ABC

Dari Burma ke Bendigo: Kisah Hidup Biksu di Australia

Ketika pindah ke Australia Biksu Ashin Moonieinda dikira pendekar Shaolin, dan malah diminta bekerja di tempat pemotongan hewan. Itulah yang membuatnya memutuskan untuk menjadi jembatan bagi pemahaman budaya antar bangsa.

Ketika Ashin Moonieinda tiba di Australia dari sebuah kamp pengungsi di perbatasan Thai-Burna, seseorang yang bertemunya di jalan bertanya "dimana anda membeli baju yang anda pakai"? menanyakan jubah biksu yang dikenakannya.

Kemudian yang lain juga bertanya dan meminta dia memperagakan beberapa jurus kungfu dan karate, karena dia dikira sebagai pendekar Shaolin dari China sepertti yang tampak dalam berbagai film.

Tentu saja Ashin Moonieinda terkejut atau paling tidak keheranan mendengar berbagai pertanyaan ini. Di Asia, di negara seperti Burma, atau Thailand, para biksu sering tampak berbaur dengan masyarakat luas, namun hal tersebut jarang terjadi di Australia.

Sejak pindah di tahun 2007, Ashin baru memahami bahwa kalau di negara-negara dengan mayoritas penduduk Budha, para biksu sangat dihormati, di Australia dia diperlakukan sama dengan warga biasa lainnya,.

Enam bulan setelah tiba, Ashin harus diwawancarai di kantor Centrelink, guna mendapatkan dana tunjangan sosial dari pemerintah. Ashin terkejut ketika ditanya apakah dia bisa bekerja di rumah pemotongan hewan.

Biksu Budha biasanya akan berusaha untuk tidak membunuh binatang hidup karena bertentangan dengan pandangan agama mereka bahwa semua makhluk hidup harus diperlakukan dengan baik. "Saya tidak pernah mendapat pertanyaan seperti ini sebelumnya. Saya merasa tidak enak menjawab pertanyaan tersebut."

Ashi Moonieinda akhirnya tidak harus bekerja di rumah jagal tersebut, namun sadar bahwa guna menemukan kedamaian di negeri yang baru ini memerlukan kerja keras dan kompromi.

Sekarang dia bekerja sebagai penterjemah Bahasa Burma. Warga dari berbagai agama dan latar belakang datang guna mendapatkan pertolongan dari Ashin Moonieinda  dan dia membantu para migran baru guna memahami budaya Australia.

Bagi pengungsi seperti Ashin Moonieinda, keharusan untuk membayar tagihan listrik, gas atau air, atau harus mengisi formulir guna mendapatkan layanan tertentu bukan hal yang gampang pada awalnya dan itulah ditularkannya dengan para migran yang baru datang.

 


Ashin Moonieinda dengan warga masyarakat Karen di Bendigo (ABC)

Dia mengatakan tidak bisa mengikuti cara hidup biksu sepenuhnya di Australia, namun dia berusaha mencapai keseimbangan antara ajaran agamanya dengan gaya hidup Barat. Menjadi bagian dari masyarakat di Bendigo, sebuah kota pertanian besar di Victoria, 150 km dari Melbourne, membuat kehidupan Ashin lebih mudah.

Ashin juga sudah menulis sebuah petunjuk di internet untuk warga Australia guna belajar mengenai budaya suku aslinya: Karen yang berasal dari Burma Tenggara.

Dalam petunjuk itu, Ashin menulis: "Warga Karen adalah warga yang kuat dan pantang menyerah yang sudah melewati banyak tantangan di medan perang dan kamp pengungsi. Beberapa warga Karen mungkin kesulitan untuk belajar bahasa Inggris atau bisa beradaptasi dengan baik di Barat, namun ini tidaklah berarti mereka harus diperlakukan seperti anak-anak."

Ashin Moonieinda terus berharap untuk membangun persahabatan sekarang dijelmakan dalam sebuah poyek baru. "Saya merencanakan membangun sebuah biara yang diakui oleh pemerintah Australia." katanya.

"Biara ini akan dibangun di Bendigo, dan  Ashin Moonieinda sudah memiliki tanah dan ijin untuk pembangunannya.