ABC

Dosen di Australia Tanggapi Kebijakan Dosen Asing

Beberapa dosen asal Indonesia yang sekarang mengajar di Australia menyambut baik keputusan Pemerintah RI untuk mendatangkan dosen asing guna membantu meningkatkan mutu pendidikan di perguruann tinggi.

Dr Salut Muhidin yang mengajar bidang Kependudukan (Demografi) di Macquarie University Sydney mengatakan, tenaga kerja asing seperti di bidang IT atau olahraga sudah banyak yang berkiprah di Indonesia, sehingga di perguruan tinggi di satu saat pasti akan menjadi kenyataan.

ABC menghubungi tiga dosen asal Indonesia yang sekarang mengajar di Australia. Selain Dr Salut Muhidin juga ada Dr Riza Sunindijo yang menjadi dosen jurusan Konstruksi di UNSW, Sydney, serta Dr Elvia Shauki dari University of South Australia di Adelaide.

ABC sengaja mencari dosen asal Indonesia yang tidak berkecimpung di bidang-bidang yang berkenaan dengan Indonesia seperti pengajaran bahasa, politik atau budaya Indonesia.

Riza Sunindiyo memberikan penjelasan mengenai UNSW di Jakarta
Riza Sunindiyo memberikan penjelasan mengenai UNSW di Jakarta

Foto: Istimewa

Dr Riza Sunindijo menjadi dosen luar biasa di UNSW sejak tahun 2010 dan menjadi dosen tetap di universitas tersebut sejak tahun 2013.

Dalam penilaiannya, kekurangan yang dimiliki para dosen di Indonesia -seperti sudah banyak diungkapkan – adalah publikasi hasil penelitian di jurnal internasional.

“Bahasa Inggris yang kurang baik dan habisnya waktu untuk mengajar dan melakukan kegiatan administratif, saya kira menjadi kendala bagi dosen-dosen di Indonesia untuk meningkatkan kualitas dan jumlah publikasi,” kata Riza yang mendapatkan gelar PhD dari UNSW.

Menurutnya, penelitian adalah salah satu indikator penting yang menentukan peringkat universitas.

“PT di Indonesia memiliki peringkat yang relatif rendah dibandingkan dengan universitas lain di negara sekitar karena hal ini. Diharapkan adanya dosen-dosen dari luar negeri, mereka bisa berkontribusi meningkatkan kualitas penelitian,” kata Rixa kepada wartawan ABC Sastra Wijaya dalam pembicaraan lewat email.

Sependapat dengan Riza Sunindijo, Dr Elvia Shauki mengatakan masuknya dosen dari luar negeri bisa mendorong persaingan di tengah kompetisi terbuka seperti sekarang ini.

“Ini bisa meningkatkan kualitas pengajaran dan pembelajaran, supaya para dosen tidak santai dan tidak hanya mengejar setoran saja.”

“Manakala tekanan untuk terus meningkatkan kualitas itu tinggi, di situlah akademisi dituntut untuk lebih produktif lagi,” kata Dr Shauki, yang juga masih menjadi tenaga pengajar di Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia.

Sementara itu Dr Salut Muhidin walau setuju dengan adanya kedatangan dosen asing, mempertanyakan kriteria yang lebih jelas mengenai mengapa para dosen asing itu perlu didatangkan ke Indonesia.

“Saya sangat setuju jika putusan ini memang ditujukan untuk menaikkan kualitas pendidikan Indonesia. Cuma apa ukuran untuk itu?”

“Apakah cukup untuk menaikkan atau peringkat PT kita di luar? Bagaimana dengan prinsip kemitraan antara tenaga asing dan tenaga lokal?”

“Ketika aspek kemitraan tidak digunakan, maka kemungkinan ketergantungan pada tenaga asing akan menjadi tinggi.”

“Kemitraan dan transfer knowledge adalah sesuatu yang perlu ada dalam keputusan ini, sehingga manfaat yang dirasakan bisa berkesinambungan, tidak sekadar ketika tenaga asing berada di PT tersebut,” kata Salut yang bergabung dengan Macquarie sejak tahun 2011.

Dr Salut Muhidin yang mengajar di Macquarie University di Sydney
Dr Salut Muhidin yang mengajar di Macquarie University di Sydney

Foto: Istimewa

Apakah gaji Rp 600-700 juta setahun akan menarik minat dosen asing?

Sejak dikeluarkannya Peraturan Presiden No 4 tahun 2018 mengenai bolehnya dosen asing masuk ke Indonesia, sudah muncul pembicaraan mengenai berapa gaji yang akan mereka terima.

Angka gaji bulanan sekitar Rp 50-60 juta per bulan akan ditawarkan kepada mereka.

