ABC

Detektif DNA Sedang Mencari Pelaku Eksploitasi Seksual di Kalangan Pemberi Bantuan Internasional dan PBB

Ketika bencana alam terjadi atau sebuah perang pecah, orang-orang pertama yang memberi bantuan adalah petugas PBB atau badan bantuan besar.

Para pekerja bantuan ini datang membawa makanan, obat atau membangun tempat berteduh, dengan upaya menciptakan keadaan normal kembali. 

Namun dalam beberapa kasus, yang mereka lakukan justru berdampak lebih buruk.

Dari Haiti ke Suriah, Bosnia ke Sierra Leone, eksploitasi seksual dan pelecehan terjadi di sektor bantuan yang diberikan oleh PBB dan lembaga bantuan, yang dikenal sebagai "surga aman terakhir bagi para pelaku".

Akibatnya, banyak anak-anak yang lahir dari hubungan seksual tersebut.

Menggunakan teknologi DNA, sebuah tim mencoba melacak para pelakunya sekaligus mengirim pesan bagi mereka yang terlibat di sektor bantuan tersebut.

Sudah berusaha melakukannya sejak lama

Andrew MacLeod adalah mantan pejabat tingkat tinggi di PBB, yang kini menjadi profesor tamu di King's College in London. Ia juga adalah salah seorang pendiri lembaga amal yang berusaha memberantas pelecehan seksual terhadap anak-anak Hear Their Cries.

"

"Dalam pandangan saya ini masalah besar," kata Andrew kepada ABC, berbicara dari Liberia di Afrika Barat.

"

"Namun seberapa besar? Susah untuk diketahui dengan tepat karena "industri badan bantuan dan PBB sudah berusaha memperkecil masalah ini sejak lama."

Sudah ada beberapa data.

MacLeod mengutip data penelitian tahun 2019, di mana para peneliti melakukan wawancara terhadap 2.500 perempuan di Haiti dan menemukan adanya 265 anak-anak yang lahir dengan salah satu orang tua adalah penjaga perdamaian PBB atau sekitar 10 persen dari jumlah perempuan.

"Dan itu baru dari jumlah anggota militer PBB, belum lagi dari bagian tim pemberi bantuan."

Kisah-kisah seperti ini mulai muncul namun pegiat seperti MacLeod mengatakan ini hanyalah "puncak dari gunung es".

Sebagai contoh di tahun 2018, pekerja bantuan sosial dari LSM Internasional Oxfam yang tiba di Haiti setelah adanya gempa bumi di tahun 2010 dituduh membayar korban gempa untuk melakukan hubungan seksual.

Hal ini membuat Dewan Pembangunan Internasional Australia melakukan penelitian dan menemukan belasan kasus eksploitasi seksual tersebut.

Tahun 2020, belasan perempuan di Republik Demokratik Kongo menuduh petugas bantuan yang datang untuk menangani virus Ebola, yang berasal dari Organisasi Kesehatan Dunia dan LSM lain melakukan eksploitasi seksual.

Dalam beberapa kasus, warga ditawari pekerjaan bila  mereka mau berhubungan seksual dengan petugas pemberi bantuan.

Sektor pemberi bantuan ini sudah mengakui adanya eksploitasi, dengan Sekjen PBB António Guterres mengatakan bahwa pelanggaran seksual ini "merupakan masalah di seluruh jaringan PBB" dan "setiap korban berhak mendapatkan keadilan."

Ketimpangan kuasa

Menurut MacLeod, memang banyak misi penjaga perdamaian PBB atau bantuan bencana dijalankan dengan niat yang benar, namun kondisi di lapangan membuka celah bagi pelecehan dan eksploitasi seksual.

"

"Di mana ada ketimpangan kuasa antara pria dan perempuan, maka pria akan melecehkan perempuan," katanya.

"

"Dan di dunia saat ini  ketimpangan kuasa paling besar adalah antara pemberi bantuan dan penerima bantuan.

Pekerja pemberi bantuan akan menguasai makanan, air dan tempat berlindung yang dieperlukan oleh penerima bantuan untuk bisa bertahan hidup."

MacLeod mengatakan sebagian orang kemudian menyalahgunakan ketimpangan tersebut.

"Sebagai contoh sejumlah kecil predator tersebut sekarang mencari sasaran di industri bantuan dengan bekerja di lembaga amal anak-anak sehingga mereka bisa mendekati anak-anak," katanya.

"Dan tidak ada mekanisme efektif untuk melakukan pencegahan, mendeteksi dan menghukum para predator tersebut. Mereka bebas berkeliaran dan itu terus terjadi."

