ABC

Facebook Tutup Akun Pengguna yang Muat Foto Telanjang Dada Perempuan Aborijin

Facebook telah menutup sejumlah profil pengguna yang meneruskan sebuah artikel tentang feminisme Aborijin, karena artikel itu mengandung sebuah foto dua perempuan adat dalam pakaian tradisional.

Facebook tak mengizinkan foto payudara telanjang diunggah.

Celeste Liddle, seorang penulis dan feminis, berpidato di peringatan Hari Perempuan Internasional yang diselenggarakan Pusat Perempuan ‘Queen Victoria’, dan pidatonya itu diterbitkan oleh publikasi online ‘New Matilda’.

"Fokus utama dari keseluruhan ini adalah persimpangan antara feminisme dan hak Adat," sebutnya.

Ketika New Matilda menerbitkan pidato itu, hasil publikasinya termasuk foto dua perempuan yang berpartisipasi dalam upacara, dengan mengenakan cat tubuh tradisional dan bertelanjang dada.

Pidato Celeste telah menyebutkan insiden sebelumnya di mana Facebook telah menghentikan ia untuk meneruskan gambar perempuan Aborijin yang sedang menari, yang juga sedang bertelanjang dada.

"New Matilda ingin mempublikasikannya karena itu feminisme Adat, dan mengapa mereka memilih gambar itu untuk menemani fotonya karena dalam pidato itu sendiri, saya berbicara tentang bagaimana halaman saya telah diserang oleh orang-orang jahat dan kemudian diancam oleh Facebook karena saya mengunggah video cuplikan dari seri komedi 8MMM,” ungkap Celeste.

Ia menambahkan, "Dan Facebook menghapus konten itu karena ada gambar perempuan gurun berhias cat tradisional, melakukan tarian tradisional.”

"Jadi gambar itu menyertai topik utama yang saya buat, dalam konteks pidato," sambungnya.

Setelah New Matilda menerbitkan artikel itu, Facebook menutup akun Celeste. Media social ini juga menangguhkan akun pengguna yang telah meneruskan artikel itu.

"Mereka menutupnya karena alasan ketelanjangan, jadi itulah alasan yang mereka berikan – ketelanjangan dan gambar seksual yang eksplisit," ungkap Celeste.

Ia menuturkan, "Jadi mereka menganggap gambar perempuan Aborijin berhias cat tradisional ini sebagai ketelanjangan dan gambar seksual yang eksplisit, yang tentu saja bukan, itu adalah gambar perempuan mempraktekan budaya berusia beberapa millenium."

Celeste telah berusaha untuk menghubungi Facebook tentang masalah ini, tapi tidak berhasil.

Ia mengatakan, Facebook tak memiliki pemahaman tentang budaya Aborijin.

Luke Pearson, direktur pendiri dari proyek media sosial IndigenousX, mengatakan, situasi ini memalukan.

"Sayangnya, tak banyak dari hal ini mengguncang saya lagi, tapi jelas, 'kecewa' saya pikir akan menjadi respon terbaik. Ini adalah foto sempurna yang sesuai dalam konteks sebuah artikel yang telah ditulis,” sebutnya.

"Dan Facebook, yang benar-benar terkenal karena menolak untuk  menutup halaman rasis yang mengerikan terhadap orang Aborijin,  yang melarang Celeste karena foto ini, sungguh menggelikan," lanjutnya.

Facebook membela tindakannya

Celeste telah meluncurkan sebuah petisi, yang bertujuan untuk membuat Facebook meninjau kebijakannya dan membuat mereka lebih inklusif secara budaya.

Ironisnya, para pengguna yang meneruskan petisi itu juga menghadapi pemblokiran.

"Dalam 11 jam, petisi itu sudah memperoleh 10.000 pendukung dan cukup luas disebarkan. Tapi lucunya, petisi itu juga telah dilarang diunggah di Facebook, atau diturunkan dari beberapa posting, karena saya memasukkan gambar yang digunakan New Matilda dalam laporan berita asli mereka untuk menunjukkan apa yang sebenarnya dilarang Facebook," kemuka Celeste.

Luke berharap bahwa dukungan publik akan memaksa Facebook untuk memiliki perubahan hati.

Tapi Facebook telah membela aksinya.

Dalam sebuah pernyataan tertulis, juru bicara perusahaan mengatakan, "Kami menyadari bahwa para pengguna terkadang berbagi konten yang mengandung ketelanjangan karena alasan seperti kampanye kesadaran, proyek seni atau investigasi budaya.”

"Alasan kami membatasi tampilan ketelanjangan adalah karena beberapa penonton dalam komunitas global kami mungkin sensitif terhadap jenis konten ini – terutama karena latar belakang budaya atau usia.”

"Dalam rangka untuk memperlakukan orang secara adil dan menanggapi laporan dengan cepat, penting bahwa kami memiliki kebijakan di mana tim global kami bisa menerapkannya secara sama dan mudah ketika meninjau konten.”