Meski angka gaji tersebut jauh lebih tinggi dari gaji yang diterima oleh dosen di Indonesia, namun di negara maju, pendapatan seperti itu diterima oleh dosen yang baru mulai mengajar.

Bagaimana Dr Riza Sunindijo dari UNSW Sydney melihat pendapatan seperti itu?

“Saya rasa jumlah ini cukup memadai bila dibandingkan dengan biaya hidup di Indonesia. Dengan tawaran gaji sebesar itu, mungkin bisa menarik dosen-dosen luar negeri yang relatif muda,” katanya.

“Untuk menarik dosen-dosen ternama dengan banyak pengalaman, saya rasa jumlah tersebut kurang memadai.”

“Bukan berarti menarik dosen-dosen muda salah, karena yang penting adalah untuk menarik dosen berkualitas, berpotensi, dan bisa memberikan kontribusi memadai untuk meningkatkan reputasi universitas-universitas di Indonesia,” kata Riza.

Namun menurut Elvia, pendapatan tidak menjadi satu-satunya alasan seseorang menerima tawaran kerja.

“Tidak semua staf akademik melulu mengejar gaji yang fantastis. Banyak staf akademik yang memang memiliki passion mengajar atau meneliti di luar negara asalnya,” kata Elvia.

Menurutnya motivasi untuk melakukan penelitian dengan koleganya dari negara berkembang guna memperkaya hasil temuan penelitiannya bisa menjadi alasan kedatangan dosen asing.

Atau juga, menurutnya, asal dosen tersebut bisa membuat mereka tertarik untuk datang ke Indonesia.

“Kalau dosen asingnya dari negara-negara Asia, Rusia atau Eropa Timur lainnya kemungkinan angka tersebut menjadi angka yang cukup menarik.”

“Masalahnya kalau angka tersebut tidak dapat menggaet staf akademik berkualitas, dikuatirkan apa yang ingin dicapai Pemerintah Indonesia yaitu meningkatkan kualitas pengajaran dan penelitian menjadi tidak teruwjud,” kata Elvia.

Salut mengatakan Indonesia harus bisa menawarkan hal lain selain gaji besar, karena untuk ukuran di negara Barat, jumlah gaji sekitar Rp 600-700 juta per tahun, tidaklah besar.

“Terus terang untuk ukuran di luar negeri, di Australia misalnya, bayaran itu setara dengan mereka yang baru mulai menjadi dosen,” kata Salut.

“Dengan kata lain setara dengan gaji bagi mereka yang belum punya pengalaman. Kalau soal gaji yang jadi patokan, kemungkinan besar segment market yang akan banyak diperoleh adalah para dosen pemula itu,” katanya.

Dr Riza Sunidijo (baju kotak-kotak) bersama para mahasiswa UNSW mengunjungi jembatan yang menghubungkan Surabaya dan Madura
Dr Riza Sunidijo (baju kotak-kotak) bersama para mahasiswa UNSW mengunjungi jembatan yang menghubungkan Surabaya dan Madura

Foto: Istimewa

Apakah para dosen asal Indonesia tertarik dengan tawaran ini?

Menurut Dr Salut Muhidin dari UNSW Sydney, dia selalu tertarik berkontribusi bagi kemajuan perguruan tinggi di Indonesia. Selama ini, katanya, dia juga sudah terlibat melakukan kolaborasi dengan universitas-universitas dan lembaga riset di Indonesia.

“Saya pernah menjadi adjunt peneliti, masuk dalam Dewan Editor di jurnal mereka, dan juga menjadi dosen tamu setiap kali ada kesempatan pulang ke Indonesia,” katanya.

“Jadi, ada atau tidak aturan seperti itu, banyak Diaspora Dosen Indonesia sudah melakukannya,” kata Salut.

Sementara itu Riza mengatakan bahwa untuk bisa bekerja di Indonesia, gaji tidak akan menjadi satu-satunya bahan pertimbangan.

“Kalau saya ditawari gaji $60.000 per tahun tanpa ada kejelasan mengenai keamanan kerja, tugas dan kewajiban, dukungan yang tersedia, dan paket-paket lainnya, tentunya saya akan menolak,” ujarnya.

“Selain gaji, saya ingin tahu ekspektasi kerja, budaya kerja, jenjang kenaikan pangkat, serta support tambahan atau yang tersedia untuk meningkatkan kualitas pekerjaan saya dalam hal mengajar dan melakukan penelitian.”

“Salah satu kebanggan bekerja di UNSW saat ini adalah peringkat universitas yang berada di top 50 universitas di dunia,” kata Dr Riza Sunindijo.