ABC

Dampak Kelompok Pengungsi Bagi Kemajuan Ekonomi Regional Australia

Memukimkan kembali para pengungsi dari Asia Tenggara ternyata telah memberi manfaat besar bagi sebuah kota regional di negara bagian Victoria di Australia.

Ini adalah salah satu kesimpulan penelitian mengenai dampak kehadiran pengungsi asal Karen bagi kota Bendigo, yang terletak sekitar 150 km utara Melbourne.

Warga Karen adalah warga etnis minoritas asal Myanmar, dengan belasan ribu diantaar mereka tinggal di kamp pengungsi di perbatasan negara itu dengan Thailand.

Mereka yang tidak lahir di kamp pengungsi bekerja sebagai petani di desa-desa di kawasan pegunungan di Myanmar.

Sejak tahun 2007 ketika keluarga pertama pengungsi Karen tiba di Bendigo, komunitas di sana sekarang tumbuh menjadi sekitar 1000 orang.

Sensus terbaru yang dilakukan tahun 2016 menemukan bahwa Karen adalah bahasa kedua yang paling banyak digunakan di Bendigo setelah bahasa Inggris.

Penelitian terbaru yang dilakukan lembaga Deloitte Access Economics dan Adult Multicultural Education Services (AMES) Australia memperkirakan komunitas Karen sudah menyumbangkan sekitar $67,1 juta (sekitar Rp 670 miliar) bagi perekonomian Bendigo.

Penelitian juga menemukan adanya 177 lapangan kerja penuh waktu yang diciptakan oleh para pekerja Karen tersebut.

Direktur Eksekutif AMES Australia Cath Scarth mengatakan bahwa hasil penelitian merupakan dukungan bagi pemukiman pengungsi di kawasan regional di Australia.

"Ketika difasilitasi dengan baik, ini bisa memberikan kontribusi signifikan bagi perekonomian, dan juga jaringan budaya dan sosial di komunitas regional." kata Scarth.

Para pengungsi rajin dan setia

A group of workers dressed in hairnets, facemasks and aprons surround a table of raw chickens.
Perusahaan pemotongan ayam Hazeldene di Bendigo mempekerjakan 120 staf dari kalangan warga Karen.

ABC Central Victoria: Mark Kearney

Perusahaan pemotongan ayam di Bendigo Hazeldene paling banyak mempekerjakan warga Karen dengan 120 orang bekerja di sana.

Ann Conway dari perusahaan itu menggambarkan pekerja Karen sebagai mereka yang selalu bekerja keras dan setia.

“Asal pekerja yang berbeda-beda adalah hal yang bagus dari sisi organisasi, dan budaya, karena perbedaan akan meningkatkan motivasi.” kata Conway.

"Perbedaan budaya dalam perusahaan malah saling memperkaya dan sudah terbentuik hubungan yang betul-betul harmonis diantara berbagai kebangsaan."

Conway mengatakan meski ada masalah dengan bahasa, beberapa staf asal Karen dibayar untuk bekerja sebagai penterjemah.

Lembaga sosial di Bendigo, seperti Loddon Campaspe Multicultural Services (LCMS) juga berperan dalam membantu para pengungsi Karen untuk beradaptasi dengan kehidupan di Australia.

Direktur Eksekutif LCMS Kate McInnes mengatakan pemukiman kembali para pengungsi ini sudah mengubah komunitas Bendigo, selain juga membantu dalam hal ekonomi.

Perubahan ini sangat penting karena sebelumnya dalam sensus di tahun 2011, Bendigo termasuk salah satu wilayah yang paling tidak beragam dari sisi budaya.

“Saya senang tinggal di wilayah regional., namun juga memiliki banyak budaya berbeda, dimana anak-anak saya bisa bergaul dengan orang dari seluruh dunia. Mereka bisa menikmati festival dari seluruh dunia.” kata McInnes.

Meruntuhkan tembok perbedaan

Four girls dressed in blue, floral dance costumes sit on floor. One plays with their phone.
Anggota masyarakat dari komunitas Karen menampilkan tari tradisional di acara budaya di Bendigo.

ABC Central Victoria: Mark Kearney

Peningkatan keragaman etnis di Bendigo juga berarti meningkatnya keragamam agama.

Sekarang sebuah vihara Budha sudah berfungsi di Bendigo, sementara gereja Kristen Baptis menyelenggarakan juga kebaktian dalam bahasa Karen.

McInnes mengatakan semakin beragamnya masyarakat di sana juga membantu mengurangi ketegangan agama, seperti protes yang terjadi di tahun 2015 menentang pembangunan mesjid di Bendigo.

"Kita sudah pernah melihat adanya protes dari sebagian masyarakat yang tidak menerima adanya keberagaman." kata McInnes.

“Satu makan malam bersama, atau satu BBQ, atau satu cangkir teh bisa mengubah perilaku kita, karena ada diantara kira yang tidak mendapat kesempatan sebelumnya bertemu dengan orang yang datang ke Australia sebagai pengungsi.” kata McInnes lagi.

Menjalani kehidupan baru

Bu Gay, a Karen social worker in Bendigo, looks at the camera. She's surrounded by blue sky and tree branches.
Keluarga Bu Gay merupakan pengungsi Karen pertama yang menetap di Bendigo.

ABC Central Victoria: Mark Kearney

Sebelas tahun lalu, keluarga Bu Gay Pha Thei menjadi keluarga asal Karen pertama yang tiba di Bendigo, dan sejak itu dia menjadi orang pertama dari komunitasnya yang menyelesaikan pendidikan universitas.
Sekarang bekerja sebagai perawat, Pha Tei bekerja di LCMS sebagai pekerja sosial kemasyarakatan.

Perempuan berusia 24 tahun tersebut mengatakan bangga dengan apa yang sudah dicapai komunitasnya, melihat betapa susahnya perjuangan mereka di awal-awal ketibaan mereka.

“Kami tidak memiliki keluarga Karen lainnya yang bisa kami kunjungi di akhir pekan.” katanya.

"Susah sekali untuk berkomunikasi, sudah sekali untuk pergi belanja, susah sekali untuk keluar mencari teman."

Pha Thei melihat mengurusi warga Karen yang lansia menjadi salah satu tantangan yang dilihatnya perlu diatasi.

“Kami harus banyak memberi dukungan kepada mreka untuk mendapat pelayanan.” katanya sambil menambahkan bahwa belajar bahasa Inggris adalah masalah lain yang dihadapi para lansia.

“Anak-anak muda tidak mengalami masalah karena mereka belajar di sekolah, sehingga ada guru-guru yang bisa membantu mereka.”

Lihat artikelnya dalam bahasa Inggris di sini