‘Disiksa dan Diperkosa’: Upaya Mengungkap Kejahatan Jepang di Pulau Bangka
Vivian Bullwinkel, perawat asal Australia semasa Perang Dunia Kedua, jadi satu-satunya korban yang selamat dari kekejaman Jepang di Pulau Bangka selama lebih dari tiga setengah tahun.
Setelah dibebaskan pun ia tak pernah mengungkapkan kepada publik apa yang pernah dialaminya.
Baru ketika Australia akan mendirikan patungnya di Australian War Memorial di Canberra, ia mau menceritakannya.
Pembantaian yang sebenarnya diketahui banyak orang
Cerita Vivian terjadi di Pulau Bangka pada bulan Februari 1942, tempat terjadinya pembantaian terburuk selama Perang Dunia Kedua di kawasan Pasifik.
Sekelompok orang yang terdiri dari tentara, warga sipil dan perawat militer perempuan mengungsi dari Singapura sebelum Jepang datang menyerang.
Tapi perahu mereka dibom pesawat Jepang, kemudian terdampar di pulau Bangka.
Catatan Australian War Memorial mencatat secara singkat apa yang menimpa mereka saat tidak bersenjata, setelah berusaha bergegas pergi ke daratan di Pantai Radji, serta berusaha menyerahkan diri kepada tentara Jepang.
"
Mereka [Jepang] menembak dan menusuk dengan bayonet semua laki-laki, kemudian memaksa 22 perawat Australia dan seorang perempuan sipil asal Inggris untuk menyeberang ke laut, lalu menembak mereka semua dari belakang.
"
Vivian Bullwinkel, yang ketika itu berusia 26 tahun dan bekerja sebagai perawat di Australian Army Nursing Service asal Broken Hill, adalah satu-satunya yang selamat.
Vivian menceritakan pengalamannya kepada seorang wartawan Australia di akhir perang dunia kedua.
"
"Perempuan di sekeliling saya berteriak, tubuh mereka kaku dan kemudian tenggelam."
"Saya mendapat tembakan di sisi kiri. Kehilangan kesadaran dan ketika terbangun lagi berada di tengah mayat-mayat. Tidak begitu sadar apa yang saya lakukan, saya berusaha masuk ke hutan, lalu pingsan lagi karena kehilangan banyak darah."
"
Cerita resmi mengenai apa yang terjadi kepadanya di pantai tersebut, kemudian menjadi tawanan perang Jepang selama bertahun-tahun, selalu menyisakan kengerian yang kelam.
Selama puluhan tahun, kepahitan dari kebenaran yang dideritanya telah disensor, terutama oleh anggota militer pria yang memikirkan reputasi perempuan, dari sisi rasa malu pribadi dan nasional.
Tapi ini bukan cerita tentang rasa malu yang dialami Vivian, karena rasa malu itu harusnya dimiliki para pelaku.
Justru rincian dari apa yang dialaminya menegaskan reputasinya sebagai perempuan kuat dan berani, membuat kita merenung soal keberanian apa yang ia gunakan untuk bisa bertahan dan membuatnya kuat sepanjang hidupnya.
'Kejahatan perang telah disensor'
Mencari tahu apa yang sebenarnya terjadi di Pulau Bangka sudah menjadi obsesi Georgina Banks, seorang penulis selama bertahun-tahun.
Tantenya yang juga seorang perawat, Dorothy Gwendoline Howard Elmes, akrab dipanggil Bud atau Benda, adalah korban tewas dalam pembantaian tersebut.
Termasuk dalam koleksi dokumen yang dimiliki oleh Vivian yang disimpan di Australian War Memorial adalah surat-surat yang ditulis kepadanya dari para sanak keluarga perawat yang tewas.
"Dear Sister Bullwinkel," tulis Evie, tante dari Bud pada tanggal 5 November 1945.
"Kamu pasti mendapat begitu banyak surat dari teman atau sanak keluarga dari para perawat yang menjadi korban pembantaian ini."
Evie mendengar rumor jika para perawat tersebut mati dengan mengenaskan.
"Saya berharap kamu bisa menceritakan kepada saya bahwa Benda tidak mati karena tusukan bayonet," tulisnya.
Kurang dari sebulan kemudian, giliran Dorothy, ibu dari Bud yang menulis kepada Vivian.
