ABC

Caleg Baru Masih Berjuang Hadapi Kampanye Transaksional di Indonesia

Selama ini, kampanye politik di Indonesia kerap dikaitkan dengan jargon ‘bagi-bagi duit’. Caleg membagi-bagikan uang kepada konstituen, atau sebaliknya, konstituen yang mengharapkan uang sebagai imbalan dukungan kepada sang caleg. Di tahun 2019, praktek tersebut ternyata masih ditemukan. Jurus apa yang diterapkan caleg baru, utamanya caleg muda, dalam menghadapi praktek puluhan tahun itu?

Sebagai generasi milenial yang baru memasuki gelanggang politik di Indonesia, Titis Tatasari (34) mengaku memiliki idealisme berkampanye yang berbeda dari generasi pendahulunya.

Caleg (calon legislator) DPRD Jawa Timur ini tak mau menggelontorkan uang kepada konstituennya, sesuatu hal yang tak mudah dilakukan mengingat praktek ini sangat lazim dilakukan saat kampanye Pemilu di negara ini.

Tak satu-dua kali ia ditodong untuk memberi uang saat berkampanye atau untuk memberi janji manis dengan harapan imbalan, tapi ibu dua anak ini mengatakan ia memiliki jurus ampuh agar tak tergelincir kampanye transaksional.

“Saya sampaikan, saya milenial membawa perubahan. Berhenti melakukan praktek dari rezim masa lalu,” ujar caleg dari daerah pemilihan (dapil) Lamongan-Gresik ini.

Ia justru bertanya balik kepada konstituennya, melemparkan perumpamaan.

"Semisal konstituen terima seratus ribu sekarang, tapi nantinya kebutuhan naik 100 ribu perbulan karena salah kebijakan mau nggak? Atau sekarang tidak perlu menerima apa-apa, tapi dewan (DPRD)-nya benar-benar memperjuangkan rakyat," urai perempuan yang berprofesi sebagai pengusaha itu kepada ABC awal pekan ini.

Titis sangat menyadari posisinya sebagai caleg baru, berjenis kelamin perempuan dan tidak mau terlibat ‘transaksi’ dengan konstituen sangatlah menantang. Belum lagi persoalan dana kampanye yang harus ia keluarkan untuk urusan logistik.

Di sisi lain, ia mengaku tak mendapat bantuan dana dari partai.

“Dari partai pusat dapat bendera berkarya ukuran kecil, lalu kaos berkarya. Semua caleg dibagi sedikit-sedikit. Mungkin masing-masing 100 buah.”

“Sisanya, apalagi banner yang custom ada foto kita, itu dibiayai sendiri.”

Titis di depan baliho bergambar wajahnya di Lamongan, Jawa Timur.
Titis di depan baliho bergambar wajahnya di Lamongan, Jawa Timur.

Facebook; Titis Imez Tatasari

Ia sepakat jika ada yang menyebut bahwa biaya politik tidaklah murah.

“Meski kita ini idealis, tapi tetap juga membutuhkan dana pribadi untuk memperkenalkan diri. Misalnya, satu titik banner ukuran 3×2 plus rangka kayu plus SDM pemasangan, itu jumlahnya 500 ribu per titik,” jelas caleg yang sejauh ini baru menghabiskan Rp 50 juta untuk dana kampanyenya tersebut.

Tak hanya Titis yang mesti menghadapi ajakan kampanye transaksional. Caleg baru asal Partai Nasdem, Indra Maulana, juga memiliki pengalaman serupa.

Ia menyebut kultur politik Indonesia yang pragmatis adalah salah satu penyebab mengapa para pemilih cenderung mengharapkan sesuatu dari para caleg.

“Sederhananya kita akan dihadapkan selalu pada pertanyaan ‘apa kira kira kontribusi anda ke kami agar kami bisa memilih?’, atau ‘mungkin nggak anda membantu kami merenovasi pos ronda kami?’ dan lain-lain,” ujar caleg DPR RI dari dapil Jatim 1 Surabaya-Sidorajo yang juga mantan jurnalis ini.

Sikap transaksional seperti itu, menurut Indra, bertahun tahun diterapkan dan bertahun tahun pula disambut hangat oleh para politisi yang senang melakukannya.

"Kalau sudah begini, maka politisi ber-uang lah yang diuntungkan. Atau para caleg petahana yang mampu mengeksekusi permintaan warga melalui dana hibah dan segala akses lainnya," terangnya kepada ABC.

Tantangan yang berasal dari warisan budaya politik puluhan tahun juga dirasakan caleg DPRD asal Bantul, Yogyakarta, Risa Karmida.

Caleg perempuan dari Partai Solidaritas Indonesia (PSI) -yang juga mantan jurnalis -ini memaparkan tipe konstituen yang dihadapinya di dapil.

“Konstituen dalam strategi saya, adalah warga masyarakat yang sudah lama mendapatkan pendidikan politik salah kaprah, yaitu politik praktis. Jadi setahu mereka, caleg kampanye harus membagikan sesuatu. Ada harapan-harapan yang disampaikan, intinya harus modal.”

Indra (memegang mic dan memakai songkok) bertemu dengan konstituennya di Surabaya.
Indra (memegang mic dan memakai songkok) bertemu dengan konstituennya di Surabaya.

Facebook; Indra Maulana

Risa mengaku ia membutuhkan usaha lebih keras untuk mulai mengedukasi masyarakat bahwa tujuan caleg muda sepertinya di legislatif adalah untuk mewakili aspirasi masyarakat.

