ABC

Dianggap Kuno, Dakwah Masjid Mulai Ditinggalkan Milenial Indonesia

Dakwah di masjid kini dianggap tidak menarik minat kaum muda Muslim, khususnya generasi milenial. Dalam studi terbaru yang dilakukan sebuah universitas Islam di Jakarta, terungkap bahwa kaum milenial mulai menjauhi dakwah yang bercorak konvensional. Makin banyak milenial Muslim menyukai kajian agama online.

Studi terbaru yang dilakukan Pusat Studi Agama dan Budaya (CSRC) Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta menunjukkan, Muslim milenial menganggap dakwah atau kajian di masjid tak lagi relevan dengan persoalan mereka.

Temuan UIN Jakarta yang diterbitkan Februari ini dalam buku berjudul “Masjid di Era Milenial: Arah Baru Literasi Keagamaan” menyebut, anak-anak muda ini tidak lagi tertarik dengan konten dakwah yang disampaikan di masjid.

“Sebagian besarnya itu karena topik yang diangkat dan cara mengangkatnya, cara membahasnya di masjid itu membosankan buat anak-anak milenial. Tidak menyentuh kebutuhan mereka,” jelas Irfan Abubakar, Direktur CSRC UIN Jakarta, kepada ABC tentang hasil survei yang dilakukan pada September 2018 itu.

Survei CSRC juga memaparkan bahwa alasan lain dari makin berkurangnya minat Muslim milenial terhadap dakwah di masjid adalah dakwah yang dibumbui dengan provokasi.

“Kalau itu bukan hanya milenial yang merasa terganggu, jamaah-jamaah yang tua juga tidak suka dengan itu,” kata Irfan.

Akademisi Muslim itu mengatakan, data tersebut muncul dengan alasan dakwah di masjid tidak berhubungan dengan persoalan yang dihadapi sehari-hari oleh milenial yang sedang mencari identitas.

"Termasuk juga khutbah Jumat. Kan bagaimanapun itu tiap minggu, kan seharusnya dijadikan sebagai ajang literasi keagamaan, membentuk karakter anak-anak muda ini ke arah yang lebih baik, lebih positif, lebih konstruktif buat lingkungannya."

Ia menambahkan, “Kalau pergi ke masjid hari Jumat itu kan bagian dari tradisi ya. Itulah yang tersisa, efek spiritual yang tersisa.”

Padahal, menurut Irfan, masjid -dalam tradisi yang panjang -sebenarnya merupakan lembaga ke-Islaman untuk penguatan komunitas.

“Bukan hanya sisi spiritual tetapi juga sosial, harusnya (masjid) ada dampak terhadap kehidupan sosial yang lebih baik.”

Survei CSRC ini dilakukan di 7 kota Indonesia yang mewakili corak keberagaman Muslim yang berbeda. Irfan menuturkan, survei yang dilakukan lembaganya memang tidak bisa mengklaim bahwa semua masjid telah dijauhi milenial dan dianggap tidak menarik dakwahnya.

“Tapi kita punya asumsi bahwa dengan mempelajari pola-pola itu kita bisa klaim bahwa yang lain juga seperti itu.”

Menanggapi hasil temuan UIN Jakarta, Direktur Program Dewan Masjid Indonesia (DMI), Munawar Fuad mengatakan ada harapan besar dari Muslim milenial bahwa dakwah secara umum, baik di masjid maupun di tempat-tempat lain, bisa memberikan suatu keterhubungan yang jelas.

“Relevansi yang jelas terkait dengan harapan, penghidupan, perkembangan dari kalangan muda.”

“Di sisi lain mereka juga sedang gandrung terhadap suasana spiritualitas, keberagaman yang tidak bersifat monoton tetapi betul-betul memberikan satu rasa kebahagiaan dan kepuasan spiritual yang sesuai dengan harapan dan kehidupan anak-anak muda sekarang ini,” jelas Fuad kepada ABC.

Ia bahkan memberi catatan agar survei itu atau kesimpulan apapun harus lebih bersifat komprehensif. Karena menurutnya, apa yang dilakukan DMI, baru-baru ini, bertentangan dengan hasil studi itu.

