Dua Milennial Australia Menggeruk Uang Dari Jualan Alpukat
Di tahun 2016, sebuah kolom dari media The Australia pernah mengkritik kegemaran anak-anak muda Australia memesan roti yang disajikan dengan alpukat dan telor rebus dengan harga lebih dari Rp 200 ribu rupiah.
“Bagaimana anak-anak muda mampu makan ini? Bukankah sebaiknya makan di rumah? Dua puluh dolar selama beberapa kali dalam seminggu sebenarnya bisa untuk menabung beli rumah,” tulis kolomnis Bernard Salt dalam tulisan tersebut.
Tapi Jackson Boardman, 17 tahun dari negara bagian Queensland malah menjalani impian anak muda ‘hipster’ Australia dengan dikelilingi buah alpukat di kebun pertanian milik keluarganya.
“Saya makan alpukat setiap hari sejak saya masih bayi,” katanya.
Ketika dia hendak menabung untuk beli mobil pertamanya, peluang itu ia dapatkan dari alpukat.
“Saya mulai menjual alpukat berkualitas kelas dua di pasar lokal,” katanya.
“Saya beli dari ayah saya. Ada beberapa alpukat yang kualitasnya tidak cukup bagus untuk supermarket.”
Teman sekelasnya, Riley Harm mulai membantu. Perjalanan mereka ke pasar setiap bulannya pun tumbuh menjadi sesuatu yang lebih besar.
“Kami memutuskannya untuk jadi bisnis,” kata Jackson.
“Kami daftarkan perusahaannya, melakukan semua dokumen kelengkapan, dan sekarang menjual buah di pasar setiap akhir pekan.
“Senang rasanya punya uang sendiri di kelas 12.”
Rencana besar dari jualan alpukat
Keduanya tahu jika alpukat menjadi simbol kesulitan mereka untuk menabung, tapi mereka telah berhasil melawan tren tersebut.
“Kami jelas berada di spektrum lain,” kata Jackson.
“Saya tentu tidak menghabiskan semua uang untuk beli alpukat. Saya justru menghasilkan uang darinya.”
Dan menabung untuk sebuah rumah?
“Ya, jualan alpukat akan berkontribusi untuk itu,” kata Jackson.
Tapi saat ini keduanya memiliki masalah yang lebih mendesak.
“Kami berdua membeli mobil, menabung untuk sekolah, berencana ambil jeda selama setahun sebelum kuliah, dan kami berharap uang dari alpukat akan berkontribusi untuk itu,” kata Riley.
“Saya kira alpukat jadi kegemaran terbesar saat ini,” kata Jackson.
“Industri ini berjalan dengan sangat baik.”
Tapi itu tidak semua berjalan mulus ketika akan mengembangkan bisnisnya ke perusahaan-perusahaan kecil.
“Kami coba menjualnya ke kafe, tetapi tidak terlalu berhasil,” kata Jackson.
“Tapi tentu jadi pelajaran”
“Saya rasa bisa dibantu dengan belajar ekonomi juga,” tambah Riley.
“Konsep seperti penawaran dan permintaan sangatlah masuk akal.”
Jadi, apakah pengusaha muda ini memiliki saran untuk rekan-rekan mereka yang sedang kesulitan di kota?
“Belilah terus alpukat, nilainya lebih dari rumah,” Riley tertawa.
Disadur dari laporan aslinya dalam bahasa Inggris yang bisa dibaca disini.