ABC

Canberra dan Tantangan Memindahkan Ibu Kota Negara

Presiden Joko Widodo menunjukkan keseriusannya dalam rencana pemindahan ibu kota pemerintahan dari Jakarta dengan meninjau beberapa wilayah yang diusulkan sebagai lokasi ibu kota yang baru.

Lokasi pertama yang dikunjungi adalah kawasan Bukit Soeharto di Kabupatan Kutai Kartanegara, Kalimantan Timur yang terletak di antara dua kota besar yakni Balikpapan dan Samarinda.

Setelah itu Jokowi terbang ke Palangka Raya untuk mengunjungi kawasan yang disebut sebagai ‘segi tiga emas’ di Kalimantan Tengah yaitu Kabupaten Tanah Mas, Katingan dan Pulang Pisau. Namun Jokowi kemudian hanya mengunjungi Tanah Mas, dan batal ke kedua kabupaten lainnya.

Dalam pembicaraan tentang pemindahan ibu kota negara yang terpisah dari pusat bisnis, ibukota Australia Canberra termasuk yang sering disebut sebagai rujukan.

Canberra kerap disebut ‘the bush capital‘ karena lokasinya dikelilingi hutan pegunungan di pedalaman, tidak di pesisir seperti lokasi kota besar lainnya di Australia.

Balon gas di atas Parliament House, Canberra.
Balon gas di atas Parliament House, saat festival Canberra Balloon Spectacular.

AAP: Lukas Coch

Canberra yang berjarak 280 kilometer dari Sydney dan 660 kilometer dari Melbourne secara formal dibentuk pada tahun 1913, setelah dua tahun sebelumnya Australian Capital Terrirory (ACT) berdiri.

Australia adalah negara federasi dengan wewenang pemerintahan banyak dikerjakan oleh negara bagian, sehingga skala fasilitas fisik dan sumber daya manusia dari kementerian, misalnya, di Canberra tergolong kecil bila dibandingkan dengan kementerian di ibu kota negara dengan sistem presidensial seperti Indonesia.

Australia menjalankan sistem parlementer yang artinya roda pemerintahan berpusat di sekitar parlemen yang memiliki 150 anggota DPR dan 76 anggota senat.

Menteri anggota kabinet adalah anggota parlemen yang ditunjuk oleh perdana menteri dari partai pemenang pemilihan umum.

Selain gedung parlemen lama dan baru, serta kantor pemerintahan federal, Canberra adalah rumah bagi pengadilan tinggi federal, sejumlah monumen, galeri nasional, perpustakaan nasional, serta kantor kedutaan besar negara sahabat termasuk Indonesia.

Sepi, begitulah kesan umum yang terasa ketika mengunjungi Canberra.

Kesan itu pula yang dirasakan oleh Arianto Patunru, staf The Arndt-Corden Department of Economics dan Crawford School of Public Policy Australian National Unversity (ANU), yang beberapa kali ke Canberra untuk kerjasama akademik atau konferensi sejak tahun 2006.

Pada tahun 2012 Arianto memutuskan pindah ke Canberra yang saat ini berpopulasi 410 ribu orang dengan kepadatan penduduk 173,3 orang per kilometer persegi.

“Lama kelamaan saya sadar, sepinya Canberra itu bukan kekurangan, tapi kelebihan, dibandingkan kota besar tetangganya, Sydney dan Melbourne,” kata Arianto kepada Alfred Ginting dari ABC.

“Saya senang karena udaranya masih bersih, lalu lintas hampir tidak pernah macet, dan banyak ruang terbuka. Gampang sekali melakukan banyak kegiatan di Canberra dan memperhitungkan waktu dengan akurat.”

Arianto Patunru di Canberra
Arianto Patunru bersama putrinya di Lake Burley Griffin, yang merupakan salah satu lokasi daya tarik Canberra. Pada latar belakang terlihat National Library of Australia dan tak jauh dari lokasi itu adalah Parliament House yang merupakan pusat pemerintahan Australia.

