Ditunjuk Jadi ‘Presiden Papua Barat’, Benny Wenda Siap Dialog Dengan Jokowi
Benny Wenda menyatakan pihaknya siap melakukan dialog dengan Presiden RI Joko Widodo untuk membahas solusi konflik di Papua.
Benny yang tinggal di Inggris telah dinyatakan sebagai “presiden sementara” oleh United Liberation Movement for West Papua (ULMWP) saat deklarasi pembentukan pemerintahan sementara Papua Barat, Selasa kemarin (1/12).
Pemerintahan sementara Papua Barat yang dideklarasikan ULMWP tersebut mencakup Propinsi Papua dan Propinsi Papua Barat.
Pemerintah RI secara tegas menolak deklarasi dan pernyataan ULMWP tersebut dan menyebutnya hanya sebagai “ilusi”.
“Menurut kami, Benny Wenda ini membuat negara ilusi. Negara yang tidak ada. Negara Papua Barat itu apa?” ujar Menko Polhukam Mahfud MD dalam keterapan pers di Gedung Kemenko Polhukam, Jakarta Pusat, Kamis kemarin (3/12).
Menko Mahfud menambahkan untuk membentuk suatu negara minimal tiga syarat yang harus dipenuhi, yaitu: rakyat yang dikuasai, wilayah yang dikuasai, dan pemerintahan yang berdaulat.
“Dia enggak ada [syarat-syarat itu]. Rakyatnya siapa, wilayahnya mana, Papua kita yang kuasai, Pemerintah siapa? Enggak ada,” katanya.
Setelah ketiga syarat terpenuhi, kata Menko Mahfud, yang tak kalah pentingnya adalah adanya pengakuan dari dunia internasional.
“Memang didukung Vanuatu, tapi kecil itu. Dan tidak masuk juga ini ke organisasi internasional,” jelasnya.
Ia mengatakan, jika merujuk pada hasil referendum PBB pada 1969, Papua dipastikan menjadi bagian dari Republik Indonesia.
“Papua itu sejak tahun 1969 tidak masuk dalam daftar Komite 24 PBB. Itu merupakan daftar negara yang memiliki peluang merdeka. Kalau Timor Timur ada (dalam daftar). Papua enggak ada,” tegas Menko Mahfud.
Minta tak ada lagi darurat militer di Papua
Dalam pernyataan yang diterima ABC Indonesia, hari Jumat ini (4/12), Benny menyatakan siap untuk duduk bersama Presiden Joko Widodo, dalam kedudukan yang setara sebagai negara dengan negara.
Tujuannya, kata Benny, adalah untuk menyetujui proses mengakhiri konflik di Papua untuk selamanya, melalui mediasi mekanisme internasional.
“Rakyat Papua Barat yang harus memutuskan. Kami bersedia ikut melaksanakan pengaturan referendum kemerdekaan,” katanya.
“Presiden (Jokowi) harus mengakhiri darurat militer di Papua Barat dan duduk untuk berdialog,” tambahnya.
Pengacara internasional untuk Papua Barat yang berbasis di London, Jennifer Robinson, mengatakan reaksi Jakarta atas langkah ULMWP kali ini menunjukkan betapa terguncangnya Pemerintah Indonesia.
“Mereka menyadari mereka tak punya klaim secara hukum atas Papua Barat,” ujarnya.
“Rakyat Papua Barat terorganisir dan siap mengatur diri sendiri, sejalan dengan hak penentuan nasib sendiri yang diatur dalam hukum internasional,” ujar Jennifer yang juga pengacara ULMWP.
“Dengan membentuk suatu pemerintahan sementara, rakyat Papua Barat menolak pendudukan tak sah yang dilakukan Indonesia,” katanya.
