ABC

Cenderamata Aborijin Palsu Rugikan Seniman Pribumi

Pegiat perlindungan hak cipta seniman Aborijin Australia menyampaikan keprihatinan atas maraknya peredaran benda-benda seni bergaya Aborijin dan Torres Strait Islander palsu, yang ditawarkan ke wisatawan asing di kawasan tujuan wisata populer.

Tahun ini, Gabrielle Sullivan dan koleganya dari Indigenous Arts Code mengunjungi sejumlah kawasan tujuan wisata populer di Australia bagi pelancong mancanegara.

Mereka antara lain mengunjungi Circular Quay di Sydney, Pasar Queen Victoria dan Swanston Street di Melbourne, Darwin dan Alice Springs, dan membeli cenderamata serta benda seni dengan gaya Aborijin dan Torres Strait Islander.

“Kami mengajukan serangkaian pertanyaan kepada penjualnya … sambil melihat-lihat barang yang mereka jual dan kami bertanya ‘siapa seniman yang membuat karya ini?’, Darimana seniman ini berasal?’, Apa bahasa kelompok adat mereka?’,” kata Sullivan.

“[Dalam] salah satu contoh paling menyolok dari barang palsu yang beredar, saya pergi ke salah satu toko untuk membeli sebuah benda seni, dan saya langsung diberitahu kalau barang itu berasal dari Bali ketika saya bertanya.”

“Pria di toko itu kemudian mengatakan: ‘kebanyakan benda-benda seni Aborijin yang kami jual tidak berasal dari sini tapi dari Indonesia, jadi bukan benda seni karya orang Aborijin yang ditawarkan pertama kali.”

Karya seni adalah kepanjangan dari penciptanya, dan karya seni kebudayaan tradisional warga pribumi Australia merupakan penafsiran visual dari kekayaan sejarah salah satu kebudayaan tertua yang masih hidup di bumi ini.

Penafsiran visual yang kemudian disalurkan ke dalam artefak tradisional ini merupakan pengetahuan yang sakral, yang bersedia dibagi pada saat ini oleh kaum laki-laki dan perempuan pribumi Australia – meski didalam masyarakat modern hal ini bisa dilihat sebagai hal yang tampaknya tidak mengandung unsur sakral dan tidak dipungkiri lagi kemudian terjadi eksploitasi dari tradisi mereka.

Dan meski sebagian mengatakan aksi meniru merupakan bentuk tertinggi dari sebuah pujian atau sanjungan, tingkat produksi benda-benda seni bergaya Aborijin palsu ini telah berdampak pada seniman pribumi.

Melukis di Luar Kebudayaannya

Leonard Andy — pemilik tradisional Diru dari daerah Mission Beach di Queensland, yang juga seorang pelukis dan pembuat benda-benda tradisional – mengatakan ia telah diminta untuk menghasilkan karya yang tidak termasuk dalam kebudayaannya.

“Di masa lalu saya pernah diminta untuk melukis didgeridoos –alat musik tiup khas warga Aborijin, dan saya berasal dari hutan hujan,” katanya.

“Orang-orang yang meminta saya melukis didgeridoos bukan orang pribumi tapi mereka operator wisata. Saya katakan kepada mereka kalau saya tidak melakukan hal itu dan itu bukan bagian dari kebudayaan saya di hutan hujan.”

“Awalnya mereka menawarkan saya $50. Tawarannya terus ditingkatkan sampai $150 untuk setiap didgeridoo jika saya melukis satu saja. Tapi tetap saya tolak.. Didgeridoo memang khas Aborijin dan saya orang Australia, tapi alat musik tradisional itu bukan berasal dari wilayah kami di hutan hujan.

Masalah ini melampaui artefak yang dibuat di Bali bagi wisatawan luar negeri. Praktek ini meluas ke pemalsuan, kegiatan penipuan, dan eksploitasi seniman.

