ABC

‘Causindy’ Jembatani Kaum Muda Indonesia-Australia

Meningkatkan hubungan bilateral 2 negara tak selamanya menjadi hak istimewa pemerintah. Setidaknya 30 muda-mudi ini berusaha membuktikan peranan itu. Lewat ‘Causindy’, mereka duduk bersama, membahas berbagai topik dan mengajukan rekomendasi bagi kelangsungan hubungan baik Indonesia-Australia.

Bertempat di Jakarta, ‘Causindy’ 2014 mengumpulkan 15 pemuda asal Indonesia dan 15 pemuda Australia dari berbagai latar belakang, untuk membahas sejumlah isu yang menjadi warna dalam hubungan bilateral kedua negara.

Mereka diseleksi dari ratusan pelamar yang mendaftar melalui situs ‘Causindy’ dan kemudian dipersatukan selama 4 hari, pada 14-17 September.

“Saya tahu acara ini karena tahun lalu teman saya ikut serta. Terus kemudian saya cek ‘website’ dan ‘apply’. Setahu saya ada sekitar 300 orang yang melamar baik dari Australia dan Indonesia, lalu kami dinotifikasi kalau nama kami masuk tahapan selanjutnya, dan kemudian wawancara via skype, karena kebetulan saya tak berada di Jakarta,” cerita Olivia Dianina Purba, aktivis lingkungan yang tengah menyelesaikan studi pasca sarjana di Australian National University (ANU), salah seorang dari 15 delegasi Indonesia.

Dari kiri ke kanan: Siti Khodijah (Indonesia), Ashlee Betteridge (Australia), Olivia Dianina Purba (Indonesia), dan Ben Davis (Australia). Keempatnya adalah peserta 'Causindy' 2014. (Foto: Nurina Savitri)

Tahun lalu, yang merupakan tahun perdana, acara ini diselenggarakan di Canberra. Para pendiri ‘Causindy’ memang mengatur agar konferensi pemuda ini bisa bergantian digelar di Australia dan di Indonesia.

Bede Moore, pendiri dan direktur ‘Causindy’, mengatakan, ke-30 delegasi adalah para pemimpin muda di komunitasnya, berkontribusi pada lingkungan sekitar, dan memiliki ketertarikan akan negara lain.

“Kami memberi mereka sejumlah program, kami meminta mereka membuat rekomendasi, tapi sebenarnya yang ingin kami berikan adalah kesempatan untuk saling bertemu dan berbicara, serta membuat pertemanan jangka panjang, yang mudah-mudahan bertahan hingga kemudian hari,” tutur Bede, yang tinggal di Jakarta sejak 2011, kepada Nurina Savitri dari ABC Internasional.

Ya, saling mengenal dan menjalin hubungan akrab di antara warga Australia dan Indonesia adalah tujuan utama ‘Causindy’ yang ingin dicapai para pendirinya.

Salah satu sesi diskusi dalam 'Causindy' 2014 yang berlangsung pada 17 September, di Hotel Mandarin Oriental, Jakarta. (Foto: Nurina Savitri)

Bede lantas mengisahkan pengalaman salah seorang delegasi Australia tahun lalu, yang sangat terbantu kehidupan profesionalnya setelah mengikuti ‘Causindy’.

“Salah satu contoh bagus dialami delegasi tahun lalu, Ross Tapsell. Ia adalah dosen di ANU dan salah satu teman akrabnya di ‘Causindy’ 2013 adalah Billy dari Papua. Ketika Ross melakukan penelitian di Papua Barat, Billy mengatakan kalau ia akan menghubungkan Ross dengan komunitas lokal di sana. Dan hasilnya, kualitas penelitian Ross menjadi lebih dalam. Jika bukan karena ‘Causindy’, Ross dan Billy mustahil bisa saling bertemu karena Billy bekerja di sektor energi sementara Ross adalah dosen studi Asia,” kisahnya.

Bagi Alfan Amiruddin, diplomat junior dari Kementerian Luar Negeri Republik Indonesia, yang turut menjadi salah satu peserta, forum pemuda seperti ‘Causindy’ adalah ajang yang tepat untuk mengurangi kesalahpahaman yang kerapkali muncul.

Ia mengutarakan, walau Indonesia dan Australia bertetangga, masih banyak warga di kedua belah pihak yang kurang mengenal tentang budaya masing-masing.

“Yang masih keliru, masih ada orang Indonesia yang menganggap bahwa Australia itu bule. Padahal Australia itu tidak sekedar bule, tidak sekedar kangguru, banyak budaya yang ada di sana yang dibawa oleh para pendatang dan ini yang harus banyak diketahui oleh orang Indonesia,” ujarnya.

