ABC

Etiskah Bila Turis Australia Memboikot Bali?

Rencana eksekusi terpidana mati Bali Nine Andrew Chan dan Myuran Sukumaran yang semakin dekat, sejumlah pihak di Australia menganjurkan para turis untuk memboikot Bali. Apakah tindakan boikot itu akan mampu menghukum pemerintah Indonesia atau justru membuat kehidupan rakyat Bali menjadi sulit?

Saat wartawan dan penulis catatan perjalanan dari Amerika Jeff Greenwald memuat opininya di koran The Washington Post di tahun 1996 untuk mengajak orang Amerika memboikot Burma, dia mendapatkan respon yang besar.

Bali merupakan surga wisata bagi turis mancanegara.

Namun, apakah tindakan boikot merupakan cara menghukum junta militer yang memenjarakan Aung San Suu Kyi ketika itu, atau justru cuma menambah kesulitan ekonomi bagi rakyat biasa?

Kini, sejalan rencana eksekusi Andrew Chan dan Myuran Sukumaran, pro-kontra tindakan boikot itu mencuat kembali.

Pekan lalu, tak kurang dari Menlu Australia Julie Bishop sendiri yang menyatakan, "saya pikir orang Australia akan menunjukkan ketidaksetujuannya jika kedua orang itu dieksekusi, termasuk membuat keputusan untuk menentukan tempat tujuan wisata mereka".

Meskipun ajakan memboikot Bali sempat ramai di media sosial, namun mantan Dubes Australia untuk Indonesia Philip Flood pekan ini menyebut ajakan itu sebagai "ajakan tolol". Sebab, menurut dia, tindakan itu tidak akan banyak pengaruhnya kepada pemerintah Indonesia.

Bagi Greenwald yang mendorong aksi boikot atas Burma di tahun 1990an, saat ini ia mulai melunakkan sikapnya. Alasannya, sangat sulit mengukur seberapa efektif tindakan seperti itu.

Sementara Tony Wheeler, salah seorang pendiri Lonely Planet yang menerbitkan buku tujuan wisata yang menjadi rujukan di dunia, juga sangat skeptis atas ajakan boikot.

Menurut dia, seharusnya orang memang sadar politik, namun "tidak seharusnya mereka tidak datang ke satu tujuan wisata gara-gara hal itu".

"Ada ribuan eksekusi hukuman mati di China dan tak ada yang menyerukan jangan pergi ke China, atau ratusan eksekusi mati di Amerika Serikat namun tidak ada yang bilang jangan pergi ke Amerika," jelasnya.

Namun baik Wheeler maupun Greewald percaya bahwa para turis bisa memiliki suara politik dan seharusnya memiliki pengetahuan politik mengenai negara tujuannya.

Greenwald mendirikan Ethical Traveler, sebuah LSM sekitar 10 tahun lalu. Tujuannya untuk menumbuhkan kesadaran atas isu kemanusiaan bagi para turis global.

Setiap tahunnya, LSM Ethical Traveler ini merilis 10 terbaik tujuan wisata di negara berkembang berdasarkan kondisi lingkungan hidup, kesejahteraan sosial, dan catatan HAM. Sejak 2013 isu kesejahteraan binatang juga menjadi pertimbangan mereka.

Greenwald mengakui tidak ada suatu negara yang sempurna, namun ia berharap para turis bisa mengambil keputusan dimana akan membelanjakan uangnya.

Daftar ini hanya fokus pada negar berkembang karena menurut Greenwald, negara-negara ini ekonominya sangat bergantung pada turisme.

Namun Tony Wheeler tampaknya tidak begitu setuju dengan Greenwald. Menurut Wheeler, kebanyakan orang pergi berwisata tanpa mempertimbangkan apakah pemerintah di daerah tujuan wisatanya itu korup, otoriter, atau merusak lingkungan hidup.

"Sepanjang ada pantai yang indah, mereka akan tetap datang," katanya.