ABC

Dampak Robot Terhadap Peran Manusia di Pekerjaan Tak Seburuk Perkiraan

Kita semua ingin tahu berapa banyak pekerjaan yang akan terancam oleh bangkitnya robot dan teknologi. Anda mungkin merasa resah jika pekerjaan Anda adalah salah satu yang bisa terpengaruh.

Namun berkat sebuah laporan baru, 27 persen dari 160 juta orang di angkatan kerja Amerika Serikat (AS) bisa bernafas lebih lega karena mengetahui pekerjaan mereka lebih aman daripada yang mereka duga.

Itu setara dengan 43 juta orang yang hidup, bernafas dan bekerja di AS. Jika dihitung lebih luas lagi, itu artinya 3 juta warga Australia, 9 juta warga Inggris dan 27 persen dari tenaga kerja di negara paling maju.

Prospek mereka telah dinilai ulang di laporan baru yang dikerjakan oleh sebuah kelompok yang mencakup seorang ahli matematika, yang pertama kali mengungkap potensi risiko pada pekerjaan.

Laporan berjudul ‘The Future of Skills: Employment in 2030’ (Masa Depan Keterampilan: Ketenagakerjaan pada tahun 2030), yang diterbitkan pada bulan September, adalah penyelidikan mereka yang paling rinci sampai saat ini mengenai dampak teknologi dan kini menempatkan 20 persen pekerja dalam kategori rentan.

Itu turun dari 47 persen, jumlah yang pernah dikutip sebagai risiko dalam sebuah studi tahun 2013 berjudul The Future of Employment (Masa Depan Pekerjaan), yang ditulis oleh profesor Karl Frey dan Michael Osborne dari Oxford Martin School, Universitas Oxford, di Inggris.

Studi lain, perkiraan lain

Sejak saat itu, banyak penelitian mencerminkan temuan ini. Studi Frey/Osborne yang asli berfokus pada data angkatan kerja AS. Pekerjaan tindak lanjut mereka mencapai kesimpulan yang serupa untuk Inggris dan Eropa.

Komite untuk Pembangunan Ekonomi Australia melakukan pekerjaan serupa dalam laporan di tahun 2015 yang berjudul ‘Australia’s Future Workforce’ (Tenaga Kerja Masa Depan Australia) untuk mencapai angka 40 persen.

Ini menjadi dasar proyeksi pekerjaan oleh Data61 CSIRO dan Foundation for Younger Australians (Yayasan Warga Australia Muda).

Hal itu juga mendukung meningkatnya penurunan dalam penghasilan dasar untuk mengimbangi jutaan orang yang berisiko kehilangan pekerjaan sementara mesin menciptakan produktivitas yang lebih besar.

Kemungkinan bahwa 20 persen dari angkatan kerja berada dalam pekerjaan yang rentan terhadap teknologi di tahun 2030 sangat menakutkan, namun jauh dari perkiraan semula yakni sebesar 47 persen.

Jadi apa yang terjadi disini?

Analisa baru

Laporan terbaru – yang melibatkan Dr Osborne sebagai satu dari empat penulisnya -menggali lebih dalam daripada analisa asli data AS yang mengamati sembilan keterampilan yang bisa teridentifikasi, yang bisa direplikasi oleh mesin secara lebih mudah.

Itu menunjukkan bahwa data melalui algoritma pembelajaran mesin yang digunakan untuk mencapai kesimpulan, didasarkan semata-mata pada dampak teknologi.

Kali ini para peneliti memulai dengan menyusun kelompok fokus manusia untuk mengidentifikasi tren besar selain teknologi yang bisa memengaruhi ketenagakerjaan.

Mereka termasuk:

• mitigasi perubahan iklim

• mempersiapkan kota untuk mengatasi urbanisasi

• kebutuhan perawatan untuk masyarakat Barat yang menua, dan

• meningkatnya permintaan konsumen akan produk-produk kerajinan.

