ABC

Film ‘Hijab’ Sukses Hibur Pengunjung Festival Film Indonesia di Australia

Film Hijab karya Hanung Bramantyo diputar di hari keempat Festival Film Indonesia. Film yang menggambarkan fenomena hijab bergaya modern tersebut telah membuat banyak penonton tertawa.

Jika dibandingkan dengan pemutaran film-film sebelumnya, penonton film Hijab di Festival Film Indonesia 2016 tidak sebanyak penonton film seperti Filosofi Kopi atau Negeri Van Oranje.

Bisa jadi karena film ini diputar di Minggu malam, di saat banyak warga sudah bersantai di rumah menjelang beraktivitas di Senin pagi.

Tetapi yang menarik adalah film Hijab justru menarik lebih banyak penonton dari kalangan warga lokal kota Melbourne.

Salah satunya adalah sekelompok warga Melbourne yang sedang mengambil kursus bahasa Indonesia.

Carissa Paramita menjawab sesi pertanyaan usai pemutaran film Hijab. Photo: FFI Australia
Carissa Paramita menjawab sesi pertanyaan usai pemutaran film Hijab. Photo: FFI Australia

Film diawali dengan sambutan Carissa Putri, pemeran salah satu karakter utama dalam film tersebut.

"Film ini terdengar serius, tetapi sebenarnya sangat lucu," ujar Carissa.

Betul saja sejak awal film, gelak tawa dari penonton sudah terdengar. Sebagian warga lokal pun seolah mengerti bercandaan dalam bahasa Indonesia, yang memang mudah dicerna.

Film ini menceritakan empat sosok perempuan yang bersahabat. Mereka kemudian memutuskan membuka bisnis berjualan pakaian Muslim dan hijab.

Hingga akhirnya bisnis mereka berjalan lancar dan semakin digemari, sampai kemudian mulai menimbulkan masalah.

Perjuangan mereka berjualan membuahkan hasil, tetapi mendapat tantangan baru. Para suami mulai merasa tidak nyaman dengan istri-istri mereka yang bekerja dan menghasilkan uang lebih banyak. 

Banyak warga lokal yang ikut menonton pemutaran film Hijab. Foto: FFI Australia
Banyak warga lokal yang ikut menonton pemutaran film Hijab. Foto: FFI Australia

Usai pemutaran film, digelar sesi tanya jawab dengan Carissa Putri.

Sejumlah pertanyaan diajukan oleh para penonton, khususnya warga lokal kota Melbourne yang tentunya mendapatkan sesuatu yang berbeda dari budaya Indonesia yang digambarkan dalam film tersebut.

"Sepertinya film ini sangat propaganda, adanya 'hukuman' dari wanita yang bekerja, anaknya yang sakit, suami yang meninggalkannya," ujar salah satu penonton.

Carissa menjelaskan bahwa film ini sendiri pernah menimbulkan kontroversi saat diputar di Indonesia.

"Ada sebagian warga yang merasa bahwa kehidupan Muslim tidaklah seperti itu, apa yang diceritakan dalam cerita film tersebut sangat tidak Islami," jelasnya.

"Kemudian pendapat ini semakin kuat, bahkan mereka yang tadinya senang dengan film ini berubah pemikiran. Seperti bola salju, satu pendapat kemudian mempengaruhi yang lainnya, sehingga akhirnya film ini menjadi tidak terlalu populer…," tambah Carissa.

Suasana Festival Film Indonesia di ACMI, Melbourne. Foto: FFI Australia
Suasana Festival Film Indonesia di ACMI, Melbourne. Foto: FFI Australia

Tetapi Carissa tidak terlalu paham dari mana kontroversi ini berawal mula.

"Film mas Hanung memang kebanyakan mengangkat tema yang berpotensi menjadi kontroversial, tetapi tidak diceritakan secara gamblang," ujar kehadapan para penonton

"Seperti kita lihat banyak tertawaan dalam film ini, yang kemudian pada puncaknya, ia twist hingga mulai diperkenalkan masalahnya."

Festival Film Indonesia di Melbourne masih bisa dinikmati di ACMI, Federation Square, hingga 20 April mendatang.

Festival ini diselenggarakan oleh Perhimpunan Pelajar Indonesia di Australia dari University of Melbourne.