ABC

Dokumen Baru Ungkap Rincian Program Militer Myanmar yang Libatkan Australia

Australia tetap mempertahankan kerjasama militernya dengan Myanmar setelah berlangsungnya tindakan pembersihan etnis minoritas Rohingya di tahun 2017.

KP Myanmar

  • Pemerintah Australia mengatakan kerja sama militer dengan Myanmar berada di skala rendah
  • Dokumen yang ada menjelaskan tantangan menjalin kesepakatan dengan pihak militer yang dituduh melakukan kejahatan perang
  • Dokumen juga menunjukkan tidak ada bukti jika kerja sama militer melambat selama adanya pembantaian terhadap etnis Rohingya

Dalam dokumen Departemen Pertahanan, yang diperoleh melalui Undang-undang Kebebasan Informasi, disebutkan Australia terus melanjutkan kerjasama militer dengan militer Myanmar yang dikenal sebagai Tatmadaw.

Dokumen ini dirilis atas permintaan dua LSM, yaitu Australian Centre for International Justice dan Justice For Myanmar, yang mendesak dihentikannya kerjasama dengan militer Myanmar.

Desakan tersebut semakin menguat setelah Tatmadaw melalukan kudeta bulan Februari lalu.

Perserikatan Bangsa-Bangsa menyebutkan setidaknya 54 orang tewas di tangan polisi dan aparat militer Myanmar sejak kudeta berlangsung. Lebih dari 1.700 orang ditahan termasuk 29 wartawan.

Ketua Badan HAM PBB Michelle Bachelet meminta aparat keamanan negara itu untuk menghentikan kekerasan terhadap para pengunjuk rasa.

Dokumen menyebutkan kerjasama militer Australia dan Myanmar berlangsung dalam skala “sederhana” dan sebagian besar difokuskan pada pelatihan perwira Tatmadaw tentang manajemen bencana, hukum dan HAM.

Angel takes cover before being shot in the head in Mandalay
Angel, seorang remaja Myanmar berusia 19 tahun tampak mencoba berlindung dari tindakan aparat militer dalam aksi demo pada 3 Maret lalu. Ia kemudian tertembak di bagian kepala.

Reuters/Stringer

Namun secara gamblang dokumen ini menjelaskan sejumlah tantangan dan jebakan dalam berurusan dengan militer suatu negara yang dituduh melakukan kejahatan perang dan genosida.

Salah satu dokumen menyebutkan, “staf Departemen Pertahanan [Australia] di Yangon berupaya memastikan agar peserta dalam program pelatihan ini tidak melakukan pelanggaran HAM seperti yang terlihat di Rakhine.”

Dalam beberapa surat elektronik, pejabat Australia mencoba memeriksa dua prajurit Tatmadaw yang pernah bertugas dalam unit yang dituduh terlibat kejahatan perang.

“Mereka berdua pernah bertugas dengan (…disamarkan…) dan pihak AS mengindikasikan tidak akan mendukung kedua orang ini karena adanya sanksi dari AS,” tulis seorang pejabat.

Namun, pejabat Australia tetap saja merekomendasikan kedua prajurit ikut dalam pelatihan setelah menyimpulkan keduanya tidak bertugas di Rakhine saat pembantaian terjadi di tahun 2017.

Dokumen-dokumen itu juga menunjukkan para pejabat dan perwira Australia berusaha mengatasi tantangan dalam membangun hubungan dengan militer Myanmar sambil menjaga jarak dari para jenderal yang dituduh melakukan pembersihan etnis.

Pihak Australia juga berusaha untuk menghindari publisitas.

Misalnya pada 2019, pejabat dan perwira militer Australia mengundang prajurit Angkatan Udara Myanmar untuk mengunjungi pesawat angkut Angkatan Udara Australia yang akan mendarat di Yangon.

Acara ini kemudian diatur agar berlangsung secara sederhana pada level rendah.

“Seperti yang kita diskusikan, kita bisa mengendalikan hal ini dengan memastikan tidak ada perwira senior dan tidak ada foto-foto grup,” tulis seorang perwira militer di Yangon.

Senior General Min Aung Hlaing salutes, wearing full military gear
Pemimpin junta militer Myanmar, Jenderal Min Aung Hlaing, kini memegang kendali pemerintahan setelah kudeta pada Februari lalu.

AP: Lynn Bo Bo/Pool

Dokumen-dokumen itu juga menunjukkan kerjasama militer sama sekali tidak berkurang selama 2017, saat Tatmadaw melakukan tindakan kekerasan terhadap Rohingya.

