ABC

Elianor Gerrard Ingin Wujudkan Pusat Sayur dan Buah di Yogyakarta

Elianor Gerrard, voluntir asal Australia sedang membuat proyek kebun komunitas di salah satu desa di Yogyakarta. Visinya ingin mewujudkan pusat sayur mayur dan buah-buahan yang produktif dan berkesinambungan bagi warga setempat.

Elianor adalah peserta dari program Australian Volunteers for International Development (AVID), sebuah inisiatif dari pemerintah Australia. Program ini memberikan kesempatan bagi warga Australia untuk menjadi sukarelawan di sejumlah sektor kehidupan di negara-negara berkembang.

Ia mulai bekerja dengan Sekolahku pada bulan Juni. Sekolahku berada di Yogyakarta utara, dengan dikelilingi sawah, danau ikan, dan perkebunan tebu.

Dari sinilah kemudian ada pemikiran untuk menggabungkan sekolah dengan potensi pertanian dan perkebunan di sekelilingnya.

Saat itu kebetulan Sekolahku sedang membutuhkan seseorang untuk mengembangkan, merancang pemikiran dan ke depannya mempromosikan proyek tersebut. Elianor pun langsung melamar posisi sebagai sukarelawan.

Belajar dengan menggabungkan metode pelajaran biasa di luar kelas. Foto: Kebun Dapur Kita.
Belajar dengan menggabungkan metode pelajaran biasa di luar kelas. Foto: Kebun Dapur Kita.

"Saya, kepala sekolah, dan anggota yayasan telah mencoba mengeksplorasi pendekatan-pendekatan yang berbeda untuk berkebun, bertani, dan edukasi," ujarnya kepada Erwin Renaldi dari ABC International. 

"Setelah berkunjung ke Bumi Langit, sebuah institut permakultur di Imogiri, Yogyakarta, kita pun memilih pendekatan permakultur untuk proyek Kebun Dapur Kita," tambahnya.

Untuk merealisasikan program ini, ia berkolaborasi dengan komunitas permaculture di Yogya, Permablitz Jogja untuk membantu merancang kebun .

Untuk menjalankan program Kebun Dapur Kita, sejumlah guru, staff, beserta anggota yayasan dan komunitas bekerja bersama dengan melibatkan lebih dari 100 orang siswa.

"Para siswa terlibat secara rutin lewat kelas berkebun setiap pekannya dibawah bimbingan para guru untuk memastikan tujuan pembelajaran dapat dicapai," kata Elinaro.

"Para murid juga berpartisipasi bersama komunitas, yang pada dasarnya mereka memiliki kesempatan berkebun dan membiarkan tangan mereka kotor sesuka hati!" katanya.

Suasana anak-anak belajar sambil berkebun. Foto: Kebun Dapur Kita.
Suasana anak-anak belajar sambil berkebun. Foto: Kebun Dapur Kita.

 

Menurut Elianor, hal yang paling menakjubkan soal berkebun dan belajar di alam terbuka adalah keduanya sama-sama berhubungan dengan pelajaram, modul, dan cabang ilmu yang berbeda-beda.

Lewat metode gabungan seperti ini diharapkan tidak hanya murid-murid bisa belajar bidang-bidang seperti sains, biologi, matematika, seni, dan desain. Tetapi murid-murid juga bisa mendapatkan pemahaman soal masalah-masalah lingkungan, termasuk bagaimana mengurangi dampak lingkungan dari gaya dan pilihan hidup.

"Produk organik yang dibudidayakan di kebun kemudian digunakan untuk makanan di sekolah dan kelas memasak, membuat makanan dengan nutrisi sehat dan melibatkan murid-murid dalam proses produksi makanan hingga konsumsi, dengan cara yang menyenangkan dan menyehatkan," tambah Elianor.

Hingga saat ini para orang tua dan komunitas di kawasan tersebut, yang juga terlibat dalam program telah menyambut sekolah dengan metode yang berbeda ini. Sementara para murid pun merasa senang dengan kelas baru mereka yang berada di luar ruangan. 

Anak-anak diharapkan dapat mengenal lingkungan dengan lebih baik. Foto: Kebun Dapur Kita.
Anak-anak diharapkan dapat mengenal lingkungan dengan lebih baik. Foto: Kebun Dapur Kita.

Tapi, tentunya ada sejumlah tantangan yang dialami oleh Elianor dan timnya dalam mengelola program ini. Salah satunya adalah masalah pembiayaan. Seperti sejumlah sekolah-sekolah dan organisasi non-profitnya lainnya yang juga mengalami kesulitan dalam pembiayaan.

Salah satu solusi yang ditawarkan adalah pembiayaan lewat kampanye crowdfunding Seed Money. Hasil dari pembiayaan ini akan dibelikan sejumlah material untuk membuat rumah kaca untuk pembibitan, kompos, dan investasi peralatan dan perlengkapan lainnya.

"Kita sudah mengumpulkan dana hingga lebih $500 [lebih dari Rp 5 juta]. Tentunya dengan dana yang lebih kita dapat melakukan banyak hal yang lebih menarik, seperti mengembangkan sumber daya pendidikan, berbagi dan mendokumentasikan perkembangan proyek dengan sekolah lain, tapi hingga saat ini, yang paling penting adalah tanaman tetap tumbuh subur dan anak-anak gembira," ujarnya.