“Karena baru saja, misalnya, Dewan Masjid Indonesia menyatukan seluruh elemen pemuda, lembaga kepemudaan, lembaga remaja, pelajar maupun komunitas-komunitas hobi dan para entrepreneur muda Muslim.”

irfan
Irfan Abubakar, Direktur CSRC UIN Jakarta.

Twitter; @irfanabubakar

Fuad menerangkan, pihaknya belakangan berusaha mengembalikan suasana keagamaan lewat dakwah bagi kaum muda di masjid, tetapi yang muatannya lebih cocok dengan apa yang menjadi tren di kehidupan anak-anak muda.

“Yang tentu semua berdasar nilai-nilai ke-Islaman yang kontemporer dan adaptif ya,” sebutnya.

Hasil survei itu, kata Fuad, bisa jadi menunjukkan kejenuhan belakangan ini di mana masjid cenderung dimanfaatkan sebagai tempat dakwah yang radikal atau praktek politik praktis.

“Kemudian ada beberapa pihak yang menyimpangkan fungsi dakwah yang moderat itu pada pemanfaatan kesempatan-kesempatan yang tidak semestinya.”

“Kita ambil positifnya saja hasil studi itu.”

Kajian online digemari karena efisien

Irfan Abubakar berpendapat, Muslim milenial saat ini lebih mendapat jawaban yang lebih mengena atas persoalan hidup mereka di media daring (online).

“Dakwah di online itu lebih menarik buat mereka. Di samping mereka kan generasi yang lebih dekat ke media online, digital, gadget dan segala macam. Itu membuat mereka lebih nyaman.”

Fajar Shiddiqy (34 tahun) adalah milenial yang gemar mengikuti kajian Islam online. Menurutnya dakwah online lebih ia gemari karena alasan kepraktisan.

“Karena lebih efisien dibandingkan mendatangi kajian ke masjid. Dakwah online lebih baik karena bisa diikuti kapan saja dan di mana saja, apalagi di waktu sibuk yang sedikit ada waktu buat ikut kajian ke masjid,” jelas pemuda asal Aceh tersebut.

Ia menolak menyebut konten kajian online lebih menarik ketimbang kajian masjid. Efisiensi adalah keunggulan utama dakwah online yang selalu diikutinya setiap hari.

"Memang penyajian konten online lebih to the point (tidak bertele-tele), ringkas dan simple (sederhana). Jadi jika lewat online, saya bisa memperoleh ilmu atau kajian lebih banyak."

“Sedangkan jika ke masjid hanya satu tema per pertemuan. Juga menghabiskan waktu yang tidak sedikit, belum lagi biaya transportasi dan lain-lain.”

Alasan serupa juga disampaikan Andhika Widyarani (34), pegawai negeri sipil yang tinggal di Jakarta. Efisiensi menjadi alasan utama dipilihnya kajian online mengingat kesibukannya sehari-hari.

“Rata-rata kajian itu di hari kerja dan lokasi tidak dekat dengan posisi kantor atau rumah. Biasanya pun, Ustadz yang sering didengar kalo lagi isi kajian, lokasinya jauh seperti di Bandung, Lampung, Bekasi,” ungkapnya.

Di sisi lain, saat ini sudah banyak pengajian atau perkumpulan kajian yang rutin mengunggah ulang atau bahkan menyiarkan secara langsung kajian mereka.

“Intinya, akses mudah tanpa harus ke tempat kajiannya. Itu keunggulan kajian online.”

Meski demikian, masih ada milenial yang masih menggemari dakwah di masjid dan lebih menyukai dakwah konvensional ini ketimbang kajian online.

Sintaya Fudia (19) mengatakan, ia senang mengikuti kajian langsung di masjid atau di tempat fisik lain karena ia bukan tipikal orang yang senang selalu bersentuhan dengan gawai.

“Saya sukanya ketemu teman-teman secara langsung, dan jika kurang jelas, (kajian di masjid) bisa ditanyakan langsung dan lebih jelas,” ujar pelajar di Ngawi, Jawa Timur ini.

“Kalau di online kan kadang kurang jelas dan hanya satu arah.”

Ikuti berita-berita lain di situs ABC Indonesia.