ABC

Dibentuk Asosiasi Untuk Populerkan Masakan Indonesia di Australia

Jika dibandingkan dengan masakan dari tetangga seperti Malaysia, Thailand, atau Vietnam, mungkin masakan Indonesia masih kurang terkenal di Australia. Sejumlah warga Indonesia yang terlibat industri kuliner di kota Melbourne mencoba mencari tahu penyebabnya, sekaligus jalan keluarnya.

Masalah Kuliner Indonesia di Australia

  • Masih kurang populer dibandingkan masakan dari Malaysia, Thailand, Vietnam
  • Besarnya biaya operasi untuk membuka restoran di Australia, menyebabkan sedikit restoran Indonesia yang bertahan
  • Kebanyakan restoran Indonesia hanya dipenuhi mahasiswa atau warga Indonesia
  • Asosiasi kuliner Indonesia di Victoria diresmikan 23 Januari dengan tujuan mengembangkan bisnis kuliner Indonesia bersama-sama

Mereka sekarang membentuk Indonesian Culinary Association in Victoria (ICAV) yang diketuai oleh Abdul Razak Baswedan warga Indonesia yang sudah bergelut di bisnis makanan selama 16 tahun di Melbourne, yang kini menyediakan layanan katering.

Abdul Razak Baswedan adalah warga Indonesia yang sudah bergelut di bisnis makanan selama 16 tahun di Melbourne, yang kini menyediakan layanan katering.

Menurutnya, masakan Indonesia tidak kalah enak dibandingkan masakan-masakan yang banyak ditemukan di restoran-restoran China, Vietnam, Thailand yang ada di Australia.

“Mungkin masalahnya adalah mereka sudah masuk ke pasar terlebih dahulu, sehingga warga Australia sudah lebih mengenal,” ujar Razak kepada Erwin Renaldi dari ABC News.

“Cita rasa Indonesia memang lebih kaya di lidah dibandingkan masakan negara lain, ini sebenarnya bisa diterima lidah Australia asal disesuaikan. Jadi yang enak bagi orang Indonesia, belum tentu enak bagi orang Australia, seperti rujak petis misalnya.”

Sementara itu, menurut Ratna, pemilik dari salah satu restoran Indonesia, penyebab mengapa makanan Indonesia kalah pamor adalah karena banyak warga Australia yang tidak mengenal masakan Indonesia.

"Mereka cuma tahu sate, nasi goreng, rendang, karena restoran Indonesia sedikit atau pun banyak yang tutup, sehingga kurang ada inovasi."

Sate ayam dihidangkan dengan bawang dan mentimun.
Sate ayam adalah salah satu makanan yang populer bagi warga Australia, selain rendang dan nasi goreng.

Foto: ABC News, Erwin Renaldi

Kini Ratna sudah memiliki dua restoran dan akan membuka satu restoran dengan nama yang sama di kawasan sibuk, Flinders St.

“Kebetulan lokasinya ada di bawah hotel, sehingga menu makanan kami akan tersedia juga untuk hotel, sehingga warga dari bangsa lain bisa mencobanya.”

Lain halnya dengan yang dialami Dian Bahroelim, yang pernah memiliki restoran makanan Padang di kawasan Prahran dan kini sudah ia jual. Dari pengalaman pribadinya, restoran Indonesia masih membidik konsumen Indonesia, sehingga kurang familiar dengan pangsa pasar Australia.

“Tantangannya kita selalu ingin selera kita yang diterima oleh orang Australia, padahal orang Australia itu ingin makanan yang segar dan tidak terlalu lama dimasaknya.”

Kesulitan menjalankan restoran Indonesia

Dian mengaku pelajaran dari pengalamannya membuka restoran adalah perlu melakukan riset yang kuat soal siapa yang akan menjadi target pelanggannya.

“Target kami waktu itu mahasiswa, sehingga siang ramai tapi malam sepi sekali, kemudian kampus dekat restoran kami juga pindah,” ujar Dian yang pernah menjadi Chef de Partie di sejumlah restoran ternama Australia, termasuk Chin Chin.

Selain tingginya biaya sewa, biaya registrasi, dan pajak yang tinggi, Dian mengaku keuntungannya tidak seperti yang diharapkan. Ia memang menawarkan masakan-masakan dengan harga murah.

“Kami waktu itu memiliki standar ganda, karena ingin murah untuk menjangkau mahasiswa, sementara untuk warga lokal Australia mereka memiliki ekspektasi tinggi sehingga cost kami pun lebih tinggi juga.”

Sejumlah orang duduk menghadap panggung kesenian yang tampilkan kesenian Indonesia.
Banyak pihak menganggap kebanyakan acara budaya Indonesia di Australia kurang dihadiri warga lokal.

ABC News, Sastra Wijaya

Hal senada pun disampaikan Razak yang pernah membuka dua restoran Indonesia di kawasan pusat kota Melbourne dan Brunswick.

"Kebanyakan dari kita pemilik restoran Indonesia tidak membidik pasar yang ingin diambil, kebanyakan mengharapkan pelanggan warga Indonesia lagi atau pelajar, ini kurang bisa berhasil karena bagaimana pun kita di Australia."

