ABC

Diaspora Harus Kompak Dorong Isu Dwi Kewarganegaraan

Warga Indonesia yang mendukung adanya sistem Dwi Kewarganegaraan ditetapkan di Indonesia harus kompak untuk membuat masalah ini menjadi perbincangan politik untuk mewujudkan adanya undang-undang yang mengatur hal tersebut. Demikian pendapat Prof Denny Indrayana di Melbourne hari Minggu (23/10/2016).

Prof Denny Indrayana berbicara dalam Dialog Interaktif Dwi Kewarganegaraan yang diselenggarakan oleh Forum Komunikasi Komunitas Indonesia Victoria (FKKI-VIC) yang diselenggarakan hari Minggu (23/10) di kampus Monash University Clayton.

Selain Denny Indrayana, hadir juga dalam acara tersebut, sebagai panelis Prof Mahfud MD, yang pernah menjadi ketua Mahkamah Konstitusi dan Konfir Kabo, seorang pengacara asal Indonesia yang berdomisili di Melbourne.

Masalah Dwi Kewarganegaraan sekarang sudah masuk dalam Prolegnas (Program Legislasi Nasional), rancangan undang-undang yang dijadwalkan akan dibicarakan dalam masa pemerintahan sekarang dari tahun 2015-2019. Saat ini ada 160 RUU yang sudah masuk Prolegnas dan soal Dwi Kewarganegaraan berada di urutan 59.

Menurut Prof Denny Indrayana, dari kenyataan yang ada di Indonesia saat ini, masalah dwi kewarganegaraan belum menjadi hal yang serius sebagai proses politik bagi para partai politik yang ada.

“Politik di DPR itu sulit ditebak. Oleh karena itu, bagi yang mendukung dwi kewarganegaraan perlu kekompakkan untuk mendorong agar masalah ini menjadi perbincangan politik di Indonesia.” kata Denny INdrayana yang saat ini sedang menjadi profesor tamu untuk mengajar di University Melbourne.

Prof Mahfud, Prof Denny Indrayana, dan Kanfir Kabo
Panelis Dialog Dwi Kewarganegaraan di Melbourne: (dari kiri) Prof Mahfud MD, Prof Denny Indrayana, dan Kanfir Kabo

Foto: Sastra Wijaya

Kekompakkan itu menurut Denny Indrayana adalah agar seluruh kekuatan yang menyamakan suara mengenai apa yang diinginkan, sehingga dengan demikian akan memiiliki daya tawar lebih tinggi. “Dengan adanya kekompakkan, maka usaha untuk mempengaruhi proses politik di Indonesia akan lebih baik lagi.” katanya.

Pendapat Prof Denny Indrayana ini didukung oleh panelis lain Konfir Kabo yang mendukung perlunya lobi yang kuat untuk meloloskan keinginan tersebut.

Saat ini, Dwi Kewarnegaraan di Indonesia sudah diatur dalam UU No 12 tahun 2006 dimana seorang anak yang dilahirkan dari dua orang tua yang memiliki warga negara berbeda, boleh memegang kedua warga negara tersebut sampai usia 18 tahun, sebelum memutuskan kemudian apakah akan mengikuti warga negara Indonesia atau warga negara lainnya dari salah satu orang tua mereka.

Dalam konteks ini, Prof Mahfud MD yang ketika menjadi anggota DPR menjadi anggota Pansus ketika membicarakan RUU ini di tahun 2006 mengatakan tidak tertutup kemungkinan di masa depan akan terjadi perubahan lagi, walau Prof Mahfud MD sekarang juga sepakat bahwa di Indonesia sekarang ini persoalan itu tampaknya belum dilihat sebagai hal yang urgen.

Prof Mahfud melihat bahwa masuknya masalah ini ke dalam Prolegnas sudah merupakan satu kemajuan.

“Kalau sebuah RUU sudah masuk Prolegnas, pasti di satu saat akan berubah. Semua ini adalah proses. Hukum kita berkembang. Misalnya dulu kita memiliki UU tahun 1958 dan kemudian ketika dirasakan perlu perubahan, terjadi di tahun 2006. Bila ada keinginan untuk menjadikannya lebih bagus, proses perubahan tidak tertutup.” kata Prof Mahfud.

Menurutnya, yang sekarang sudah jelas adalah bahwa ada usulan untuk memperluas kedwiwarganegaraan dari sekarang yang hanya berlaku sampai usia 18 tahun.

“Apakah kemudian diperluas menjadi selamanya, atau menjadi sampai 25 tahun. Jadi silahkan saja sekarang kita semua mengajukan usulan perubahan, dengan segala plus minusnya untuk menjadi bahan pertimbangan di Indonesia.” katanya lagi.

Dalam acara dialog yang dihadiri sekitar 100 orang tersebut dan berlangsung selama hampir 3 jam tersebut muncul berbagai komentar mengenai perlunya Indonesia mengakui dwi kewarganegaraan mulai dari masalah sumbangan yang diberikan oleh Diaspora Indonesia di luar negeri sampai dengan potensi suara masyarakat Indonesia di negeri dimana mereka tinggal.

Konfir Kabo, seorang pengacara migrasi di Melbourne memberikan contoh mengenai dirinya.

“Saya sudah hampir 28 tahun tinggal di sini, dan saya masih memiliki warga negara Indonesia. Dalam pekerjaan, saya banyak berhubungan dengan tokoh-tokoh politik di sini.”

“Namun suara kita tidak diperhatikan oleh mereka, karena kita bukan warga negara Australia. Ada sekitar 50 ribu orang Indonesia di Australia, yang mungkin bisa menjadi warga negara, namun mereka tidak akan menjadi warga karena mereka tetap mempertahankan warga negara Indonesia. Jadi karena itu suara kita tidak didengar di sini. Kita menjadi orang terpinggirkan di sini.” kata Kabo.

Selain dialog dan tanya jawab, dalam acara ini juga ditampilkan prestasi yang dihasilkan warga asal Indonesia yang berada di Australia, seperti pembalap muda Luis Leeds yang sekarang menjadi pembalap Formual 4 di Inggris, Tasia dan Gracia Seger pemenang lomba My Kitchen Rules 2016 dan Tristan Bramanta, 11 tahun yang baru-baru ini menjadi juara kontes mengeja dalam bahasa Inggris Spelling Bee.