ABC

David Hull, Koki Australia yang Jatuh Cinta pada Gulai Otak

Mencintai dunia masak-memasak sejak remaja, David Hull mengembara ke sejumlah negara untuk mengembangkan profesinya. Dalam sebuah kunjungan ke Indonesia, koki dari Australia Barat ini mengaku jatuh cinta seketika pada masakan Minang, gulai otak!

David Hull memulai karir di dunia masak sejak lulus dari sebuah SMA di Inggris. Ia menjalani profesi sebagai ahli kuliner karena tertarik dengan bahan-bahan masakan. Menurutnya, inspirasi yang bisa ia dapatkan dari satu bahan sungguh tak terbatas.

Ia mengawali perjalanannya dari sebuah restoran lokal di Inggris, menyediakan jasa katering untuk pernikahan, hingga bekerja di pub terkenal. Koki berambut pirang ini pun lantas melanglang buana ke Perancis dan Selandia Baru sebelum akhirnya hijrah ke Australia.

“Ya, saya memang berasal dari Inggris. Saya tinggal di sana sampai saya berusia 21 tahun. Dan 10 tahun terakhir, saya berpindah-pindah tempat tinggal. Mulai dari Selandia Baru, Perancis, dan sekarang di Australia,” tuturnya.

David Hull mengatakan, perjalanannya ke Indonesia menginspirasinya untuk membawa cita rasa yang lebih kuat pada masakan Australia. (Foto: AUSTRADE)
David Hull mengatakan, perjalanannya ke Indonesia menginspirasinya untuk membawa cita rasa yang lebih kuat pada masakan Australia. (Foto: AUSTRADE)

 

Sejak sekitar tiga tahun lalu, David bekerja di sebuah restoran di dalam kompleks perkebunan anggur ‘Cullen Wines’, Australia Barat.

“Saya bekerja di wilayah Margaret River, Australia, sekitar tiga jam dari Perth. Daerah yang cukup dingin di bulan Juni dan sangat panas di awal tahun. Tapi saya menikmati suasana di perkebunan anggur yang ramah lingkungan ini,” tuturnya kepada wartawan Australia Plus Nurina Savitri.

Ia lantas mengisahkan, perkebunan anggur tempatnya bekerja menggunakan teknik-teknik alami untuk menumbuhkan buah yang kemudian diolah menjadi minuman.

“Kami tak menggunakan bahan kimia dalam berkebun, anggur tumbuh secara alami, dibiarkan begitu saja untuk tumbuh, semuanya ramah lingkungan,” utaranya.

David percaya, apapun yang diambil manusia dari lingkungan sekitarnya, harus kembali ke lingkungan itu.

Tak heran, di Australi pun, David terbiasa memasak makanan yang didapatnya dari pasar lokal.

“Bahan makanan yang paling saya suka masak adalah daging sapi, alpukat, kacang macademia, seafood segar. Sesuatu yang saya tahu di mana dan bagaimana mereka tumbuh atau dibiakkan,” akunya.

Namun, ketika mengunjungi Indonesia untuk promosi kuliner Australia, David jatuh cinta pada pandangan pertama ketika mencoba gulai otak sapi.

“Sebelum bertemu dengan anda, saya tadi coba Nasi Padang. Saya paling suka otak. Teksturnya sangat bagus. Saya sangat terkejut mengetahui betapa lembut teksturnya,” ujarnya polos.

Pria yang baru pertama ke Indonesia ini menambahkan, “Tadinya saya pikir itu akan susah dimakan, tapi ternyata menyenangkan dan lembut dan seperti meleleh di mulut saya. Saya benar-benar langsung suka.”

David tengah membuat sup kental (puree) dari buah bit dalam demo masak memperkenalkan kuliner Australia. (Foto: AUSTRADE)
David tengah membuat sup kental (puree) dari buah bit dalam demo masak memperkenalkan kuliner Australia. (Foto: AUSTRADE)

 

Baginya, masakan Indonesia kaya akan bumbu dan cita rasanya sangat berbeda dengan masakan Australia.

“Rasanya, bumbunya, cara penyajiannya-pun juga berbeda. Di sini memakai banyak cabai, sementara di Australia saya tak memakai banyak cabai, kami menggunakan cabai tapi tak terlalu banyak. Kami lebih banyak menggunakan bawang putih.” jelasnya.

Ia menyambung, “Budayanya sangat berbeda, gaya masakannya sangat berbeda. Tentu saja saya bisa mengenali beberapa bahan seperti kunyit dan jintan. Dari sini saya bisa belajar untuk membawa cita rasa yang lebih kuat ke Australia.”

Ia juga mengaku terkejut akan betapa umumnya organ dalam hewan dijadikan makanan di Indonesia.

“Di Australia, bukannya kita tak pernah masak organ hewan seperti usus dan otak, cuma di sana bahan-bahan seperti itu tak masuk menu utama,” sebutnya.

David menilai, dalam 10 terakhir ini, budaya kuliner yang ia temui sudah bergeser.

“Dulu orang lebih banyak memasak di rumah, sekarang sudah banyak yang sering makan di luar. Dan sekarang, profesi seperti saya pun lebih dihargai,” ungkapnya.

Koki yang menyukai segala jenis minuman wine ini mengaku, pengalamannya berkelana ke sejumlah negara telah membuat dirinya kaya akan petualangan kuliner.

“Saya pikir, ketika banyak orang keliling dunia, mereka tak hanya belajar tentang budaya. Mereka juga ingin mencoba sesuatu yang berbeda dari negeri asalnya. Seperti saya yang akhirnya makan mata ikan untuk pertama kali,” ujarnya sambil tersenyum.

“Ketika saya tinggal di Inggris dan Selandia Baru, saya ambil beberapa budaya kuliner mereka dan mencoba mendesainnya ke dalam menu yang saya susun sekarang di restoran,” tuturnya.