ABC

Film ‘Utopia’ Tampilkan Penderitaan Aborigin

Tiket untuk menonton film dokumenter kontroversial tentang kaum bumiputera Aborigin yang diputar di Araluen Arts Centre di kota Alice Springs, Wilayah Utara Australia, akhir pekan lalu, terjual habis. Film 'Utopia'  bernuansa suram tersebut menampilkan berbagai penderitaan kaum Aborigin, seperti mengalami kekerasan oleh polisi dan hidup dalam kondisi setara dunia ketiga meskipun tinggal di salah satu negara terkaya di dunia.

Pemutaran perdana Utopia, karya John Pilger, sebelumnya diadakan di Redfern, New South Wales.

Syuting film diadakan selama dua tahun di lokasi-lokasi termasuk Sydney, Australia Barat, dan Australia bagian tengah. Utopia mengkritik pedas kebijakan-kebijakan pemerintah Australia terkait kaum bumiputeranya.

Selain itu, film ini juga mengemukakan pendapat bahwa tindakan Intervensi di Wilayah Utara (NT Intervention), didasari oleh kebohongan tentang banyaknya kekerasan seksual di komunitas-komunitas Aborigin dari pihak pemerintah, dibantu oleh media.

Tindakan-tindakan tersebut termasuk pembatasan penjualan alkohol, penambahan jumlah polisi di komunitas-komunitas terpencil, dan juga perubahan sistem perizinan dalam memasuki komunitas serta perihal sewa lahan.

Intervensi Wilayah Utara ini sempat dikritik justru memperburuk kondisi kaum Aborigin, dan ada yang melihat bahwa tindakan tersebut merupakan cara agar para pengusaha tambang mendapat akses ke tanah bumiputera.

Tokoh-tokoh dalam Utopia termasuk Patricia Morton Thomas, yang keponakannya meninggal dalam tahanan polisi tahun 2012 dan aktivis dan mantan kandidat senat wilayah utara Rosalie Kunoth Monks.

Pemutaran film di Alice Springs akhir pekan lalu disponsori cabang partai hijau setempat dan dibuka oleh penjaga Mparntwe / Alice Springs, Doris Stuart.

"Sulit untuk tetap menonton film itu dan merasa bangga tentang apa yang kita lakukan pada para bumiputra," komentar salah satu penonton setelah film usai diputar, "Sayangnya, saya ada firasat, 20 tahun dari sekarang kita akan menonton film yang sama dan tidak banyak yang berubah."

Satu penonton menyetujui gagasan bahwa Australia harus meminta bantuan dari luar negeri terkait masalah ini. "Mungkin kita memang butuh seseorang dari luar, dari Perserikatan Bangsa-Bangsa, untuk masuk dan berkata, mari kita targetkan daerah-daerah ini dan entaskan kemiskinan di kalangan Aborigin."

Dr Elizabeth Lewis, dokter yang menghabiskan 11 tahun bekerja di bidang kesehatan bumiputra mengatakan setuju dengan pendapat film itu, bahwa tidaklah benar ada banyak kekerasan seksual di komunitas bumiputra, sebelum intervensi dilangsungkan.

"Saya bekerja di bidang kesehatan seksual selama tiga tahun [setelah] intervensi, dan tak banyak bukti," ucapnya.

"Saat saya ke Darwin, [kita] mengurusi kasus-kasus kekerasan seksual yang bukan dari kalangan bumiputera, dan di Alice Springs tak terlalu banyak –  saya bertugas 24 jam sehari selama dua tahun dan saya dipanggil ke luar kira-kira enam kali."

Salah seorang penonton, Harold Furber, terhenyak saat melihat adegan di mana Pilger dan tetua Noel Nannup mengunjungi fasilitas wisata yang tadinya merupakan penjara di mana banyak kaum Aborigin ditahan.

"Orang-orang Aborigin ini ditahan di sana dan meninggal dalam sel, dan sel-sel ini diubah jadi akomodasi turis," komentar Furber.

Utopia disambut baik di Inggris Raya, tapi respon di Australia beragam.

Ada yang mengkritik bahwa tak ada juru bicara bumiputera yang terkenal yang diwawancara dalam film ini, dan isu alkoholisme dan kekerasan di kalangan bumiputra tidak disinggung.

Gerard Henderson dari the Sydney Institute, menulis di The Australian bahwa film tersebut merupakan 'propaganda tanpa ampun'.

Sedangkan Kieran Finnane, dari Alice Springs News Online, mengkritik bahwa Pilger menciptakan polemik yang menyederhanakan. Pilger juga dituduh mengabaikan informasi yang bertentangan dengan pendapatnya dan menggiring narasumber yang Ia wawancarai.

Salah seorang penduduk yang tak ingin disebut namanya berkomentar: "Pameran yang mengejutkan dan menakutkan tak cukup untuk membawa perubahan. Bahkan, saya rasa banyak penduduk Australia yang sudah jenuh dengan kerugian bumiputera, dan [ini justru] mempertahankan anggapan bahwa kaum bumiputera tak berdaya dan tak sanggup berdiri sendiri."

"Saya rasa yang amat kita butuhkan adalah cerita tentang harapan, kemampuan bertahan hidup dan perjuangan perlawanan," tambahnya.