Festival Multikultur di Canberra Tak Sekadar Jualan Makanan
Aroma National Multicultural Festival sudah dapat tercium dari jauh, sebelum kita melihat dan mendengarnya.
Harumnya rempah-rempah, daging panggang, dan manis-manisan begitu terasa, menarik orang-orang yang lewat untuk mampir.
Aroma rempah-rempah, daging panggang dan kelezatan begitu terasa di udara sekitar situ, mengunggah selera orang-orang yang lewat.
Tapi, acara yang digelar selama tiga hari di ibu kota Australia, Canberra, ini lebih dari sekadar untuk mencicipi masakan lezat dari berbagai negara.
Sejak tahun 1996, National Multicultural Festival telah mengajak warga Canberra dan pengunjung dari kota lain, untuk merayakan keberagaman di Australia.
Tahun ini acara digelar pada 17 hingga 19 Februari 2017 lalu.
Kelompok tari Brisas del Peru misalnya, telah datang khusus dari Sydney untuk tampil tahun ini.
Sebuah kelompok tari dari murid-murid SD dalam balutan kostum berwarna pink dan putih berkilauan terlihat menunggu di belakang panggung. Mereka meluapkan rasa gelisah dengan melompat-lompat dan berlarian.
Kelompok tari lainnya adalah remaja berusia awal 20-an, dengan kostum manik-manik dan hiasan kepala berbulu, sedang menunggu untuk tampil di dekat panggung.
Tristan Balarezo menjelaskan tarian dibawakan adalah berasal dari suku Inca di Amerika Selatan.
Sementara bagi Nabeela Rais dan teman-temannya, festival ini adalah kesempatan bagi mereka untuk lebih memperkenalkan agamanya, yakni Islam.
“Kami di sini hanya untuk menjelaskan kesalahpahaman tentang Islam. Karena saat ini, Anda melihat ada banyak propaganda,” katanya.
“Kami ingin orang tahu bahwa Islam itu agama damai. Kami mempromosikan perdamaian, kami mengutuk semua pembunuhan. Kami ada di sini bersama semua masyarakat dan membutuhkan dukungan mereka,” katanya.
Di sudut lainnya, penonton mengikuti gerakan Tai Chi di atas panggung. Kemudian, sekelompok perempuan dalam pakaian tradisional China menari dengan payung.
Xiaohui Zhang, seorang guru bahasa dari Australian School of Contemporary Chinese, sedang menunggu siswanya untuk tampil di atas panggung.
“Kami sangat senang. Kami akan menari nanti,” ujarnya tersenyum.
Xiahui sudah menghadiri festival ini setiap tahunnya, selama satu dekade.
“Saya pikir hal terbaik adalah negara yang berbeda, orang-orang yang berbeda, semua berkumpul bersama dengan gembira,” katanya.
Terlihat di antara kerumunan sibuk, Isabella Vittorino sedang bersama keponakannya, Ana, yang mengenakan gaun merah dan putih berenda.
Mengapa dia memakai gaun yang terlihat luar biasa?
“Karena saya Kolombia,” jawabnya sambil cekikikan.
Pengunjung lainnya, Lucy Sugarman dan Julian Viali sedang merayakan Hari Valentine yang tertunda.
Tahun ini, sudah dua kali Lucy datang ke festival, yakni pada Jumat malam dan hari Sabtu.
Pasangan ini cukup senang dengan masakan khas Thailanda, pad thai yang baru saja mereka beli. Mereka menjelaskan mengapa mereka datang terus ke acara ini.
“Saya pikir acara ini mengagumkan, melihat semua orang datang bersama-sama. Dan mereka tidak peduli dengan apa yang mereka lihat seperti, asal suku, keyakinan, dan hal lainnya,” kata Lucy.
“Saya senang melihat begitu banyak orang datang merayakan keberagaman dunia.”
Diterbitkan oleh Erwin Renaldi pada 20/02/2017 pukul 12:30 AEST dari artikel aslinya dalam Bahasa Inggris yang bisa dibaca di sini.