"Saya menerima surat Anda tadi malam. Saya senang Anda mau menulis dan menceritakan mengenai Buddy."
"Kami patah hati karena kehilangan dirinya. Kami sudah berharap selama tiga setengah tahun kalau dia tiba-tiba akan muncul di satu hari. Namun tidak akan terjadi."
Vivian pernah mengunjungi keluarga Bud di Wangaratta, negara bagian Victoria.
"Saya bisa membayangkan dia duduk sambil minum teh dan makan kue dan melihat kesedihan wajah keluarga," kata Georgina, yang sekarang menulis sebuah buku berjudul 'Back to Bangka: Searching for the truth about the wartime massacre of my great-aunt Bud'.
"Bisa dipahami ia ingin memberikan mereka rasa tenang," katanya menambahkan.
"
"Itulah mengapa dia membangun narasi jika kematian para perawat tampak bermartabat, di mana para perawat berjalan ke tengah laut dengan tegar, tak ada seorang pun yang menangis dan meminta ampun."
"
Dalam wawancara untuk program dokumenter ABC yang direkam sebelum kematiannya di tahun 2000, Vivian pernah menggambarkan saat-saat terakhir ketika mereka dibantai oleh tentara Jepang.
"
"Kami hanya saling melihat dan mengatakan, 'mereka tidak akan menahan kita'."
Kemudian ia menggelengkan kepalanya sambil menatap kamera.
"Dan kami semua tampaknya menerima takdir akan dibunuh."
"
Di tahun 2017, saat peringatan 75 tahun pembantaian tersebut, penulis dan jurnalis televisi Tess Lawrence menerbitkan artikel mengenai apa yang disampaikan Vivian dalam percakapan mereka beberapa tahun sebelumnya.
Dikatakan jika hampir semua perawat "diperkosa" sebelum ditembak mati.
Vivian ingin memberikan keterangan tersebut dalam persidangan kejahatan perang di tahun 1946, namun dilarang oleh pemerintah Australia.
"Ia tersiksa dengan rahasia-rahasia itu", tulis Tess, "rasa keadilan tercoreng dengan malah menguncinya."
"Saya merasa sangat kecewa membaca hal tersebut," tulis Georgina, ibu dari dua orang anak perempuan
"Karena apa yang terjadi di dunia saat ini, saat perempuan-perempuan buka suara soal hal-hal seperti ini, saya tidak bisa berpaling dari masalah ini."
"
"Vivian Bullwinkel berusaha menyampaikan kebenaran dan malah disensor, sebuah kejahatan perang telah disensor."
"
Tidak menjelaskan pemerkosaan di sidang
Seorang sejarawan militer terkemuka Lynette Silver bekerja sama dengan Georgina mencari bukti-bukti tambahan mengenai apa yang terjadi dengan para perawat tersebut.
Lynette akhirnya bisa menemukan saksi kunci, seseorang yang mendengar cerita Vivian soal pemerkosaan yang terjadi.
Pensiunan mayor Angkatan Darat Australia, Patricia Hincks, menceritakan pertemuan singkat dengan Vivian di tahun 1991 di Barak Leeuwin, Fremantle.
Patricia mengatakan ia merasa terhormat untuk bertemu dengan pahlawan perang tersebut, tetapi ketika dia menanyakan tentang buku biografinya yang akan diterbitkan, Vivian malah jadi cemas dan kesal.
"Dia bilang dia sedang berselisih dengan penerbitnya, karena dia tidak ingin mempublikasikan seluruh kebenaran tentang pembantaian itu, atas dasar akan membuat marah keluarga kerabat perawat yang terbunuh," katanya.
Vivian mengacu pada penulis biografinya, seorang pensiunan petugas humas tentara, bernama Norman Manners, yang menerbitkan sendiri kisah hidup Vivian melalui sebuah penerbit kecil di Perth.
Patricia yang sekarang sudah pensiun bertanya kepada Vivian, "jadi, apa yang sebenarnya terjadi?"
Vivian menjawab, "Kami benar-benar disiksa dan diperkosa kemudian mereka menggiring ke laut."
Disiksa dan diperkosa.
"Saya bisa tahu mengapa ia sangat kesal karena kebenaran tidak diungkapkan sebelum ia meninggal," kata Patricia.
Sementara Lynette dipuji karena kemampuannya menyisir arsip di masa perang untuk mendapatkan kebenaran.