MacLeod dan timnya berusaha mengubah hal tersebut.

Mengumpulkan data DNA

MacLeod saat ini ada di Monrovia, ibu kota Liberia yang berada di Afrika Barat dan baru-baru ini juga mengunjungi  Sierra Leone.

Dia berada di sana dalam misi khusus untuk mengumpulkan data DNA dari anak-anak yang lahir dengan orang tua staf PBB atau LSM.

MacLeod adalah bagian dari proyek yang menggunakan DNA untuk menemukan para pria yang menjadi orang tua anak-anak tanpa mempermasalahkan keberadaan mereka.

"

"Kalau kita bisa menemukan DNA dari pihak laki-laki dan membandingkannya dengan data yang sudah ada di situs DNA seperti 23andMe dan Ancestry.com, atau data dari penegak hukum, kita mungkin tidak akan menemukan data bapaknya namun kita bisa menemukan anggota keluarga lain," katanya.

"

"Dari situ kita bisa melacak dan akhirnya menemukan data sang bapak."

Dan proses itu sudah membuahkan hasil.

Dalam sebuah proyek percontohan, MacLeod dan timnya melakukan enam tes terhadap anak-anak di Filipina, di mana ayah mereka adalah turis datang datang untuk membayar hubungan seksual atau pekerja bantuan.

"Kami menemukan lima bapak – dua warga Australia, seorang dari Kanada, seorang dari Inggris dan seorang dari Amerika Serikat. Dan kami sedang dalam usaha hukum terhadap merkea." 

Ide ini bukanlah hal yang baru. Teknologi menggunakan DNA sudah cukup lama digunakan oleh penegak hukum atau perseorangan untuk melacak jejak keluarga mereka.

Di tahun 2018 polisi di Kalifornia menggunakan data situs GEDmatch untuk menemukan pembunuh dari kasus "Golden State killer" yang membunuh sedikitnya 13 orang dan memperkosa belasan lainnya di tahun 1970-an dan 1980-an.

Kelompok yang disebut "detektif DNA" semakin populer di media sosial di mana banyak diskusi dan berbagai pengalaman mengenai DNA dan penggunaannya.

Perempuan dan anak-anak

MacLeod menekankan apa yang dilakukannya timnya terjadi "dengan izin sepenuhnya" dari perempuan dan anak-anak yang memainkan peran besar.

"

"Ini semua berkenaan dengan pemberdayaan anak-anak dan perempuan. Informasi tersebut bisa mereka gunakan untuk memutuskan apa yang terbaik untuk kehidupan mereka selanjutnya," katanya.

"

Setelah sang bapak ditemukan, ibu dan anak akan menentukan apa langkah selanjutnya.

MacLeod juga mengatakan hubungan yang terjadi antara pria dan perempuan tidaklah selalu dalam bentuk eksploitasi atau pelecehan.

"Bisa juga bersifat transaksional. Bisa juga hubungan seperti pacaran di mana prianya kemudian pergi. Bisa juga terjadi pemerkosaan," katanya.

"Namun dalam bentuk hubungan apa pun, sang anak tetap memiliki hak untuk mengetahui siapa ayahnya."

Hal ini didukung oleh Konvensi PBB mengenai Hak Anak yang mengatakan bahwa anak-anak memiliki hak mengetahui siapa orang tua mereka, dan dengan itu memiliki akses bagi kewarganegaraannya.

Menemukan sang bapak

MacLeod mengatakan para pria yang dilacak dari proyek percontohan di Filipina memberikan reaksi yang berbeda-beda.

Dia menyebut ayah dari Amerika Serikat "sudah melakukan hal yang benar".

"

"Sang ayah mengatakan "saya akan membayar anak tersebut atau membantu dia datang ke AS dan membayar biaya kuliah dan paspor'," kata MacLeod.

"

"Jadi anak ini berubah dari hidup di kawasan kumuh di Filipina dan sekarang mendapatkan pendidikan di universitas di Amerika Serikat."

Pria lainnya membantah keterlibatan mereka, dengan beberapa mengajukan kasus ke pengadilan.

Setelah kegiatan mereka di Afrika, MacLeod berharap ide ini akan digunakan lebih luas, dengan satu tujuan utama.

"Kami ingin menciptakan rasa takut lebih besar bagi para pelaku di masa depan – demi menghindari pelecehan di masa depan."

Artikel ini diproduksi oleh Sastra Wijaya dari ABC News