Laurie Nona, seorang seniman lino cut dari daerah Badu, Torres Strait Islander dan manajer Pusat Kesenian Badu, mengatakan melihat barang seni palsu membuatnya semakin tak berdaya.

“Ini bentuk ketidakberdayaan … orang-orang ini tidak memiliki budaya, semua yang mereka lihat semata-mata karena uang dollar saja, dan apa yang mereka dapat dari memproduksi benda-benda semacam itu,” katanya.

“Mereka tidak memiliki hubungan dengan benda-benda tersebut.”

Bergantung pada Anggota

Indigenous Arts Code hanya merupakan salah satu organisasi yang dibentuk untuk melindungi hak cipta atas seniman Aborijin di Australia seperti Andy dan Nona.

Sullivan, Kepala Eksekutif kode etika ini, mengatakan kode etik ini dibangun setelah penyelidikan oleh senat pada tahun 2007 mengenai perjualan benda-benda pribumi Australia yang tidak benar.

“Salah satu rekomendasi dari penyelidikan itu adalah membentuk dewan etika,” katanya.

“Ini buka kode etik yang bersifat wajib, tapi ini kode etik yang bersifat suka rela, jadi kami mengandalkan anggota kamu untuk melakukan hal yang benar. Sebagian memang melakukan hal sesuai aturan tapi yang lain tidak.

Legalitas pernak-pernik dan artefak yang dijual di bandara dan pasar Australia meragukan, tapi bisa ditelusuri.

Bisakan sebuah karya dianggap legal jika menggunakan gaya kesenian pribumi tanpa mengaku buatan pribumi?

“Komisi persaingan usaha dan perlindungan konsumen Australia – ACCC dapat melihat praktek semacam ini sebagai bentuk perilaku menyesatkan dan menipu, tapi penindakan seperti ini perlu dibawa ke perhatian mereka,” kata Sullivan.

“Tanpa mengangkat masalah ini untuk menjadi perhatian mereka, bagaimana mereka bisa mengetahui praktek semacam ini?”

“Sementara dari perspektif kode etik, dan kami sedang mengupayakan hal ini dengan Lembaga Hak Cipta dan Hukum Kesenian, akan lebih masuk akal bagi produk-produk ini untuk tidak berada di sana di tempat pertama. “

Distorsi Pasar

Derek Farrell, Direktur regional ACCC untuk Northern Territory, mengatakan lembaganya akan menyelidiki siapa pun yang melanggar hukum.

“Orang-orang yang tinggal di pedesaan sangat bergantung pada industri ini sebagai sumber pendapatan yang sangat penting,” katanya.

“Menjadi sangat tidak bermoral jika melemahkan, mengganggu pasar mereka dengan memproduksi karya seni palsu, yang seolah-olah merupakan benda seni pribumi, tetapi tidak ada uang akan kembali ke masyarakat mereka.”

Seorang seniman yang turut merasakan dampak seperti ini adalah Charmaine Green, penulis dan seniman gambar yang berasal dari kelompok penutur bahasa Badimaya/Wajarri di Australia Barat.

“Kita tidak punya kesempatan sebanyak orang-orang di perkotaan,” katanya.

“Kami harus mengandalkan situs, dan perlu biaya besar untuk bisa sampai ke Perth guna memamerkan dan memasarkan benda-benda seni semacam itu.

“Kami sangat merasakan dampak ini ketika terjadi pelemahan di kawasan lain di industry ini.”

Farrell mengatakan pelanggaran UU Konsumen dapat diganjar ancaman hukuman denda sebesar US$1,1 juta per pelanggaran.

“Kami juga bisa menerbitkan perintah yang bisa mencegah kegiatan semacam ini terjadi lagi, dan dalam beberapa keadaan, kita bisa menerbitkan perintah pembayaran ganti rugi,” katanya.

Diterjemahkan pukul 20:45 WIB, 5/10/2016, oleh Iffah Nur Arifah. Simak beritanya dalam Bahasa Inggris disini.