Kekurangan Canberra, menurut Arianto adalah transportasi publik tidak bisa diandalkan sehingga warga masih sangat bergantung pada kendaraan pribadi.

“Bagi yang rumahnya tidak terlalu jauh dari kantor atau sekolah, ini bukan masalah, karena sepeda adalah pilihan terbaik,” kata dia.

Arianto menganggap Canberra bagus untuk iklim pendidikan, karena tidak banyak pilihan untuk bersenang-senang sehingga pelajar lebih konsentrasi pada studi.

“Saya dulu kuliah di Urbana, kota kecil di Illinois, AS yang lebih sepi daripada Canberra. Kalau sedang suntuk, saya biasa pergi ke Chicago, tiga 3 jam menyetir, untuk nonton konser atau sekadar jalan-jalan. Saya kira banyak mahasiswa di Canberra yang juga melakukan hal yang sama, ke Sydney, juga tiga jam nyetir, untuk lepas dari tekanan pelajaran,” kata Arianto.

Menanggapi rencana Presiden Jokowi untuk memindahkan ibu kota, Arianto mengatakan sulit membantah bila tingkat layak-huni Jakarta semakin rendah, terutama karena masalah kemacetan dan banjir.

Meski begitu ia mengatakan banyak kendala yang harus diantisipasi dari rencana pemindahan ibu kota.

“Secara teoretis, pemindahan ibu kota mungkin bisa membantu mengurangi ketidakmerataan. Tapi tentu dipengaruhi juga seberapa besar respons dari komunitas bisnis, baik yang tetap di Jakarta, atau yang pindah dan yang bermunculan di ibukota baru,” kata dia.

“Saya duga, resistensi terbesar bagi rencana pemindahan ibu kota akan datang dari kalangan bisnis – sebagian memang bergantung pada proksimitas mereka kepada pemerintahan. Pemilik tanah dan real estate di Jakarta juga pasti khawatir, karena harga tanah dan properti di Jakarta mungkin akan turun, atau minimal stagnan,” kata dia.

Ia menambahkan sudah banyak contoh tentang sulitnya memindahkan ibu kota dari tempat yang juga sudah menjadi pusat bisnis.

“Butuh hampir dua puluh tahun sebelum pemerintahan Malaysia di Kuala Lumpur benar-benar pindah ke Putrajaya,” kata dia.

Bagi Arianto jika ibu kota pemerintahan dan pusat bisnis bisa dipisahkan, idealnya secara jarak tidak terlalu jauh.

“Contohnya Washington D.C. – New York City, Canberra – Sydney, Kuala Lumpur – Putrajaya, semua jarak tempuhnya lewat darat sekitar 3-4 jam. Tentu saja asumsinya adalah akses infrastrukturnya jalan tol atau transportasi publik seperti kereta juga memadai,” kata Arianto.

Arianto melihat sisi positif dari pemindahan ibu kota ke Kalimantan seperti Palangka Raya hanya pada posisinya yang di luar cincin gempa (ring of fire) sehingga tidak rentan bencana.

“Saya tidak tahu apa kelebihan lainnya. Apakah ada kelebihan lain dalam hal amenitas? Saya ragu. Justru lingkungannya juga sudah rusak dan terpolusi. Selain itu, dia terlalu jauh dari pusat bisnis, Jakarta – bahkan tidak bisa dicapai dengan akses darat,” kata Arianto.

Arianto juga mempertanyakan argumentasi tentang ibu kota harus di tengah-tengah negara.

“Lihat Naypidyaw di Myanmar, apakah efektif? Jika ibu kota harus di tengah-tengah, maka ibu kota Australia harusnya di gurun pasir, dan ibukota AS mestinya South Dakota,” kata dia.

Kejelasan Tata Ruang Kalimantan

Pemindahan ibu kota diharapkan tidak mengganggu keseimbangan keberadaan hutan lindung dan hutan konservasi di Kalimantan yang dikhawatirkan dapat menimbulkan munculnya potensi konflik lahan.