Dari kiri ke kanan: Alfan Amiruddin, Pandu Utama Manggala, Siti Khodijah, Aditya Tumakaka. Seluruhnya delegasi 'Causindy' 2014 asal Indonesia. (Foto: Nurina Savitri)

Lewat ‘Causindy’-lah, para pemimpin muda bisa merumuskan suatu aktivitas yang bisa mendekatkan warga Australia dengan warga Indonesia. Di akhir konferensi, mereka memang diminta untuk memberi rekomendasi kegiatan atau kebijakan kepada pemerintah kedua negara, demi meningkatkan hubungan bilateral di antara keduanya.

“Kita tak bisa memilih siapa tetangga kita, tapi di saat yang bersamaan kita juga tak bisa cuek terhadap  tetangga kita, dan saya sangat mendukung dilakukannya eksposur mengenai program-program yang Australia lakukan di Indonesia atau sebaliknya. Banyak orang yang tidak tahu kalau Australia melalui AusAid membangun banyak sekolah di Indonesia,” ungkap Alfan.

Sarah Rennie, salah seorang delegasi asal Australia, memiliki pendapat yang sedikit berbeda. Menurutnya, tak hanya forum seperti ‘Causindy’ saja yang bisa meningkatkan hubungan bilateral kedua negara.

“Sebenarnya ada beberapa metode atau cara, saya rasa yang paling efektif adalah dengan pertukaran budaya dan kesempatan ekonomi, jadi kalau ada orang Australia buka bisnis atau usaha baru di Indonesia, kemudian kerjasama dengan usaha yang ada di Indonesia dan bisa beri kesempatan kerja yang baru dan memberi teknologi yang baru, itu bisa membangun hubungan,” jelasnya.

Perempuan yang fasih berbahasa Indonesia ini-pun menambahkan, “Selain itu, meningkatkan hubungan bilateral  bisa dilakukan lewat budaya, misalnya seperti di Melbourne, ada kelompok musik gamelan, saya tertarik untuk ikut bukan karena saya dari dulu tertarik dengan musik gamelan tapi karena saya ingin bertemu teman-teman baru, berkenalan dengan budaya baru. Kalaupun tak suka musik, bisa lewat film, tarian..atau bisa juga lewat kegiatan olahraga. Jadi nggak harus lewat forum yang sangat serius,” celotehnya.

Sarah Rennie bersama salah seorang rekannya dari Indonesia, Surya Setiyaputra. Sarah meyakini, lewat pertukaran budaya, hubungan bilateral bisa berkembang lebih baik. (Foto: Nurina Savitri)

Beragamnya cara untuk memajukan hubungan bilateral juga dibenarkan oleh delegasi asal Australia lainnya, yakni Luke Dawes. Tapi bagi pria yang pernah mengikuti Program Pertukaran Pemuda Australia-Indonesia (AIYEP) ini, usaha yang terpenting adalah bagaimana membuat masyarakat di kedua belah pihak ‘melek’ terhadap pemberitaan media.

“Banyak orang Australia seringkali tak paham bahwa mereka membaca berita dari kacamata Australia, dan juga sebaliknya. Kita semestinya mengajarkan orang-orang Indonesia dan Australia untuk menjadi kritis terhadap pemberitaan media, siapa yang memiliki media itu, siapa yang berada di belakangnya, itulah seharusnya yang menjadi fokus utama dalam meningkatkan hubungan kedua negara,” utara pemuda jangkung yang kini bekerja di sebuah bank ini.

Bede menuturkan, dalam skala kecil, konferensi ini memang diharapkan untuk bisa memberi para peserta sebuah jaringan dan pertemanan yang terus memberi manfaat bagi kehidupan pribadi dan karir mereka. Namun dalam skala luas, ‘Causindy’ membidik peningkatan hubungan bilateral Indonesia-Australia.

“Kami percaya, dengan menggandeng sekelompok kecil pemuda, atau mereka yang berkomitmen terhadap hubungan kedua negara, ini lebih bisa memberi dampak yang besar terhadap masyarakat. Anak-anak muda ini adalah penggerak di dalam komunitas mereka. Dengan bergabungnya mereka di forum ini, perubahan opini di tengah masyarakat semakin bisa terjadi. Mereka adalah para pemimpin komunitas yang menyebar pesan positif,” tegasnya kepada ABC. 

Luke Dawes pernah belajar satu semester di Universitas Gajah Mada, Yogyakarta. Ia melihat 'Causindy' sebagai peluang yang tepat bagi para delegasi untuk meningkatkan keterlibatan antar budaya mereka. (Foto: Nurina Savitri)