untuk memberi isyarat “selamat ulang tahun” sambil meniup lilin.
Brendon Donohue telah menjadi pengunjung rutin di acara ‘Food Not Bombs’ selama 1,5 tahun terakhir.
Ia seorang tunanetra.
“Saya mencari lebih banyak interaksi sosial,” ujarnya.
Ia menuturkan, “Sebagai orang buta, sangat sulit untuk berada di tengah masyarakat dan pergi ke tempat-tempat sosial yang menerima beragam orang.”
“Semua orang diterima di sini, terlepas dari keterbatasan kami,” ujar Brendon.
“Ini memberi saya perasaan diterima di tengah masyarakat,” ungkapnya.
William Hunter, yang memiliki masalah kesehatan mental, seringkali datang tiap hari Jumat sejak Juli 2014.
“Saya sedikit terlibat dengan kejahatan kecil dan sejenisnya dan saya agak tak sehat secara mental karena narkoba,” ujarnya.
“Saya jauh lebih baik sekarang tapi kadang-kadang saya masih kesepian, jadi saya datang ke sini dan berbicara dengan teman-teman saya,” kata William.
“Mereka orang-orang baik, mereka berhati baik dan Anda bisa mengobrol dengan hangat,” utaranya.
Ia menyebut, “Saya sudah pensiun dan itu membantu, itu makanan gratis.”
Andy mengatakan, mereka ingin menciptakan sebuah lingkungan di mana orang-orang bisa menjalin pertemanan dan bertemu orang baru setiap minggu.
“Kami menerima orang asing dan menggunakan makanan sebagai sumber untuk membangun komunitas -menggunakan makanan di luar fungsinya untuk mengisi tubuh kita,” utaranya.