Peneliti Center for Indonesian Policy Studies (CIPS) Muhammad Diheim Biru mengatakan, berkaca pada periode pemerintahan daerah sebelumnya yaitu tahun 2003-2015 banyak menguras lahan hutan secara cuma-cuma karena pembatasan lahan tidak terencana dengan baik.

“Pemerintah Provinsi Kalimantan Tengah perlu sangat berhati-hati dalam menentukan tata batas wilayah. Adanya batas yang jelas akan memastikan ketersediaan besaran lahan hutan untuk dimanfaatkan bertahun-tahun ke depan,” sebut Diheim dalam pernyataan yang diterima ABC.

Diheim menambahkan, kawasan hutan juga berfungsi sebagai penyangga untuk mencegah bencana alam seperti tanah longsor, sedimentasi sungai, dan banjir ketika curah hujan tinggi.

Kebakaran hutan di Kalimantan
Presiden Joko Widodo mendatangi lokasi kebakaran hutan di Kalimantan Selatan, 13 Septermber 2015.

AFP: Romeo Gacad

Sebelumnya, Pemerintah Provinsi Kalteng sudah mengusulkan untuk membagi kawasan non hutan menjadi 45 persen.

Namun, menurut CIPS, sebaiknya besaran pembagian tersebut perlu dipertimbangkan kembali apakah sudah termasuk untuk ibu kota juga di dalamnya. Hal ini penting karena melihat ketersediaan sumber daya alam yang terus menipis karena tuntutan ekonomi.

CIPS juga menyoroti tumpang tindihnya lahan masyarakat dan hutan produksi yang bisa dikonversi (HPK) yang perlu dimaksimalkan.

Pemerintah Kalteng diharapkan segera merevisi Rencana Tata Ruang Wilayah Provinsi karena perda nomor 5 tahun 2015 yang merupakan revisi dari perda nomor 3 tahun 2008 sudah tidak selaras dengan kondisi eksisting. Urgensi revisi perda ini juga diperlukan setelah memasuki wacana pemindahan ibu kota.

“Revisi perda perlu memerhatikan kedua faktor ini karena data lahan semuanya harus disesuaikan dengan agenda reforma agraria. Revisi perda juga dibutuhkan untuk redistribusi lahan serta pemanfaatan HPK yang benar-benar maksimal untuk pemanfaatan jangka panjang,” sebut Diheim.

“Ibu kota yang baru perlu infrastruktur yang baik, berkaca pada masalah-masalah yang telah terjadi di pembangunan infrastruktur Jakarta.”

Wacana pemindahan ibu kota ke Kalimantan Tengah sudah diusung bersamaan dengan usulan revisi perda yang sudah didesak sejak dua tahun yang lalu. Namun sampai sejauh ini belum ada perubahan terhadap perda tersebut terkait kejelasan data lahan yang ada.

“Dengan demikian maka belum bisa diketahui berapa luas lahan yang bisa disediakan untuk pemindahan dan pembangunan ibu kota ke depan. Inventarisasi dan kepastian hukum harus diprioritaskan apabila konflik lahan ingin dituntaskan,” sebut Diheim.

Ia menambahkan kejelasan RTRWP ini juga harus diterapkan di provinsi lain di luar Kalimantan Tengah sehingga tidak ada hambatan ketika menentukan patok wilayah ibu kota sebelum pemindahan dan ketika dalam proses pemindahannya sendiri.

Diheim memaparkan, Pulau Kalimantan sudah banyak mengalami konflik lahan akibat efek samping dari pemberian izin eksploitasi lahan, misalnya, eksploitasi pertambangan yang tidak sepenuhnya lolos AMDAL dan perkebunan sawit yang sudah beroperasi tanpa ada persetujuan masyarakat.

Simak berita lainnya dari ABC Indonesia.