Semua catatan pernyataan awal Vivian kepada penyelidik kejahatan perang pada tahun 1945 dimusnahkan enam tahun kemudian, bersama dengan setiap berkas penyelidikan lainnya yang tidak berakhir di persidangan.
Tidak ada yang pernah dimintai pertanggungjawaban atas kekejaman di Pulau Bangka, karena tentara Jepang yang terlibat dalam pembantaian itu semuanya tewas dalam pertarungan sengit di Papua Nugini.
"Perwira Senior Angkatan Darat Australia ingin melindungi keluarga yang berduka dari stigma pemerkosaan," demikian dugaan Lynette.
"Itu dianggap memalukan, pemerkosaan dikenal sebagai akhir yang lebih buruk daripada kematian itu sendiri, dan masih merupakan pelanggaran yang bia dihukum mati di negara bagian New South Wales sampai tahun 1955."
Namun, mengingat militer punya kecenderungan tertentu untuk urusan dokumen, biasanya sulit untuk memilah setiap berkas dan selalu ada seseorang yang tahu ke mana harus mencari.
Pencarian bukti
Pada akhir 1960-an, Barbara Barlow bekerja sebagai juru tulis di Departemen Repatriasi di Melbourne, sekarang Departemen urusan veteran, yang memproses klaim dari mantan personel militer dan sejenisnya yang menjadi difabel karena maju ke medan perang.
Berkas Vivian Bullwinkel disimpan di kantor itu.
Setelah membaca artikel yang ditulis Lynette soal mencari kebenaran pembantaian di Pulau Bangka, tahun lalu ia menghubungi sejarawan dari rumahnya di pedesaan Prancis untuk mengingat-ingat insiden yang terjadi pada tahun 1968.
"Atasan saya sibuk menulis dan mencap sebuah berkas di mejanya dan berkata 'Saya harus menyelesaikan ini dan memasukkannya ke brankas [wakil komisaris]'," kata Barbara.
Itu adalah berkas dengan nama Vivian Bullwinkel.
"Bahwa sebuah berkas harus disimpan dengan alasan keamanan tidak pernah terdengar sebelumnya."
"Semua berkas dari departemen disimpan di perpustakaan pusat."
Atasan menjelaskan, "dia diperkosa oleh Jepang di Bangka."
"Tentu saja saya tidak tahu dan saya berasumsi [berkas itu dikunci di brankas karena] Vivian jadi punya masalah kesehatan," kata Barbara, yang dalam beberapa bulan sejak itu memberikan bantuan penting dalam pencarian arsip Vivian.
Apa yang akhirnya ditemukan Lynette dan Barbara di arsip yang tersisa mengungkapkan bahwa tiga bulan setelah penyerangan, Vivian jadi punya gejala yang konsisten dengan sifilis sekunder, dan selama delapan bulan setelah pemerkosaan, dia tidak mengalami menstruasi.
Sebuah dokumen tertanggal 16 September 1945, bertanda "catatan klinis, Sister Bullwinkel, V, usia 29", dimulai dengan diagnosis dari seorang perempuan yang ditahan bertahun-tahun.
"
1. Kelemahan ringan (otot mengendur)
2. B.W. (luka tembak) dinding perut
3. Kudis
"
Riwayat medis empat halaman tersebut disebutkan kepada dokter oleh Vivian sendiri, dengan mengandalkan buku harian terperinci yang dia simpan selama dalam penahanan.
Pada tanggal 2 Mei 1942, sekitar 10 minggu setelah pembantaian di pantai, Vivian mengalami apa yang dia gambarkan sebagai "furuncles" atau bisul di pahanya, yang tadinya ia pikir sebuah infeksi jamur atau tinea di kakinya.
Pada tanggal 28 Mei, gejalanya menjadi sangat buruk sehingga dia dirawat di rumah sakit selama 25 hari dan setelah keluar dari rumah sakit, ia mencatat kakinya hanya "sedikit membaik".
David Lewis, seorang profesor kesehatan seksual di The University of Sydney, memberikan ulasan tertulis yang merinci berkas medis Vivian Bullwinkel.
Ditanya apakah dia mungkin menderita penyakit menular seksual, yang tersebar luas di antara pasukan Jepang di Pasifik, Profesor Lewis memperingatkan diagnosis tersebut memerlukan tes darah, tetapi menambahkan sifilis dikenal sebagai 'The Great Imitator', bakteri infeksi yang dapat meniru banyak kondisi umum lainnya.
