ABC

Film Pembajakan Film Sedot Perhatian Melbourne Film Festival 2017

Sebuah film yang mengisahkan tentang pembajakan film menjadi pusat perhatian dalam event Melbourne International Film Festival (MIFF) tahun ini.

Ketika sutradara Australia, Sam Voutas melihat film bajakan dari film China pertamanya, ‘Red Light Revolution’ di jalan-jalan di Beijing, dia menggunakan pengalaman tersebut sebagai sumber inspirasi untuk besutannya yang terbaru.

“Kami mendapati dalam waktu sekitar satu minggu setelah film ‘Red Light Revolution’ diluncurkan di Inggris, film tersebut tersedia dalam versi bajakan di jalanan di Beijing,” kata Voutas.

“Saya pikir daripada marah, lebih baik saya menggunakan ini sebagai inspirasi untuk menceritakan sebuah kisah tentang tim pembajak film ayah dan anak.”

Hal ini mengakibatkan King of Peking, yang mengambil setting tahun 1998 dan menceritakan tentang proyektor film Big Wong, yang takut kehilangan hak asuh anaknya ‘Little Wong’ sementara mantan istrinya menuntut dukungan darinya.

Jun Zhao and Wang Naixun in King of Peking.
Jun Zhao dan Wang Naixun dalam film 'King of Peking'.

Photo oleh Angus Gibson.

“Film ini bercerita tentang seorang operator proyektor film yang membajak film untuk melunasi tunjangan bagi mantan isterinya,” kata Voutas.

Untuk mendapatkan uang tambahan dia pun mulai melakukan bisnis DVD bajakan. Seiring dengan bisnisnya yang mulai booming, tekanan yang dihadapinya meningkat dalam ukuran yang sama.

“Pada intinya ini cerita mengenai ayah-anak yang dibuat pada tahun 1990an ketika bioskop mulai berubah di China, saat DVD mulai memasuki pasar, yang kemudian mengubah cara orang menonton film.”

Drifter Beijing dari Australia

Voutas pindah ke Beijing pada tahun 1986 bersama orang tuanya selama tiga tahun, diikuti oleh masa tinggal yang jauh lebih lama di tahun 1991.

Setelah menyelesaikan sekolah menengah di China, dia kembali ke Australia untuk mempelajari seni pembuatan film di Victoria College of the Arts.

Voutas memutuskan untuk kembali ke China untuk mengembangkan karirnya di industri perfilman China setelah lulus, tapi bahkan setelah tinggal di negara tersebut selama bertahun-tahun dia masih berjuang dengan Bahasa China.

“Saya tidak pernah menjadi pembelajar bahasa China yang sangat baik,” katanya “Saya tidak suka pekerjaan rumah, tidak suka menghafal.”

Untuk mendapatkan pemahaman bahasa yang lebih baik, dia menyewa seorang tutor Mandarin, yang akan dia temui di kedai kopi dan mengobrol dengan santai.

“Saya membawa buku catatan dan saya menuliskan kata-kata yang tidak saya ketahui. Itulah dasarnya pendekatan yang saya lakukan untuk belajar bahasa China, yang jauh lebih membumi, teknik percakapan,” katanya. 

Bangkitnya perfilman China

Setelah tinggal di Beijing selama lebih dari satu dekade, Voutas cukup beruntung ntuk mengalami perkembangan industri film kontemporer China.

Behind the scenes film 'King of Peking', yang ditayangkan di MIFF 2017.
Behind the scenes film 'King of Peking', yang ditayangkan di MIFF 2017.

Photo oleh Angus Gibson.

Selama periode itu, film Hong Kong dan Taiwan sudah diproduksi dalam bentuk kaset video, menjadikan ‘ruang video’ alias bioskop-bioskop menjadi bisnis yang ‘booming’ di China.

Ketika Voutas kembali ke China pada pertengahan tahun 90-an, dia menemukan bahwa ruang video atau bioskop-bioskop itu telah hilang, dan telah berganti dengan DVD, bioskop rumahan dan TV layar lebar.

“Kedatangan era internet membuat China dan Australia lebih dekat dari sebelumnya. Sekarang anda bisa melihat film China di bioskop Australia tanpa menunggu pergi ke China selama Tahun Baru Imlek,” kata Voutas.

Dalam beberapa tahun belakangan ini, industri film China dan Australia sering berkolaborasi.

“Saya berharap lebih banyak film-film Australia dapat diambil gambarnya di China di masa depan.”