Dokter Australia Kembalikan Senyum Petani Kamboja
Di ruang tunggu yang penuh sesak itu, Eng Kheng tampak menonjol dibandingkan pasien lainnya. Pasalnya, dia memiliki kelainan bentuk wajah dengan tumor besar di mulutnya. Pipinya bengkak seolah-olah dia sedang mencoba menelan jeruk besar warna merah muda.
“Dia ini memiliki pertumbuhan tulang rahang jinak, kondisinya disebut fibrous dysplasia,” kata Andrew Cheng, seorang dokter bedah asal Adelaide yang berkunjung ke Kamboja.
“Ini salah satu kasus paling parah yang pernah saya lihat,” kata Dr Cheng, pada Februari lalu.
Pertumbuhan tumor besar itu tidak menjadi kanker dan tidak menyakitkan.
Eng mengatakan bahwa dia tetap bisa makan, meski hal itu menjadi sesuatu yang sulit.
Fibrous dysplasia merupakan kondisi yang jarang terjadi, namun tidak demikian halnya bagi keluarga Eng Kheng. Saudara dan ayahnya juga mengalami hal serupa.
Petani ini pasrah menerima bentuk wajahnya yang tidak nyaman, sampai petugas kesehatan datang ke desanya memeriksa kesehatan mata penduduk dan merujuk Eng ke Phnom Penh.
Fasilitas di Rumah Sakit Preah Ket Mealea sangat biasa bagi standar Australia, namun itulah rumah sakit terbesar yang pernah didatangi Eng.
Di situ, Dr Cheng menunjukkan kepada Eng rencana operasi bedah pada sebuah iPad. Eng tentu saja tampak bingung dengan wajahnya, dengan tisu warna hijau yang kelak akan dibuang.
Dia berharap agar dokter bisa “menyembuhkannya” namun tidak tahu bagaimana nanti wajahnya setelah operasi.
“Saya bertanya-tanya tentang hal itu, mudah-mudahan wajah saya lebih ganteng dari sebelumnya,” kata Eng.
Kengerian era Khmer Merah
Setelah berkonsultasi, Eng mengunjungi saudaranya di ruang sebelah, sedang pemulihan setelah mengalami tumornya yang lebih kecil diangkat di rumah sakit tersebut.
Ahli bedah spesialis Kamboja yang tak banyak jumlahnya juga sangat kekurangan tenaga medis.
Tenaga medis masih belum pulih akibat kengerian di era Khmer Merah.
Antara tahun 1975 dan 1979, kaum ultra-Maois mencoba mengubah negara ini menjadi negara utopia petani. Mereka mengirim penduduk kota ke sawah dan membunuhi semua orang yang berpendidikan, termasuk para dokter.
Nous Sarom adalah salah satu yang memimpin pemulihan tenaga medis itu.
Dia memimpin bedah maxillofacial, plastik, rekonstruktif dan estetika di Rumah Sakit Preah Ket Mealea.
Dr Nous memamerkan sebuah bor tanpa kabel yang dia beli di hari-hari pasca Khmer Merah dari Pasar Rusia di Phnom Penh untuk digunakan di ruang operasi.
“Ini telah menyembuhkan ribuan pasien,” kata Dr Nous.
“Masih bagus. Baterainya bisa diisi dan Anda memasukkannya ke dalam lalu mengebor sampai ke tulang, membuat lubang dan memasang sekrup dan kita bisa memperbaiki pasien,” katanya sambil tersenyum.
Hari-hari ini, bor tersebut sudah pensiun, digantikan peralatan modern yang disumbangkan sejumlah pihak.
Sejak 2012, Universitas Internasional Kamboja menyelenggarakan program magister untuk operasi mulut dan maxillofacial.
Kelima mahasiswanya diajari modul oleh ahli bedah tamu, kebanyakan dari Australia, Jepang dan Amerika Serikat, yang mengumpulkan sebanyak mungkin pengetahuan dalam satu atau dua minggu pembelajaran.
Namun kasus seperti Eng Kheng sangat berat bagi ditangani oleh sistem kesehatan Kamboja.
“Selama operasi, dia mungkin mengalami kehilangan banyak darah. Sayangnya, saat ini transfusi darah di Kamboja tidak dapat diprediksi,” kata Dr. Cheng.
Dengan kata lain mungkin tidak ada persediaan darah dan pasien bisa meninggal.
Seperti dilahirkan kembali
Pada akhir Februari lalu, Eng terbang ke Adelaide, Australia, untuk menjalani operasi.
Perjalanannya dimungkinkan oleh penggalangan dana Walk on Water, perawatan gratis dari Rumah Sakit Ashford serta bantu komunitas lokal Kamboja di Australia.
“Di Australia mereka sangat memperhatikan saya,” kata Eng.
“Saya ditawari makan sepanjang hari. Sarapan, makan siang dan makan malam. Bahkan kopi,” ujarnya.
“Mereka membawaku ke pantai, ke gunung dan ke toko,” tambahnya.
Dibandingkan dengan panasnya iklim tropis Kamboja, Eng saat itu mengenakan jaket tebal, syal dan penutup kepala ke rumah sakit, meski saat itu masih musim panas.
“Operasinya tidak sakit. Saya tertidur dan bermimpi berada di pesawat besar,” katanya.
Pengalaman baru di Australia dan sambutan hangat yang dia dapatkan membuatnya dalam suasana filosofis sebelum operasi.
“Saya berpikir, ‘Jika saya mati, ya matilah’. Tapi kemudian saya terbangun dan masih hidup,” katanya.
“Ketika saya terbangun dan melihat wajahku yang terlihat cantik, saya merasa seperti dilahirkan kembali,” ujar Eng.
Alasan untuk tersenyum
Eng sekarang kembali ke desanya di Provinsi Kampong Cham.
Perbedaan di wajahnya tampak luar biasa.
Ada bekas luka dan dia harus memakai gigi palsu. Namun rahangnya sudah normal dan dia bisa tersenyum.
“Saya tidak ingin banyak berubah, terus berkebun tebu dan sayuran,” katanya.
Kerabatnya berkumpul di bawah rumah panggung. Ada yang menggodanya tentang seorang perempuan yang mengaguminya di desa tersebut.
Tapi setelah berpuluh tahun membujang, Eng mengaku belum siap untuk menjalani asmara.
“Ada yang bilang kalau saya menikah, dia akan memberiku $ 3.000 tapi saya tidak menerima tawaran itu,” katanya.
Perasaan utamanya saat ini adalah rasa syukur, keberuntungan ditemukan oleh kunjungan petugas kesehatan, serta penggalangan dana dan diaspora Kamboja. Namun terutama untuk para ahli bedah.
“Saya ingin berterima kasih kepada para dokter,” katanya, dengan senyuman di wajahnya, yang dimungkinkan oleh para dokter tersebut.
Diterbitkan Jumat 4 Agustus 2017 oleh Farid M. Ibrahim dari artikel berbahasa Inggris di sini.