ABC

CSR di Indonesia Dinilai Belum Berdampak Signifikan

Dalam diskusi yang dilakukan mahasiswa Indonesia di Murdoch University di Perth (Australia Barat) mengenai tanggung jawab sosial perusahaan, disebutkan bahwa dampak program yang lebih dikenal sebagai CSR ini belum dirasakan begitu dirasakan bagi masyarakat di Indonesia. Agung Dorodjatoen dari Asosiasi Pelajar Pasca Sarjana di Australia (AIPSSA) menjabarkannya lebih lanjut.

Meskipun Corporate Social Responsibility (CSR), atau tanggung jawab sosial perusahaan, bukan hal yang baru di Indonesia, pelaksanaannya selama ini dinilai masih belum optimal.

Manfaat yang didapatkan masyarakat tidak terlalu signifikan—dalam beberapa kasus justru membertakan.

Sementara di sisi perusahaan, pelaksanaan CSR masih mengedepankan pendekatan bisnis semata.

Pada titik inilah peran pemerintah menjadi krusial untuk menjembatani kedua kutub kepentingan tersebut.

Diharapkan pemerintah dapat mengeluarkan payung regulasi yang tidak hanya mengatur pelaksanaan tanggung jawab sosial perusahaan, terapi juga menyediakan kalkulasi serta jaminan akan manfaat baik bagi masyarakat maupun perusahaan secara berkelanjutan.

Demikian beberapa hal yang menjadi poin penting bahasan dalam acara Indonesia Insight yang diselenggarakan pada hari Kamis (27/10/2016) oleh The Association of Indonesian Postgraduate Students and Scholars in Australia (AIPSSA) dan Persatuan Pelajar Indonesia Murdoch University (MUISA/PPIA Murdoch).

Sebagai kegiatan reguler yang bertujuan untuk mempromosikan pertukaran pikiran dan kolaborasi riset antar mahasiswa, diskusi tersebut mengambil tema “Sustainable Development in Indonesia: Recent Updates.”

Bertempat di kampus Murdoch University, Perth, Indonesia Insight menghadirkan tiga pembicara yang berkompeten di bidang pembangunan berkelanjutan, khususnya terkait tanggung jawab sosial perusahaan dan konservasi lingkungan hidup.

diskusi2perth_supplied_161104
Narasumber Diskusi (dari kiri): Diswandi, Dwiko Permadi, Rizki Pafitri

Foto: Ary Mazharuddin Shiddiqi

Dwiko Permadi, mahasiswa doktoral di bidang kehutanan dari The University of Western Australia (UWA), dalam penelitiannya di Kabupaten Sanggau dan Kabupaten Sintang, Kalimantan Barat, menyampaikan bahwa CSR perusahaan kayu terhadap masyarakat sekitar awalnya memiliki dampak positif.

Bentuk tanggung jawab sosial, yang antara lain berupa royalti atas pemanfaatan lahan, penyediaan infrastruktur, dan dana bantuan sosial nyata dirasakan manfaatnya oleh masyarakat selama kurun waktu 1995-2008.

Skema implementasi tanggung jawab sosial tersebut diwujudkan dalam bentuk kontrak, yang diberi nama Corporate-Communities Partnership (CCP), antara korporasi, selaku penyedia insentif, dan komunitas lokal, yang akan merehabilitasi lahan hutan.

Namun demikian, perubahan skema implementasi tanggung jawab sosial selepas terjadinya krisis finansial global pada tahun 2008 mengubah hal tersebut.

Tuntutan finansial bagi perusahaan untuk dapat mengatasi dampak negatif krisis membuat penurunan jumlah dan jenis insentif tanggung jawab sosial perusahaan.

Direncanakan sebagai kebijakan untuk memelihara citra perusahaan di mata publik, biaya akibat kontrak CCP menjadi beban yang cukup berat bagi perusahaan kayu yang terimbas krisis.

Akibat dari hal tersebut, keinginan masyarakat untuk melanjutkan kontrak kerjasama dengan perusahaan kayu berkurang.

Apalagi, menurut Dwiko, yang juga merupakan staf pengajar Fakultas Kehutanan, Universitas Gadjah Mada (UGM), perubahan skema CCP tersebut tidak dikomunikasikan secara dua arah kepada masyarakat.

Hal ini diperkuat oleh temuan Rizki Pafitri, mahasiswi doktoral bidang peternakan di Murdoch University.

