Dilarang Dalam Bentuk Apapun, Terpidana Kasus Khitan Perempuan Pertama Di Australia Batal Dibebaskan
Setelah sempat divonis bebas oleh pengadilan banding pidana New South Wales (NSW) tahun lalu, ketiga terpidana kasus sunat alat kelamin perempuan pertama di Australia terancam menghadapi hukuman lebih lanjut. Pengadilan Tinggi Australia memutuskan putusan bebas atas ketiganya tidak benar.
Kasus sunat alat kelamin perempuan pertama di Australia ini berawal ketika pada 2015, seorang ibu dari dua perempuan bersaudara yang berusia sekitar 6 dan tujuh tahun.
Ketika itu mantan perawat bernama Kubra Magennis dinyatakan bersalah karena memotong alat kelamin kedua anak perempuan itu dalam upacara di rumah di Wollongong dan barat laut Sydney.
Selain keduanya, Shabbir Vaziri, pemimpin ulama dan pemimpin spiritual di komunitas Dawoodi Bohra, juga telah dinyatakan bersalah karena menjadi tokoh yang mengarahkan anggotanya untuk berbohong tentang praktik ‘khatna atau khitan’, prosedur yang melibatkan menggurat atau memotong klitoris seorang anak perempuan di hadapan sesepuh perempuan.
Ibu dan mantan perawat Kubra Magennis dijatuhi hukuman 11 bulan tahanan rumah, sementara Shabbir Vaziri divonis hukuman maksimal yakni penjara penuh waktu selama 15 bulan.
Namun pada Agustus 2018 lalu, putusan ini dibatalkan oleh Pengadilan Banding Pidana NSW.
Dalam persidangan itu, ketiga terpidana berargumen bahwa upacara itu hanya bersifat ritual saja dan bukti baru menunjukkan tidak terjadi kerusakan fisik yang terlihat pada organ kelamin kedua anak perempuan itu.
Tidak terima dengan putusan ini, Jaksa penuntut umum NSW mengajukan peninjauan kasus ini ke Pengadilan Tinggi Australia.
Pada hari ini, Selasa (16/10/2019), Pengadilan Tinggi Australia mendukung tuntutan jaksa NSW dan menganggap tindakan ketiga terpidana ini ilegal.
Majelis hakim Pengadilan Tinggi Australia menyatakan undang-undang melarang praktek khitan perempuan dalam bentuk apapun.
Akibat putusan tersebut, kasus ini telah dirujuk kembali ke Pengadilan Banding Pidana NSW untuk pertimbangan lebih lanjut tentang apakah putusan awal hakim dalam kasus ini tidak masuk akal.
Tidak dilakukan sidang ulang
Dalam putusan ini hakim anggota Patrick Keane dan hakim Ketua Susan Kiefel mengatakan biasanya dalam kasus seperti ini institusinya akan memerintahkan dilakukan persidangan baru, tetapi dalam kasus ini opsi itu dinilai tidak tepat.
“[Para korban] masih anak-anak ketika mereka dimintai keterangan oleh polisi dan ketika mereka memberikan kesaksian di persidangan yang berlangsung pada tahun 2015,” katanya.
“Majelis hakim mempertimbangkan kemungkinan menghadirkan kembali kedua korban ke persidangan untuk memberikan kesaksian [baru] terhadap ibu mereka, hal ini diyakini dapat menyebabkan terjadinya kerusakan psikologis bagi keduanya.”
“Kami menilai persidangan ulang kasus ini akan berdampak negatif bagi psikis kedua korban.”
Putusan ini sempat diwarnai perbedaan pendapat dari Hakim Virginia Bell dan Stephen Gageler.
Dengan memfokuskan pertimbangannya pada peristiwa khitan, mereka berpendapat bahwa putusan Pengadilan Banding Pidana telah tepat.
“Pengadilan Tinggi telah mengambil keputusan yang tepat dengan menyatakan bahwa kerusakan jaringan yang terjadi pada korban akibat upacara khitan itu hanya bersifat dangkal dan tidak meninggalkan jaringan parut fisik”
“Pada pemeriksaan medis juga tidak terbukti tindakan khitan itu menyebabkan kerusakan pada kulit atau jaringan saraf, maka secara hukum peristiwa ini tidak menyebabkan terjadinya mutilasi,” mereka berkata.
Kasus ini telah dijadwalkan untuk dilakukan persidangan di Pengadilan Banding Pidana NSW minggu depan.
Diterbitkan ulang dari artikel ABC Australia.