ABC

Fenomena Kelas Menengah Muslim RI Dibahas di Melbourne

Kelas menengah Muslim di Indonesia semakin menonjol dalam mengekspresikan aspirasi kultural mereka dalam mengonsumsi barang dan jasa di dalam sistem kapitalisme. Mereka memerlukan rasa aman untuk memastikan proses konsumsi tersebut sejalan dengan pegangan mereka.

Demikian benang merah yang dapat ditarik dari kuliah umum dosen Ilmu Komunikasi Universitas Indonesia Dr Inaya Rakhmani di kampus Melbourne University, Rabu (9/8/2017) malam.

Kuliah dan diskusi bertema Manufacturing Morality: Middle-Class Muslims and Cultural Consumption in Neoliberal Indonesia ini merupakan bagian dari Indonesia Initiative pada Fakultas Arts di Melbourne University.

Dalam pemaparannya, Inaya menyebutkan secara gradual terjadi proses Islamisasi ruang-ruang publik yang beriringan dengan terpaan kapitalisme pasar yang juga semakin marak.

Menurut dia, mobilisasi kelas menengah Muslim dalam jumlah sangat besar seperti terjadi dalam Aksi 212 di Jakarta misalnya, tidak akan terjadi tanpa adanya proses Islamisasi ruang publik tersebut.

"Narasi anti sekuler, anti pluralisme dan anti liberalisme merupakan narasi yang menjadi basis berkumpulnya massa di aksi demonstrasi 212," paparnya.

“Saya ingin memahami hal ini sebagai instrumen dalam perubahan sosial yang cepat, dan perubahan sosial seperti apa yang memungkinkan narasi tersebut mencuat ke permukaan,” kata Inaya yang juga anggota Akademi Ilmuwan Muda Indonesia (ALMI).

Dia mengutip riset pasar dari salah satu lembaga yang menyebutkan dari sekitar 25 persen kelas menengah Indonesia di tahun 1999 telah tumbuh menjadi 45 persen di tahun 2010. Jika trennya sama, diperkirakan akan menjadi 85 persen di tahun 2020.

Tren petumbuhan kelas menengah Indonesia itu, menurut dia, bisa saja berlebihan. “Namun yang bisa dipastikan adalah bahwa mayoritas populasi akan terdiri atas kelas menengah,” katanya, seperti dilaporkan wartawan ABC Farid M. Ibrahim.

p-Ef9kO5.jpg
Dr Inaya Rakhmani.

(Foto: Twitter/@Inaya Rakhmani)

Inaya kemudian memaparkan adanya kekhawatiran kelas menengah yang juga dirasakan di berbagai negara demokrasi lainnya, terkait pendidikan, kesehatan, lapangan kerja dan lainnya.

Dia menjelaskan bahwa yang khas di kalangan kelas menengah Indonesia adalah karena sepanjang Orde Baru narasi Islam terkekang sehingga kemudian muncul menjadi semacam pegangan yang fundamental.

Dalam kaitan itu, ketersediaan barang dan jasa secara mudah dan cepat dalam pasar kapitalisme, haruslah disesuaikan dengan kebutuhan akan pegangan di kalangan kelas menengah tersebut, agar bisa diterima.

“Artinya perlu menciptakan koridor yang diperlukan bagi kelas menengah Muslim untuk merasa aman dalam mengkonsumsi barang dan jasa tersebut,” katanya.

Mengutip analisa Ariel Heryanto, Inaya menyebutkan bahwa audience Muslim juga ingin mengekspresikan diri sehingga mendorong tumbuhnya konsumerisme di kalangan Islam.

"Setiap momen konsumsi selalu bermakna untuk mengekspresikan identitasnya. Sebagai cara menunjukkan bahwa saya seorang Muslim," katanya.

“Dan menunjukkan ke temannya bahwa saya Muslim karena saya menggunakan produk halal,” tambah Inaya.

Dia mencontohkan konsumsi berbasis kultural ini terjadi di bidang fashion, wisata, pendidikan, kesehatan. “Saya juga menemukan rumah sakit syar’i, ada standarisasi perumahan Islami, dan lainnya,” katanya.

Menurut Inaya, adanya standar seperti arah kiblat dan tempat wudhu di hotel-hotel syariah atau tidak adanya kandungan alkohol dalam obat-obatan akan menimbulkan rasa aman bagi kelas menengah untuk mengkonsumsi produk dan jasa tersebut.

“Di tahun 2016 Presiden Jokowi bahkan meluncurkan wisata halal, dan banyak biro perjalanan dan maskapai penerbangan mempromosikan wisata halal seperti ke Sumatera Barat yang menjadi pelopor dalam hal ini,” paparnya.

Dijelaskan bahwa paket wisata halal itu sudah mencakup jadwal shalat dan makanan halal sehingga peserta wisata tak perlu khawatir harus memisahkan diri dari grupnya demi menunaikan shalat.

Fenomena-fenomena ini, menurut Inaya yang juga kepala Pusat Studi Komunikasi UI, menunjukkan adanya aspirasi kelas menengah Muslim untuk melakukan mobilitas ke atas.

“Mobilitas ke atas hanya akan berjalan aman dengan adanya koridor halal, sebab semakin tinggi posisi sosialnya akan semakin terekspos dengan sekulerisme, pluralisme dan liberalisasi,” paparnya lagi.

Namun Inaya menyatakan fenomena ini justru menampilkan jarak antara kelas menengah Muslim dengan kalangan masyarakat bawah.

“Pada saat shalat di masjid mereka datang di saat istirahat dari pekerjaan dan kembali kerja setelahnya tanpa banyak berinteraksi dengan Muslim lainnya dari kalangan bawah,” katanya.

Selain itu, kata, juga menciptakan kesan Islam monolitik, dimana dengan mengenakan hijab atau baju koko lebih sebagai simbol bahwa mereka bagian dari kelompok Islam.

Kesimpulannya, menurut Inaya, konsumerisme Islam menciptakan paradoks. “Di satu sisi membantu mobilitas kelas menengah namun di sisi lain menciptakan jarak dengan kelas bawah,” ujarnya.