Diskusi di Melbourne Sebut Pembangunan Jakarta Tak Selalu Memperhitungkan Publik
Pembangunan perkotaan di Indonesia mulai menunjukkan munculnya nilai-nilai demokrasi dan keadaban (civic values) baru, meskipun diakui dalam pelaksanaannya di Jakarta misalnya, publik tidak selalu diperhitungkan dalam pembangunan kota itu.
Demikian kesimpulan yang dirangkum wartawan ABC Farid M. Ibrahim dari panel diskusi Indonesia Forum pada Melbourne University, Australia, Selasa (12/7/2016) malam.
Narasumber diskusi terdiri atas Prof. Abidin Kusno (pakar perkotaan dari York University); Prof. Widjaja Martokusumo (ITB); Prof Kim Dovey (Fakultas Arsitek, Bangunan dan Perencanaan, Melbourne University); serta Prof. Vedi Hadiz (Asia Institute Melbourne University).
Menurut Prof. Abidin, perubahan institusional dalam perpolitikan Indonesia sejalan dengan otonomi daerah melahirkan nilai-nilai baru dalam perpolitikan. Politisi lokal mau tidak mau harus melegitimasi kekuasaan mereka dengan selalu menampilkan kata-kata kunci baru yang tercakup dalam pengertian good governance, seperti tranparansi, anti korupsi, demokrasi, keberadaban dan lainnya.
“Karena itu politisi lokal harus selalu menciptakan image baru bagi kota yang dipimpinnya, yaitu image yang sejalan dengan nilai-nilai dalam berdemokrasi tersebut,” jelas lulusan Universitas Petra Surabaya yang kini menjadi profesor pada York University, Toronto, Kanada.
Prof. Abidin yang karya-karyanya dikenal di kalangan studi arsitektur dan urban design lebih lanjut menjelaskan, dalam membangun kotanya, para pemimpin pemerintahan kota saat ini selalu ingin dilihat sejalan dengan nilai-nilai baru tersebut.
“Makanya sangat penting bagi Gubernur Jakarta misalnya untuk selalu mendukung proyek-proyek baru yang memungkinkan Jakarta untuk selalu dipandang sebagai kota yang terus berkembang, dengan sesuatu yang baru yang dikaitkan dengan nilai-nilai keberadaban (civic values),” jelas Prof. Abidin.
Namun di sisi lain, sosiolog Prof Vedi R. Hadiz menyatakan Jakarta merupakan kota industri perdagangan yang seluruhnya dibangun demi kepentingan kaum kapitalis sejak era Belanda.
Dan belakangan di era Orde Baru, muncul keinginan untuk membangun sesuatu yang baru sama sekali.
“Jika Anda pergi ke Istambul, terasa ada Kekaisaran Ottoman di situ. Jika pergi ke Kairo, feodalime Mesir ada di situ. Namun di Indonesia, semuanya berupa bangunan tinggi, semuanya pembangunan perumahan yang tujuannya semata-mata untuk menghasilkan uang,” katanya.
Prof Vedi menambahkan, seluruh kota Jakarta dibangun atas dasar kepentingan kapitalis tanpa adanya imbangan dari kalangan kelas menengah yang kuat. Ruang-ruang terbuka hijau juga dibanguni mal-mal. “Hal ini menunjukkan bahwa publik tidak diperhitungkan dalam pembangunan Jakarta,” katanya.
Dia menjelaskan, dampak demokratisasi antara lain bisa dilihat dalam hal memaksa pemimpin pemerintahan untuk membangun kota yang mungkin bisa melayani kepentingan kelas menengah baru. Namun terdapat kelompok masyarakat lainnya yang berada di luar itu.
“Makanya kalau terjadi demo buruh misalnya, yang mereka lakukan adalah menduduki jalan tol, yang notabene merupakan jalur utama kalangan kelas menengah, untuk menunjukkan “apa yang bisa kami lakukan”,” paparnya.
Dia menyarankan perlunya memahami pembangunan Jakarta dengan kerangka social inclusion dan social exclusion.
Sementara itu, Prof. Kim Dovey menyatakan bahwa para politisi memerlukan image-image simbolis dalam pembangunan kota yang bisa dipergunakan untuk mendapatkan keuntungan politis.
Dia menjelaskan pentingnya apa yang disebut sebagai urban images bagi proses politik serta peran urban design dalam mendorong imaginasi dan harapan-harapan kelas politik di suatu kota.
Prof Wijaya mengatakan, meskipun dalam kasus kota Bandung terlihat adanya perubahan fisik kota itu sejak dipimpin oleh Walikota Ridwan Kamil, namun fokusnya masih tetap pada wilayah utara Bandung.
“Masalah kemacetan lalu-lintas, pengelolaan sampah, dan banjir masih terus menghantui (warga Bandung),” katanya.
Dalam sesi tanya-jawab mencuat sejumlah isu termasuk mengapa jalur pejalan kaki di kota-kota Indonesia sangat tidak manusiawi dan tidak berkembang sebagaimana di negara lain seperti di Australia.
Prof Abidin menanggapi hal itu dengan mengemukakan adanya kompleksitas terkait masa lalu, termasuk mengenai sejarah dimana warga masyarakat memang tidak disarankan untuk berjalan kaki di jalanan apalagi dalam jumlah yang banyak.
Namun kini isu mengenai jalur pejalan kaki telah menjadi salah satu dari image keberadaban (civic images) suatu kota yang mau tidak mau harus menjadi perhatian para pemimpin kota. Apalagi, kelas menengah kini semakin menuntut civic images perkotaaan seperti itu.
Selain itu, mencuat juga peran sosial media dalam mendorong perbaikan desain perkotaan di Indonesia, dimana pihak pemerintah kota sendiri secara aktif menampilkan wajah baru kota mereka melalui media sosial.
Indonesia Forum dibentuk sejak 1991, yang sebelumnya dikenal sebagai Indonesia Interest Group pada Melbourne University, merupakan jaringan informal para akademisi dan staf serta peminat isu-isu Indonesia.