Misalnya, Laksamana Tin Aung San, seorang anggota junta militer dan mantan kepala staf Angkatan Laut, berperan sebagai tuan rumah pada konferensi Angkatan Laut di Australia pada bulan Oktober 2017.

Laksaman Tin Aung San telah mendapat sanksi dari pemerintah Amerika Serikat atas perannya dalam kudeta Februari.

Dokumen juga mengungkap tentang pertemuan di tahun 2019 antara Dubes Australia Andrea Faulkner dan Jenderal Min Aung Hlaing – yang kini menguasai pemerintahan setelah kudeta.

Poin-poin pembicaraan mereka menyebutkan Australia meminta Myanmar terlibat proses hukum internasional dan menegakkan keadilan bagi korban pelanggaran HAM di Myanmar.

Dokumen tersebut menunjukkan Australia akan bersedia memperluas kerjasama militer hal itu dipenuhi pihak Myanmar.

Alokasi biaya pelatihan militer Myanmar yang dilakukan Australia sebesar $330 ribu pada tahun 2019 dan $360 ribu pada 2020.

Namun biaya yang dihabiskan diperkirakan jauh lebih rendah karena pandemi CVID-19.

Delegasi Australia diberi akses

Kelompok-kelompok HAM mengecam program pelatihan ini, menuduh pemerintah Australia melegitimasi kekejaman rezim yang bertanggung jawab atas kejahatan perang dan kudeta Februari.

Juru bicara Justice For Myanmar, Yadanar Maung, mengatakan sikap Australia mempertahankan kerjasama dengan Tatmadaw tidak bisa dimaafkan.

LSM ini mendapatkan sebuah surat seorang perwira Australia yang berterima kasih kepada militer Myanmar karena memberikan akses yang belum pernah terjadi sebelumnya kepada delegasi Australia.

Delegasi tersebut membahas proposal Angkatan Bersenjata Australia untuk mengadakan lokakarya hukum internasional bagi para perwira Tatmadaw.

“Daripada berkolusi dengan pelaku genosida, kami menyerukan Australia mengakui adanya genosida itu, ikut proses di Mahkamah Internasional dan menjatuhkan sanksi kepada militer Myanmar dan bisnis mereka,” katanya.

Rawan Arraf, Direktur Australian Centre for International Justice, menuduh Australia mengulur-ulur waktu saat junta mengkonsolidasikan kekuasaannya dan menggunakan kekerasan terhadap pengunjuk rasa damai.

“Alasan hubungan dan pelatihan dengan militer Myanmar tidak bisa dipahami secara etika atau moral ketika militer dituduh melakukan kejahatan perang dan genosida,” katanya.

Bantuan dan kerjasama sedang ditinjau

Malcolm Turnbull and Aung San Suu Kyi
Pemimpin Myanmar yang terguling Aung San Suu Kyi bersama mantan PM Australia Malcolm Turnbull di tahun 2018.

AAP: Mick Tsikas

Bulan lalu Menteri Luar Negeri Marise Payne mengatakan pihaknya sedang meninjau kembali bantuan luar negeri serta kerjasama militer dengan Myanmar.

Tampaknya dalam waktu dekat pemerintah akan segera mengumumkan hasil peninjauan ini, namun Partai Buruh yang beroposisi semakin meningkatkan tekanan karena kekerasan di Myanmar meningkat.

Menteri Luar Negeri Bayangan Penny Wong mengatakan pemerintah berkewajiban untuk segera bertindak.

“Meskipun kekerasan dan penindasan terus meningkat, kita belum melihat tindakan yang jelas dari Menlu Marise Payne,” kata Senator Wong.

“Pemerintahan Morrison harus mengirimkan sinyal kuta kepada pemimpin militer Myanmar bahwa kekerasan tidak dapat diterima, dan demokrasi harus dipulihkan,” tambahnya.

Dalam sebuah pernyataan, Menlu Marise Payne mengatakan Australia mengutuk aksi kekerasan mematikan di Myanmar.

“Kami sangat prihatin dengan meningkatnya jumlah korban tewas, termasuk kematian anak di bawah umur. Kami menyampaikan belasungkawa kepada keluarga yang berduka,” ujarnya.

“Australia mendesak aparat keamanan Myanmar untuk menahan diri dari tindakan kekerasan dalam menaggapi aksi protes,” kata Menlu Australia.

Diproduksi oleh Farid M. Ibrahim dari artikel ABC News