Pengibaran Bintang Kejora di KJRI Melbourne tanpa izin
Sementara itu Perthalia Rosul, Konsul Pensosbud dari Konsulat Jenderal RI di Melbourne telah mengonfirmasikan adanya aksi pengibaran bendera bintang kejora di atap gedung KJRI, pada 1 Desember kemarin.
“Kejadiannya pukul 08.00 pagi ketika terdapat 5 orang melakukan trespassing (masuk tanpa izin),” ujarnya.
“Terdapat dua orang di KJRI saat itu yang langsung menghubungi AFP (Kepolisian Federal Australia) dan Victoria Police (Kepolisian Negara Bagian Victoria),” jelas Perthalia kepada Natasya Salim dari ABC Indonesia, Jumat (4/12).
Ia mengatakan, kejadian tersebut berlangsung selama 12 menit, setelah kelima orang tersebut melakukan ‘trespassing’ kemudian memasang atribut untuk direkam.
“Pihak berwenang setempat baru tiba setelah semua meninggalkan lokasi. Lima orang yang melakukan ‘trespassing’ menggunakan masker, sehingga belum dapat dikonfirmasi identitasnya. Namun rambut salah satunya berwarna pirang,” kata Perthalia.
Perthalia menjelaskan sesuai Konvensi Wina tentang Hubungan Diplomatik dan Konsuler, negara tuan rumah, dalam hal ini Australia, memiliki tanggung jawab untuk menjaga premis misi diplomatik dan konsuler.
Menurut Perthalia, sejak hari kejadian, setiap harinya pihak KJRI terus berkomunikasi dengan pihak AFP, Victoria Police, dan Kemlu dan menekankan agar para pelaku yang melakukan pelanggaran tersebut dapat ditindak secara tegas.
Menurut pemantauan ABC Indonesia, saat kejadian tersebut tampak ada seorang staf KJRI yang naik ke atap dan berusaha menurunkan bendera yang dibentangkan para aktivis.
Aksi pengibaran bendera ini dilaporkan secara langsung di media sosial, dan dalam video yang diakses ABC Indonesia terlihat staf KJRI tersebut terlihat berusaha keras merebut bendera dari tangan para aktivis.
Dalam keterangan yang menyertai laporan langsung aktivitas itu disebutkan, mereka memanjat tembok pagar KJRI dan berhasil naik ke atap untuk membentangkan bendera bintang kejora.
“Rakyat Papua Barat sangat jelas dan berkali-kali meminta agar kekerasan diakhiri di tanah air mereka. Kami hadir di sini (atap KJRI Melbourne) untuk mengumandangkan pesan mereka,” ujar Jasmine Grace dari kelompok yang menamakan diri West Papua Solidarity Group.
“Kami mendukung rakyat Papua Barat yang menuntut pedamaian dan keadilan. Kami mendesak Pemerintah Indonesia untuk menarik seluruh kekuatan militer dari Papua Barat dan segera menggelar referendum,” katanya.
“Kami mendesak Kepolisian Federal Australia dan SAS untuk berhenti melatih polisi dan militer Papua Barat,” kata Jasmine.
Veronica Koman menanggapi video yang beredar di Indonesia
Dalam perkembangan lainnya, aktivis HAM Veronica Koman membantah pemberitaan di berbagai media Indonesia tentang aksi seorang WNI yang mendatangi demo yang dilakukan Veronica di depan KJRI Sydney.
Menurut Veronica, itu merupakan kejadian di bulan Oktober lalu, terkait demo menolak Omnibus Law, bukan demo tentang Papua.
Dalam cuitan di akun Twitternya, Veronica menyebut video aksi itu dinaikkan secara serempak di momen 1 Desember sebagai upaya mengalihan isu.
“Aksi tersebut bukan aksi Papua, melainkan aksi tolak Omnibus Law pada Oktober lalu,” ujarnya seraya mendesak sejumlah media menghapus dan membuat klarifikasi terkait konteks video yang tidak tepat.
Ikuti berita menarik lainnya dari Australia di ABC Indonesia