Alih-alih masuk ke sembilan kategori data O * NET (yang menggambarkan keterampilan pembentuk pekerjaan), mereka masuk ke 120 kategori.

Mereka menemukan, teknologi bisa melengkapi beberapa pekerjaan namun tidak sepenuhnya menggantikan sebanyak yang diklaim oleh analisa sebelumnya.

Pandangan terakhir mereka yang tepat adalah bahwa 18,7 persen dari angkatan kerja AS dan 21,2 persen dari angkatan kerja Inggris berada dalam pekerjaan yang rentan terhadap gangguan teknologi.

Di sisi lain, 9,6 persen (8 persen di Inggris) orang berada dalam pekerjaan di mana permintaan akan tenaga manusia akan meningkat melalui teknologi.

Sisa 70 persen atau lebih di kedua sisi benua tersebut berada dalam kategori yang tidak diketahui.

Keterampilan dibutuhkan untuk masa depan

Menariknya, laporan ini memeringatkan risiko terhadap inovasi dari kekhawatiran atas perkiraan tinggi yang sebelumnya dirilis.

Laporan ini sesuai dengan anggapan bahwa kreativitas dan kemampuan pemecahan masalah yang kompleks untuk mendukung ketrampilan teknologi sangat penting bagi kesuksesan angkatan kerja di masa depan. Begitu pula pentingnya kemampuan interaksi pribadi dan kemampuan belajar yang berkelanjutan.

Hal ini ditekankan dalam laporan mengenai bisnis inovatif tahun lalu yang diterbitkan oleh ‘Council of Learned Academies’ Australia.

Kemampuan manusia untuk melengkapi mesin (atau sebaliknya) juga menjadi elemen penting dalam karya Profesor Thomas Davenport dari Boston’s Babson College, baru-baru ini.

Dalam bukunya ‘Only Humans Need Apply’ di tahun 2016, Davenport dan editor Harvard Business Review, Julia Kirby, berpendapat bahwa akan ada banyak peran manusia di tempat kerja yang dilengkapi teknologi -baik itu di level buruh maupun profesional.

Berbicara di konferensi ‘Real World Futures’ di Universitas Teknologi Queensland (QUT) pada tahun yang sama, Davenport mengutip aturan di mana teknologi tampak mengancam namun, menurut perkiraannya, 8 pengacara mungkin melakukan pekerjaan 10 orang.

Dampak teknologi terhadap tenaga kerja masa depan kini semakin diperebutkan. Penelitian yang dilakukan oleh salah satu penulis yang karyanya telah membantu mendorong pandangan dystopian tentang masa depan, ini memiliki potensi untuk mengubah batas-batas terhadap penerimaan teknologi.

Sementara jumlah utamanya begitu menarik, pertanyaan besarnya adalah tentang jumlah yang besar -70 persen berada dalam kategori yang belum diketahui.

Pertanyaan yang muncul untuk negara-negara maju adalah apa yang akan terjadi pada pekerja di industri tersebut dan apa artinya bagi masa depan mereka? dibutuhkan lebih banyak penelitian mengenai hal ini di Australia.

Dalam buku saya yang berjudul ‘Wake Up – The nine h#shtags of digital disruption’, saya berpendapat bahwa kebijakan publik selama ini bereaksi secara lambat terhadap gangguan teknologi. Dampak Uber dan AirBnB sudah bisa diperkirakan namun dibiarkan begitu saja.

Membentuk pandangan tentang masa depan dan kemudian mengumpulkan data adalah awal minimum yang harus kita minta dari pemerintahan yang terpilih untuk memimpin.

Alternatifnya adalah bahwa mereka sendiri akan terganggu saat data tersebut berbalik menyerang mereka.

*David Fagan adalah direktur transisi perusahaan dan seorang profesor bisnis di Queensland University of Technology (QUT).

*Artikel ini awalnya diterbitkan dalam The Conversation.

Simak berita ini dalam bahasa Inggris di sini.