Evolusi Pelajaran Sejarah Aborijin Tasmania Untuk Siswa di Australia
“Kaget”, “kesal” dan “bangga” adalah beberapa reaksi dari sejumlah siswa sekolah berusia 11 tahun di Tasmania terhadap pelajaran sejarah Aborijin.
Si kembar Noah dan Xavier Clarke memiliki garis keturunan Aborijin. Mereka mengatakan bahwa kelas ini membuat mereka merasa kesal, tapi sekaligus bangga dengan asal-usul mereka.
Buku pelajaran berjudul ‘From Gumnuts to Buttons’ memberi para siswa pengetahuan tentang pendudukan Eropa melalui perspektif warga Aborijin Tasmania.
Gumnuts melambangkan warga Aborigin, sementara Buttons melambangkan kolonis berkulit putih.
Pada awal pelajaran, para siswa kelas 5/6 di SD Austins Ferry dipecah menjadi kelompok-kelompok yang mewakili suku-suku Aborijin Tasmania dan diminta untuk menggambarkan apa yang mungkin mereka butuhkan di daerah tersebut sebelum kolonisasi, di atas kertas.
Anak-anak tersebut menggambarkan api, peralatan, makanan dan tempat berlindung sebelum meletakkan kertas mereka di atas peta Tasmania tempat di mana klan ini bermukim.
Ketika kelas membaca sebuah buku tentang invasi Eropa, karya seni mereka secara sistematis dilipat, untuk melambangkan kehancuran budaya.
Hal ini membuat para siswa terkejut, beberapa di antaranya bahkan terengah-engah.
“Menggambar itu terasa seperti buang-buang waktu,” kata Noah Clarke.
"Bayangkan saja, orang-orang Aborijin telah melakukan sesuatu di tanah mereka dan Inggris masuk begitu saja lalu menghancurkannya, dan pada dasarnya, mengambil alih mereka,” tutur Noah.
“Kami saling memberi tahu, tapi mereka menari dan menggambar di dinding untuk berkomunikasi, itu sangat keren,” imbuhnya.
Diperlakukan dengan sangat buruk
Izak Crosswell mengatakan bahwa ia terkejut mendengar bagaimana orang Aborijin diperlakukan oleh para pendatang.
“Saya mengetahui bahwa ketika Inggris datang ke Tasmania, orang-orang Aborijin benar-benar mencoba untuk bersikap damai,” sebutnya.
Ia berujar, “Yang mereka dapatkan malah kebencian dan sikap tidak hormat.”
“Saya belajar banyak hal yang saya tak ketahui tentang orang Aborijin Tasmania, seperti misalnya mereka hanya mendapat sedikit pengembalian tanah,” jelas Ella Alexander.
“Mereka diperlakukan sangat buruk,” imbuhnya.
Ia mengatakan, “Ada bahasa yang tak bisa diingat siapapun dan mungkin mereka tak akan pernah bisa digunakan lagi.”
Riley Burton mengatakan, kelas ini membuatnya merenungkan asal-usul Aborijinnya.
"Saya merasa agak kesal … mereka diperlakukan tidak adil, tapi saya bangga bahwa saya orang Aborijin," kata Riley.
Semua anak setuju bahwa masih banyak yang bisa dipelajari, dan mereka ingin memperluas pengetahuan mereka tentang budaya dan sejarah Aborijin Tasmania.
“Ingin membaca lebih banyak,” kata Xavier.
“Saya ingin melakukan sesuatu ketika sudah cukup umur untuk terlibat dengan budaya Aborijin,” ujarnya.
Izak mengatakan, sains bisa membantu.
“Masih banyak yang harus dipelajari dan masih banyak yang perlu dipelajari para ilmuwan,” sebutnya.
Guru para siswa tersebut, yakni Jonathon Cook, mengatakan, penting bahwa kurikulum tak melewatkan periode-periode sulit dari sejarah Tasmania.
"Kami memiliki siswa berusia usia 11 dan 12 tahun di kelas dan beberapa di antara sejarah itu bisa menantang, realitanya," ujar Jonathan Cook.
“Untuk mendapat kemampuan empati dan kecerdasan emosional itu, kami perlu menghadapkan mereka dengan kebenaran, sehingga mereka bisa menjalin hubungan nyata dengan masa lalu dan masa kini,” jelasnya.
"Hal pertama yang ingin saya lakukan adalah memperlakukan orang Aborijin Tasmania dengan hormat dan itu menjadi prioritas utama saya,” kata Jonathan Cook.
“Itulah sebabnya sumber daya ini sangat fantastis karena dirancang oleh layanan pendidikan Aborijin bersama dengan komunitas Aborijin Tasmania dan itu memberi saya kepercayaan diri untuk menjalankan aktivitas ini dan sumber daya ini di kelas,” terangnya.
Kurikulum harus mencakup sejarah Aborijin
Sejarawan Henry Reynolds mengatakan, ajaran tentang Perang Hitam, sebuah periode konflik kekerasan antara pendatang Eropa dengan warga Aborijin Tasmania di tahun 1800an, harus tampil lebih menonjol di kurikulum negara bagian.
"Tak hanya menjadi lebih penting dalam pengajaran kami, ini seharusnya menjadi jauh lebih penting dalam sejarah Australia," sebut Reynolds.
Sejarawan Aborijin, Greg Lehman, mengatakan, ketika ia duduk di sekolah dasar pada tahun 1960an, ia tak diajarkan apapun tentang sejarah Aborijin.
“Pengalaman itu untuk kaum muda Aborijin di tahun 60an dan 70an sangat terisolasi karena diskusi tentang budaya dan identitas Australia sama sekali tak mencakup sesuatu tentang orang Aborijin,” katanya.
Lehman mengatakan, penting bahwa kurikulum harus terus berkembang.
“Sangat penting agar kita tidak terjebak dalam wacana defisit tentang budaya Aborijin dan orang-orang yang kehilangan, dan tak melupakan bahwa ada juga banyak keberhasilan untuk dirayakan,” sebutnya.
Ia berujar, “Kita juga perlu mengakui bahwa budaya Aborijin memiliki kontribusi yang sangat penting dalam kehidupan Australia kontemporer untuk soal pengetahuan lingkungan.”
"Orang-orang Aborijin di Australia telah mengalami perubahan iklim. Nenek moyang saya ada di sini pada zaman es terakhir," kata Greg Lehman.
Diterjemahkan pukul 10:00 AEST 4/7/2017 oleh Nurina Savitri dan simak artikelnya dalam bahasa Inggris di sini.