Tak hanya itu, tantangan lain bagi restoran Indonesia yang ada saat ini adalah masalah kapasitas restoran dan ini berkaitan dengan mahalnya harga sewa tempat.

“Kalau tempat duduk sedikirit, katakan hanya 40 orang, maka hanya terisi di jam-jam sibuk. Setelah jam sibuk, jumlah pelanggan berkurang dan susah naik.”

Menurutnya kondisi ini yang perlu diubah, sebagai salah satu upaya menguatkan kuliner Indonesia di Australia.

“Kalau dibandingkan restoran Thailand, kapasitas mereka besar di atas 60 besar, parkirnya juga luas, dan tidak harus di pusat kota. Karena bagi pelanggan yang memiliki uang, mereka punya kendaraan dan kalau tahu restorannya enak, parkir mudah, mereka pasti datang.”

Tak hanya itu, Razak pun berpendapat di Australia belum ada restoran Indonesia fine dining, sehingga jika ada tamu negara atau pejabat negara lain yang ingin coba makanan Indonesia, tidak tahu hendak diajak ke restoran mana.

Asosiasi kuliner Indonesia coba cari solusi

Dua orang bertepuk tangan dengan gong berada di tengah.
Peresmian ICAV di kantor KJRI Melbourne, hari Selasa (23/01) oleh Abdul Razak Baswedan (kiri) dan Zaenal Arifin Plt. Konjen RI di Melbourne

Foto: KJRI Melbourne

Melihat masalah industri kuliner Indonesia di Australia, khususnya di negara bagian Victoria, sejumlah pengusaha restoran dan makanan serta warga Indonesia yang gemar kuliner membentuk sebuah badan bernama Indonesian Culinary Association in Victoria (ICAV).

ICAV menjadi hasil dari pertemuan sejumlah pihak yang terlibat dalam kulineri Indonesia dengan KJRI Melbourne pada tahun 2016 lalu, dan resmi berdiri pada hari Selasa (23/01/2018).

Mereka menunjuk Razak sebagai ketua asosiasi, yang mengagas beberapa ide untuk menawarkan solusi dan cara mempopulerkan masakan Indonesia di Australia.

Dalam acara peresmian yang digelar di kantor KJRI Melbourne, Razak menjelaskan sejumlah tawaran yang bisa dilakukan bersama-sama oleh pihak-pihak terkait kulinari dan mereka yang berminat. Salah satunya adalah dengan membuat Central Kitchen.

Central kitchen ini nantinya akan dijalankan oleh siapapun yang bersedia, silakan, dengan tujuan agar masakan Indonesia memiliki standar rasa yang bisa disukai oleh lidah Australia. Dari central kitchen ini kemudian dikembangkan menjadi food truck yang akan dimiliki oleh restoran, individu, atau komunitas, untuk bisa berjualan ke kawasan-kawasan,” jelasnya.

Razak mengatakan jika ada restoran Indonesia yang tertarik bergabung tapi sudah punya dapur sendiri silakan memasak sendiri, tetapi jika ada yang tidak punya dapur, bisa memasak di central kitchen yang sudah melewati pemeriksaan dan mengantongi izin beroperasi.

“Intinya adalah kita ingin menggandeng bersama demi memajukan kuliner Indonesia, bukan untuk memajukan masakan sendiri-sendiri.”

Razak paham benar jika proyek ini akan banyak mengalami tantangan, termasuk kemungkinan adanya perselisihan diantara komunitas warga Indonesia di Victoria.

"Mungkin tidak apa-apa jika ada selisih di awal-awal, tapi saya berharap jangan berselisih, bantu asosiasi ini untuk maju, saya tidak mungkin kerja sendiri, jadi kita bangun sama-sama dan kalau ingin mengkritik, berilah kritikan yang membangun."

Dari paparan saat peresmian ICAV, ditampilkan ilustrasi food truck yang bisa dihiasi dengan stiker bertuliskan Wonderful Indonesia. Razak berharap food truck ini bisa sekaligus mempromosikan pariwisata Indonesia.

Ratna menyambut baik gagasan ini, karena masakan Indonesia akan memiliki standar yang sama, sehingga resep dan rasanya akan sama terlepas siapa yang memasak.

“Food truck ini kedepannya diharapakan juga bisa menjangkau tempat-tempat baru,” ujar Ratna.

“Tapi kami juga berharap pemerintah Indonesia lebih peduli dengan upaya warga Indonesia untuk perkenalkan kuliner Indonesia, misalnya dengan memberikan pinjaman lunak dari bank karena membuka restoran di Australia biayanya sangat besar.”

Meski tidak lagi tertarik untuk terjun ke dunia kuliner saat ini, Dian pun memuji dibentuknya ICAV.

“Asosiasi ini menjadi modal bagi kita semua untuk dikembangkan bersama dan memotivasi chef-chef muda yang selama ini suaranya tidak didengar,” ujar Dian yang kini berkerja kantoran.

“Saya sangat berharap lewat asosiasi ini memberikan kesempatan kepada yang muda-muda karena mereka biasanya memiliki ide lain, sehingga bisa dibantu mewujudkannya.”