ABC

Dengan Jari Berbagi Cinta, Dengan Jari Tunanetra Melihat Dunia

Minat baca dikalangan penyandang tunanetra terus meningkat, namun ketersediaan buku dalam format braile masih sangat terbatas. Kepedulian relawan menyediakan waktu untuk mengetik ulang buku-buku yang ada di pasaran sangat diperlukan untuk membantu tunanetra mengakses buku bacaan.

Saat ini diperkirakan ada sekitar 3,5 juta penyandang tunanetra di Indonesia.  Sama halnya dengan warga pada umumnya mereka membutuhkan buku untuk membantu mereka menjalani perannya di masyarakat, namun sayangnya saat ini buku dalam format Braile sangat sulit didapatkan.

Keprihatinan ini melahirkan Gerakan Seribu Buku Untuk tunanetra yang digagas oleh Yayasan Mitra Netra sebuah organisasi nirlaba yang memusatkan programnya pada peningkatan kualitas dan partisipasi tunanetra di bidang pendidikan dan pekerjaan.  Lewat gerakan ini, Yayasan Mitra Netra melakukan penggalangan relawan untuk  membantu proses produksi buku bagi tunanetra, baik dalam bentuk buku Braille maupun buku audio digital.

“Karena prihatin pada terbatasnya buku untuk tunanetra, perlu ada gerakan untuk  mempercepat ketersediaan buku bagi tunanetra dan lembaga kami punya misi besar tapi SDMnya sangat terbatas, makanya kami mengajak masyarakat untuk berpartisipasi,” kata Aria Indrawati, penyandang tunanetra yang juga Humas Yayasan Mitra kepada wartawan kami Iffah Nur Arifah di Jakarta.

Pengetikan ulang buku untuk tunanetra

Salah satu kegiatan dalam Gerakan Seribu Buku Untuk Tunanetra adalah pengetikan ulang buku yang melibatkan ratusan relawan dalam satu hari. Event ke-3 pengetikan ulang buku itu digelar akhir Mei 2014 lalu di Balairung UI Depok, Jawa Barat.

Lebih dari 800 orang relawan ikut ambil bagian dalam kegiatan PUBT tersebut dengan target dalam satu hari bisa memproduksi 70 judul buku.

“Yang kami minta bantuan adalah mengetik ulang buku-buku terutama buku umum yang akan kami proses untuk menjadi buku braile. Kegiatan ini merupakan cara kami mengumpulkan sejumlah relawan dalam satu hari untuk mengetik buku sehingga dalam satu hari ada penambahan koleksi buku braile kami yang signifikan ketimbang kami mengerjakan sendiri atau relawan mengerjakan satu per satu,” papar Aria Indrawati lagi.

Aria menambahkan keterlibatan para relawan ini memangkas kurang lebih 85%  dari seluruh pekerjaan produksi buku braile yang dilakukan organisasinya. Soft copy buku dalam format MS Word hasil ketikan para relawan ini selanjutnya oleh Mitra Netra diproses menjadi file berformat Braille dengan menggunakan software Mitra Netra Braille Converter (MBC); yaitu software ciptaan Mitra Netra sendiri, yang digunakan untuk memproduksi buku Braille.  Mitra Netra telah mengembangkan software tersebut sejak tahun 1997, dan hingga kini terus diperbaharui – telah mencapai versi 5.0, menyesuaikan dengan perkembangan sistem operasi berbasis “windows”.

Selain menyediakan koleksi buku dalam format braile, Yayasan Mitra Netra juga menyediakan file buku dalam bentuk audio. File buku dalam format braile  maupun audio itu kemudian dikompilasi dalam bentuk perpustakaan Braille online yang dikelola Yayasan Mitra Netra.

Dan sejak Gerakan Seribu Buku Untuk Tunanetra diluncurkan sudah ada lebih dari 1500 judul buku yang diketik ulang dan siap di produksi dalam format Braile. Jika jumlah itu dibandingkan dengan jumlah buku yang ada di toko buku atau perpustakaan umum, tentu masih jauh dari memadai.

“Kalau dibandingkan dengan penambahan buku yang ada dimasyarakat setiap tahun  sangat jauh ya jumlahnya. IKAPI bilang setiap tahuna da 10 ribu buku baru yang diterbitkan. Berarti kalau 100-150 buku yang diketik ulang untuk tunanetra berartii hanya 10%-15% saja, masih banyak yang belum bisa diakses teman-teman tunanetra,” kata Aria.

Menurut Yayasan Mitra Netra akses buku bagi tunanetra ditanah air masih sangat kurang. Jangkauan program yang mereka lakukan juga masih terbatas hanya dibeberapa kota saja.  Padahal saat ini minat membaca kelompok tunanetra sangat meningkat.

“Semua buku yang sedang popular, yang sedang jadi pembahasan itu teman-teman tunanetra juga tanyakan dan minta kepada kami.  Waktu popular novel Habibie Ainun, itu kami kewalahan melayani permintaan buku itu, begitu juga yang tetralogi Laskar Pelangi.”

“Sekarang tunanetra bahkan pergi ke pameran buku untuk cari tau sendiri buku-buku apa yang sedang popular dan membelinya untuk kemudian minta diubah ke format braile di yayasan kami,” tutur Aria.

Meski demikian menurut Aria Gerakan Seribu Buku Untuk Tunanetra ini yang Mitra Netra laksanakan bersama para relawan merupakan upaya mengatasi kondisi darurat saja.

Mereka berharap suatu saat akan ada sistem khusus di Indonesia yang bisa mempermudah tunanetra mengakses buku.

Relawan antusias

Sementara itu sejumlah relawan yang ikut berpartisipasi dalam acara Pengetikan Ulang Buku Untuk Tunanetra pada Sabtu (31/6) di Balairung UI, Depok mengaku sangat senang bisa membantu tunanetra mengakses buku bacaan.

“Sehari-hari kita sudah sibuk dengan urusan masing-masih, jadi perlu juga terlibat dalam kegiatan seperti ini untuk menunjukan kepedulian kita pada orang lain. Apalagi kita diberi kelebihan memiliki pancaindera yang sempurna, sangat wajar kita membantu mereka yang tidak bisa melihat,” kata Yelia seorang ibu rumah tangga yang hari itu mendapat jatah mengetik sebagian dari buku motivasi.

Sementara itu, seorang peserta lainnya Hasanudin Hazanki, mahasiswa FMIPA UI mengaku tergerak ikut dalam kegiatan ini lantaran prihatin dengan sulitnya kelompok tuna netra mengakses bacaan.

 “Membaca atau buku itu kan jendela dunia dengan membaca kita bisa mengenal dunia alam ini dan segalanya. Tunanetra sebagai umat manusia juga butuh buku. Makanya saya ikut program ini supaya bisa menambah koleksi buku mereka supaya mereka bisa membaca," kata hazanki.