ABC

Dewi Anggraeni Luncurkan Novel Berlatar Kerusuhan 1998

Pengarang dan wartawan asal Indonesia yang sekarang tinggal di Melbourne (Australia) Dewi Anggraeni hari Minggu (26/11/2017) meluncurkan buku terbarunya berjudul My Pain My Country, sebuah novel yang menggunakan peristiwa kerusuhan Mei 1998 di Indonesia sebagai latar belakang.

Novel setebal 276 halaman yang ditulis dalam bahasa Inggris dan diterbitkan penerbit Inggris Austin Macauley ini menceritakan seorang wanita keturunan Tionghoa Indonesia dalam peristiwa kerusuhan menyusul jatuhnya kekuasaan Presiden Soeharto ketika itu.

Dalam percakapan dengan wartawan ABC Sastra Wijaya lewat telepon hari Senin (27/11/20170, Dewi Anggraeni yang sudah lebih dari 40 tahun tinggal di Australia mengatakan bahwa buku tersebut merupakan cerita fiksi namun latar belakang sejarah mengenai kerusuhan Mei 1998 merupakan informasi akurat berdasarkan riset yang dilakukannya.

Dewi sebelumnya pernah menulis buku berjudul Tragedi 1998 dan Lahirnya Komnas Perempuan Indonesia yang diterbitkan di tahun 2014 dalam bahasa Indonesia.

“Saya memang tidak mengalami sendiri peristiwa 1998, namun apa yang terjadi selalu ada di benak saya, dan bahkan ada perasaan irasional dimana saya merasa ikut bersalah karena tidak berada di sana,” katanya.

Oleh karena itu, Dewi kemudian memutuskan untuk mengumpulkan bahan-bahan mengenai peristiwa 1998 tersebut dengan berbicara dengan mereka yang terlibat.

“Saya atas bantuan Komnas Perempuan berbicara dengan para korban, mereka yang membantu para korban, dan bahkan juga dengan salah seorang pelaku dari kerusuhan tersebut,” lanjutnya lagi.

Keputusan menulis buku Tragegi 1998 itu didasarkan juga pada kenyataan sampai sejauh ini tidak ada pengakuan resmi dari pihak berwenang di Indonesia mengenai apa yang terjadi dalam kerusuhan tersebut.

“Memang sudah ada pengakuan, walau agak enggan mengenai terbakarnya gedung-gedung, penjarahan barang-barang milik warga Tionghoa, juga penembakan terhadap mahasiswa.”

“Namun sampai sekarang tidak ada pengakuan misalnya mengenai adanya pemerkosaan terhadap para perempuan. Ada argumentasi bahwa tidak ada bukti forensik yang bisa digunakan, demikian juga dengan alasan bahwa tidak ada yang melaporkan dari mereka yang menjadi korban,” tambah Dewi yang pindah ke Australia di tahun 1970 tersebut.

Ketika buku Tragedi 1998 diterbitkan dan Dewi Anggraeni menghadiri peluncuran buku di Jakarta, dia mendapat banyak reaksi spontan dari mereka yang hadir mengenai informasi yang ada di dalam buku tersebut.

“Banyak anak-anak muda yang berbicara dengan saya mengatakan bahwa mereka selama tidak tahu persis mengenai apa yang terjadi selama kerusuhan,” tambahnya lagi.

Sekembalinya ke Australia, Dewi juga mendapat banyak permintaan dari rekan-rekannya agar buku tersebut diterbitkan dalam bahasa Inggris.

“Namun terus terang saya tidak lagi memiliki energi untuk menulis mengenai hal tersebut dalam bahasa Inggris. Secara emosional, penulisan buku Tragedi 1998 sudah menguras energi saya,” katanya lagi.

Banyak yang belum diketahui mengenai Indonesia

Buku My Pain My Country adalah buku ke-12 yang ditulis Dewi Anggraeni
Buku My Pain My Country adalah buku ke-12 yang ditulis Dewi Anggraeni

Photo: Dewi Anggraini

Dewi Anggraeni pertama kali tiba di Australia karena mendapat kesempatan untuk mengajar bahasa Indonesia dan bahasa Perancis di tahun 1970, hal yang dilakukannya selama bertahun-tahun.

Setelah itu, dia lebih dikenal di Indonesia sebagai koresponden majalah Tempo di Australia, dan kemudian juga menjadi kontributor majalah Forum Keadilan dan harian berbahasa Inggris The Jakarta Post.

Menurut Dewi, penulisan novel My Pain My Country ini juga dimaksudkannya untuk menggambarkan kehidupan warga Tionghoa Indonesia, sesuatu yang tidak banyak diketahui oleh masyarakat di luar Indonesia.

“Dalam pandangan saya, mereka yang berada di luar Indonesia, hanya memiliki informasi sepotong-potong mengenai Indonesia, dan juga cenderung seperti sudah menjadi pandangan umum (stereotipe) seperti misalnya warga Tionghoa menguasai ekonomi, dan mereka tidak disukai oleh warga dari suku lainnya.”

“Pandangan itu ada benarnya, namun menurut saya masalahnya lebih kompleks dari itu. Juga ada pandangan dari luar bahwa cerita mengenai Diaspora Tionghoa di Asia Tenggara misalnya di Thailand, Malaysia, Singapura, dan Indonesia itu sama saja, serupa. Padahal dalam kenyataannya sebenarnya sejarah dan pergerakannya sangatlah berbeda,” kata Dewi yang juga merupakan keturunan Tionghoa generasi keempat di Indonesia.

Buku My Pain My Country ini merupakan buku ke-12 yang sudah ditulis oleh Dewi Anggraeni dan kali ini diterbitkan di Inggris oleh Austin Macauley.

“Ini hanya masalah teknis saja. Saya melakukan eksperimen dengan harapan buku ini bisa lebih banyak dibaca, dan buku yang diterbitkan di Eropa dicetak dalam jumlah yang lebih besar, dan karenanya harga jualnya bisa lebih murah.”

“Di Australia, misalnya buku dicetak pertama kali sejumlah 1500 buku, sementara di Eropa bisa dicetak sebanyak 5000 buku, sehingga ongkos produksi bisa diserap ke dalam jumlah sehingga bukunya bisa dijual lebih murah,” katanya lagi.