Sementara dia menulis penyebab paling mungkin apa yang terjadi pada kakinya kemungkinan adalah tinea.
"Munculnya lesi pada kaki dan furunkel di paha 10 minggu setelah pembantaian sesuai dengan masa inkubasi sifilis sekunder, dan kami tahu bahwa ia dalam keadaan sehat hingga Februari 1942," kata Profesor Lewis.
"Mengingat komentar Anda bahwa [Vivian] mengungkapkan dia diperkosa oleh tentara Jepang, ini dapat memberikan peluang penularan bakteri penyebab, dan kami tahu sifilis adalah kondisi yang sangat menular."
Lima bulan setelah pemerkosaan, pada pertengahan Juli 1942, Vivian kembali dirawat di rumah sakit selama sembilan hari.
Dia masih memiliki berat badan yang sehat saat itu.
Saat catatan klinis singkat menunjukkan dia sedang dirawat untuk kakinya, mungkinkah dia mengalami keguguran selama tinggal di rumah sakit?
Setelah melahirkan atau keguguran, perempuan biasanya menstruasi setelah empat sampai enam minggu.
Menstruasi Vivian berlanjut delapan minggu setelah dia keluar dari rumah sakit dan berlanjut tanpa gangguan selama beberapa tahun hingga Juni 1944, saat para perawat dan tawanan perang lainnya semuanya menderita kelaparan dan kekurangan gizi.
Sekali lagi, Profesor Lewis memperingatkan Vivian yang tidak mengalami menstruasi kemungkinan besar terkait dengan stres, setelah trauma pembantaian tersebut.
"Namun, kehamilan tidak dapat dikesampingkan karena hasil dari tes kehamilan kurang tercatat dan jika ia hamil dan terinfeksi sifilis, maka akan ada kemungkinan ia keguguran lebih tinggi," katanya.
Georgina menggambarkan "benar-benar sedih" ketika melihat empat halaman catatan medis Vivian yang diketik dan kertasnya sudah menguning.
Lynette juga merasakan hal yang sama.
"Mengetahui para perawat diperkosa sudah cukup buruk," katanya.
"Kemungkinan Vivian Bullwinkel hamil dan tertular sifilis sangat menghancurkan."
"Kita mungkin tidak akan pernah memiliki jawaban yang pasti karena ia diminta untuk merahasiakan penderitaannya di masa perang."
"Tapi jelas dia sangat menderita sebagai tawanan perang, dan kita tahu selama bertahun-tahun setelah itu kesehatannya memburuk.
Kebenaran akhirnya terungkap
Vivian Bullwinkel kembali ke Australia setelah perang dan melanjutkan kariernya sebagai perawat.
Dia mendapatkan bintang penghargaan Order of Australia dan MBE atas keberaniannya.
Di tahun 1946, ia memberikan kesaksian mengenai pembantaian tersebut dalam sidang kejahatan perang di Tokyo, tapi tidak menyebutkan penyiksaan dan pemerkosaan yang dialami para perawa.
Ia pernah bertugas sebagai dewan di Australian War Memorial dan presiden Australian College of Nursing.
Di tahun 1975, dia memimpin sebuah tim perawat terbang ke Vietnam untuk menyelamatkan 80 bayi dan anak-anak yatim piatu karena perang dan dibawa ke Australia untuk diasuh oleh orang tua angkat.
Dia sendiri tidak pernah punya anak, dan menikah di tahun 1977 di usia 61 tahun.
Sebelum meninggal di tahun 2000, Vivian sempat kembali ke Pulau Bangka untuk meresmikan tempat untuk menghormati para perawat yang menjadi korban.
Australian War Memorial di Canberra berencana membuat patung Vivian untuk mengenangnya, sekaligus yang pertama mengakuinya sebagai pahlawan perang perempuan.
Tapi Vivian tidak pernah menginginkan pengakuan untuk dirinya sendiri, apa yang ia inginkan sebelumnya adalah kebenara yang harus disampaikan.
Mungkin warisan yang sebenarnya dari dirinya adalah kesediaan untuk menghadapi kebenaran yang pahit dari kekejaman perang yang tak bisa dihindarkan.
Artikel ini diproduksi oleh Sastra Wijaya dari ABC News