Varian baru dari tanggung jawab sosial perusahaan, Creating Shared Value (CSV), yang digadang lebih dapat menyerasikan tujuan profit perusahaan dan dampak sosial bagi masyarakat juga mengalami hasil yang kurang memuaskan.

Dari penelitiannya terhadap perusahaan susu ternama di Indonesia, Rizki, yang juga merupakan staf pengajar di Universitas Brawijaya, menemukan bahwa meskipun sudah dilaksanakan selama 30 tahun, tanggungjawab sosial perusahaan tersebut terhadap peternak sapi perah di Jawa Timur tidak memiliki dampak yang signifikan.

Perusahaan memberikan insentif kepada peternak susu dalam bentuk pinjaman lunak dan subsidi pengadaan biogas.

Pinjaman lunak digunakan peternak untuk membeli alat produksi guna meningkatkan kualitas susu.

Di sisi lain, kotoran ternak dapat dimanfaatkan untuk pengadaan listrik bagi rumah tangga peternak melalui program biogas.

Namun demikian, dari perspektif peternak, kedua bantuan tersebut justru dirasa memberatkan.

Pinjaman lunak hanya dapat digunakan apabila peternak menjual susu ke perusahaan tersebut. Apabila peternak memutuskan menjual susu ke perusahaan lain, pinjaman harus segera dilunasi saat itu juga.

Sementara itu, pengadaan biogas tidak terlalu signifikan dalam mengurangi limbah ternak.

Di sisi lain, subsidi pengadaan biogas oleh perusahaan susu menyebabkan peternak terikat dalam perjanjian untuk menjadi anggota koperasi selama beberapa waktu.

Dalam upayanya untuk menjadikan tanggung jawab sosial berkelanjutan, konsep CSV ternyata justru menempatkan masyarakat penerima manfaat tidak merasakan dampak positif yang signifikan.

Temuan positif disampaikan oleh Diswandi, mahasiswa doktoral bidang lingkungan hidup di Murdoch University.

Dalam penelitiannya terkait Payment for Environmental Services (PES), atau pembayaran jasa lingkungan, di Lombok, peran aktif pemerintah berhasil menjamin manfaat bagi pihak perusahaan dan masyarakat.

PES di Lombok dilakukan antara pengguna air, baik individu ataupun perusahaan, di hilir dengan masyarakat yang tinggal di hulu sungai.

Pengguna air—berdasarkan peraturan daerah—diminta membayar retribusi tambahan selain biaya penggunaan air. Retribusi tambahan ini disalurkan kepada masyarakat yang tinggal di hulu untuk pemeliharaan lingkungan hulu dan pemberdayaan ekonomi.

Diswandi, yang juga pengajar pada Universitas Mataram, menemukan bahwa selama lima tahun telah disalurkan dana PES sebesar lebih dari satu milyar rupiah, dan uang tersebut digunakan untuk mereboisasi 405 hektar hutan kritis di Lombok Barat, atau sekitar 2,45 persen dari total 16.363 hektar hutan kritis di Lombok Barat.

Namun demikian, karena jumlah dana yang terbatas, penggunaan dana PES pun masih diprioritaskan bagi program-program skala kecil.

Dari hasil diskusi tersebut, seberapa besar perusahaan bersedia membayar untuk tanggung jawab sosial perusahaan masih menjadi aspek yang perlu diperjelas.

Bukan hanya ini akan mengukur manfaat bagi masyarakat dan kalkulasi profit perusahaan, tapi juga hal tersebut akan menjadi jaminan bagi keberlanjutan tanggung jawab sosial perusahaan.

Langkah inovatif Pemerintah Kabupaten Lombok Barat yang meregulasi tanggung jawab sosial perusahaan dalam Peraturan Daerah menjadi contoh bagi perbaikan implementasi tanggung jawab sosial perusahaan di Indonesia.

Diskusi tripartite antara perusahaan, perwakilan masyarakat penerima manfaat dan pemerintah perlu didorong agar langkah-langkah terobosan lainnya dapat segera ditemukan.

Kegiatan diskusi Indonesia Insight adalah program rutin yang diselenggarakan oleh AIPSSA. Diskusi rutin ini mengambil tempat di kampus-kampus di Australia dengan tujuan sebagai upaya diseminasi hasil riset pelajar pascasarjana di Australia sekaligus memberikan gagasan konstruktif bagi Pemerintah Indonesia, serta edukasi kepada publik, sebagaimana disampaikan oleh Presiden AIPSSA, Faris Alfadhat

* Agung Dorodjatoen adalah mahasiswa doktoral bidang ekonomi geografi di The University of Western Australia.