Denny Indrayana Ungkap Kesulitan SBY Berantas Korupsi
Mantan Wamenkum HAM Prof Denny Indrayana PhD mengungkap sejumlah kesulitan mendasar yang dialami Presiden SBY dalam upaya pemberantasan korupsi di Indonesia, khususnya dalam masa jabatan kedua pemerintahannya 2009-2014.
“Presiden SBY tidak pernah melakukan intervensi terhadap kasus yang ditangani KPK, baik yang terkait dengan keluarganya maupun dengan kader-kader Partai Demokrat,” kata Denny saat menyampaikan pemaparannya pada seminar yang digelar CILIS (Centre for Indonesian Law, Islam and Society pada Fakultas Hukum Melbourne University, Selasa (20/9/2016) malam.
Seminar bertema Combating Corruption in Yudhoyono’s Indonesia: An Insider’s Perspective ini dibuka Prof Tim Lindsey yang juga merupakan pembimbing Denny saat menempuh pendidikan S3 pada Melbourne University beberapa tahun silam.
Sejak Mei 2016, atas bantuan Prof Tim Lindsey, Denny Indrayana diterima sebagai professor tamu pada Fakultas Hukum Melbourne University. Seminar ini sekaligus dijadikan sebagai semacam pengukuhan atas posisinya sebagai guru besar tamu.
“Harus saya akui bahwa pengamatan saya mungkin subyektif karena kedekatan saya dengan Presiden SBY,” kata Denny saat memulai pemaparannya di hadapan ratusan peserta seminar.
Menurut dia, untuk menjadi seorang presiden yang efektif dalam memberantas korupsi, diperlukan setidaknya tiga hal, yaitu kekuasaan konstitusional, dukungan politik yang kuat, serta kontrol yang memadai.
“Sudah diketahui bahwa Presiden RI setelah reformasi khususnya setelah amandemen UUD 1945 sejak 1999 hingga 2002, merupakan presiden dengan kekuasaan lebih terbatas dibanding sebelumnya,” katanya.
Terkait dengan dukungan politik di era Pemerintahan SBY, Denny mengatakan “koalisinya bukannya solid melainkan jadi koalisi yang sulit”. Hal ini terutama terlihat dalam periode kedua SBY dimana Partai Golkar dan PKS memberikan dukungan setengah hati sebagaimana terlihat dalam kasus pembentukan Pansus Bank Century di DPR RI.
“Poin ketiga yaitu, kontrol yang memadai. Meskipun presiden memiliki kewenangan konstitusional dan dukungan politik yang cukup namun belum akan efektif tanpa adanya kontrol bukan hanya dari oposisi tapi juga publik dan media,” katanya.
Pemaparan Denny kemudian lebih fokus pada aspek dukungan politik yang terjadi selama Pemerintahan SBY.
Dia menjelaskan, periode pertama Pemerintahan SBY didukung oleh 8 parpol yang menguasai 73,3 persen kursi di DPR RI, sedangkan di periode kedua didukung 6 parpol dengan kekuatan 75,5 persen di DPR.
“Di samping itu perolehan suara Partai Demokrat naik hampir tiga kali lipat dari 7,45 persen dalam Pemilu 2004 menjadi 20,85 persen dalam Pemilu 2009,” jelasnya.
“Setelah Pemilu 2009 Presiden SBY optimistis dengan periode keduanya. Dia memberitahu saya bahwa meningkatnya perolehan suara Demokrat berarti menguatnya mandat untuk menjalankan pemerintahannya lebih efektif termasuk dalam pemberantasan korupsi,” ungkap Denny.
Namun sayangnya, kata Denny, hal itu tidak otomatis meningkatkan pula dukungan politik yang solid dari parpol anggota koalisi. “Anehnya, serangan politik yang dialami Presiden SBY terkadang lebih berat dibandingkan periode pertama, dan bukannya datang dari oposisi tapi justru dari anggota koalisinya sendiri,” katanya.
Dia memaparkan koalisi Pemerintahan SBY lebih solid di periode pertama karena adanya faktor Jusuf Kalla yang berhasil memimpin Partai Golkar dan menjadikannya partai pendukung pemerintah.
“Situasinya sangat beda dalam periode kedua. Ketua Golkar waktu itu, Aburizal Bakrie, tidak memegang jabatan dalam pemerintahan,” katanya seraya menambahkan, dukungan setengah hati dari Golkar membuat pemerintahan koalisi tidak efektif.
“Selain itu, PKS yang juga anggota koalisi, mengambil posisi yang sama dengan Golkar yaitu memberikan dukungan setengah hati kepada presiden,” paparnya.
“Faktanya, hanya selang beberapa bulan setelah resmi jadi anggota koalisi, Partai Golkar dan PKS secara agresif menginisiasi pembentukan Pansus Century di DPR yang tidak kehendaki Presiden SBY,” tambah staf pengajar pada Fakultas Hukum UGM ini.
Denny mengungkap, dalam beberapa kesempatan Presiden SBY “marah” dan ingin mengeluarkan Golkar dan PKS dari koalisi. “Namun dengan perhitungan politik yang hati-hati SBY memutuskan untuk mempertahankan Golkar dan PKS dalam pemerintahannya,” katanya.
Menurut Denny, dengan Boediono sebagai Wapresnya, SBY memiliki peluang lebih baik menjalankan agenda pemberantasan korupsi mengingat latar belakangnya sebagai teknokrat.
Namun Boediono yang tak memiliki dukungan parpol justru menjadi target dalam pemeriksaan Pansus Bank Century, bersama Menkeu Sri Mulyani yang justru dikenal mengusung agenda reformasi di lingkungan kementeriannya.
Hal ini, menurut Denny, menjadikan enam bulan pertama Pemerintahan SBY-Boediono terfokus pada kasus Century. “Hanya setelah SBY mengizinkan Sri Mulyani mundur sebagai Menkeu barulah serangan jadi mereda,” kata Denny.
Menurut Denny, “hal ini menunjukkan bahwa kasus Century lebih merupakan personal attack daripada kepentingan nasional”.
Di bagian lain pemaparannya, Denny mengemukakan bahwa dia gabung dengan pemerintahan SBY sejak akhir periode pertama dan melihat langsung sejumlah upaya yang dilakukan Presiden SBY dalam pemberantasan korupsi.
Misalnya, upaya SBY membentuk tim koordinasi pemberantasan korupsi, yang justru dikritik akan menjadi rival bagi KPK. Upaya lainnya adalah melarang TNI untuk berbisnis dan membentuk tim yang akan menangani peralihan bisnis-bisnis TNI sebelumnya.
Menurut Denny, sebagai presiden SBY tidak pernah melakukan intervensi terhadap KPK. “SBY selalu meminta saya untuk berkomunikasi dengan pimpinan KPK namun komunikasinya jangan sampai diartikan sebagai bentuk intervensi,” kata Denny.
Bahkan, kata Denny lagi, SBY tidak pernah menggunakan kekuasaannya sebagai presiden untuk mempengaruhi KPK dalam menangani kasus Aulia Pohan serta kasus sejumlah pimpinan Partai Demokrat meskipun dia tahu kasus-kasus tersebut akan menjatuhkan reputasi partainya.
Hadir dalam seminar itu istri dan kedua anak Denny Indrayana, begitu pula ibu dan saudaranya.