“Tantangan caleg muda, partai baru, yang pasti banyak yang mencibir. Dibilang coba-coba peruntungan, anak kemarin sore, nggak tahu strategi kampanye. Sejenis itu lah. Ya tidak apa-apa itu dinamika di lapangan.”

Sebagai caleg baru yang berasal dari latar belakang profesi yang kerapkali mengkritisi para politisi, Indra dan Risa menceritakan betapa realitas politik di akar rumput sangat jauh berbeda dengan hal-hal ideal yang sering menjadi bahan diskusi di meja redaksi.

Apalagi Pemilu legislatif kali ini bertepatan dengan Pemilihan Presiden dan Wakil Presiden.

“Tidak sedikit masyarakat, misalnya, menyatakan mau mendukung pribadi seorang caleg meski sangat tidak suka dengan partainya. Ada juga yang mau mendukung pribadi caleg dan partainya, tapi tidak suka dengan pilihan capres yg diusung partai,” ujar Indra.

“Dulu saya melihat nyaleg berpolitik adalah urusan mereka yang sudah matang usia, cukup dana, dan punya jaringan kuat di parpol. Ternyata tidak, kebetulan saya bergabung dengan partai yang mayoritas anak muda, jadi kampanye dilakukan dengan kreativitas sehingga meminimalkan budget,” kata Risa.

Caleg yang berprofesi sebagai dosen ini menuturkan, ada banyak cara kreatif dan bahkan gratis unttk berkampanye

“Seperti misalnya bikin laman caleg, maksimalkan medsos untuk menjaring anak muda. Dan yang terpenting jaringan kita ternyata bukan harus kuat di parpol tapi justru kuat di masyarakat sebagai calon pemilih.”

Mengandalkan terobosan

PSI adalah salah satu partai baru yang masuk bursa Pemilu 2019 dan sering menjadi sorotan media di Indonesia.

Sebagar partai baru yang banyak beranggotakan generasi milenial, PSI mengaku sadar betul akan kondisi di lapangan dan partai-partai lain yang mereka hadapi.

Risa, caleg PSI yang berprofesi sebagai dosen di Yogyakarta.
Risa, caleg PSI yang berprofesi sebagai dosen di Yogyakarta.

Facebook; Risa Karmida

Mengusung caleg muda adalah salah satu jurus mereka untuk menggaet konstituen. Namun menurut Sekretaris Jenderal PSI, Raja Juli Antoni, bukan hanya itu tujuan utama partainya.

“Kami nggak mau menjadi partai politik yang normal, yang biasa. Beberapa caranya kami membuat Kebohongan Award, atau malah sebelumnya kami menolak Perda Syariah.

Kami mendisiplinkan kader kami yang tidak mengikuti aturan tidak boleh berpoligami.”

“Itu kan sikap politik yang tidak abu-abu. Sebagai partai baru kami berani tampil beda.”

Toni, panggilan akrab Raja Juli, tak memungkiri masalah pendanaan yang banyak dihadapi calegnya.

“Memang semua pergerakan itu pasti butuh dana, dan dalam konteks itu crowdfunding (penggalangan dana daring) menjadi salah satu cara kami. Kami ada acara gathering dan nanti sumbangan dana ditransfer dari rekening PSI ke caleg dengan nomor unik.”

“Nomor 01 caleg A, 02 saya misalnya. Jadi kalau ada yang kirim satu juta 01 itu brarti punya caleg ini, kalau 02 untuk saya, mekanismenya itu.”

Berdasarkan Laporan Sumbangan Dana Kampanye (LPSDK) yang diterbitkan Badan Pengawas Pemilihan Umum (Bawaslu) RI, PSI disebut menerima sumbangan sebesar Rp 21.332.813.567, yang sebagian besar berupa jasa.

Raja Juli Antoni (tengah, bersongkok) dalam sebuah konferensi pers di markas PSI, Jakarta (7/1/2019).
Raja Juli Antoni (tengah, bersongkok) dalam sebuah konferensi pers di markas PSI, Jakarta (7/1/2019).

ABC; Nurina Savitri

Laporan sumbangan dana kampanye

Bawalsu mencatat, sumber sumbangan terbesar dalam LPSDK partai politik secara umum berasal dari sumbangan caleg mereka.

Dalam laporan yang dirilis 10 Januari 2019 itu, Bawaslu menyebutkan sumbangan caleg memiliki porsi sebesar 79 persen dari total sumber sumbangan partai atau senilai Rp 337.856.293.303.

Sumbangan terbesar kedua berasal dari partai politik itu sendiri, yakni sebesar 20 persen atau senilai Rp 86.906.165.173. Dan sumbangan orang per orang menjadi sumber sumbangan partai yang terkecil dengan porsi 1 persen atau senilai Rp 2.389.293.903.

Bawaslu juga melaporkan bahwa tidak ada sumbangan dari kelompok dan perusahaan dari seluruh partai peserta Pemilu.

Dari data di LPSDK, Partai Perindo diketahui menerima sumbangan kampanye dengan jumlah terbesar yakni Rp 82.636.791.919, kemudian disusul oleh Partai Nasdem di urutan kedua dengan total penerimaan sumbangan sebesar Rp 74.978.445.682. Partai Amanat Nasional (PAN) menjadi partai dengan jumlah sumbangan kampanye terbesar ketiga yakni Rp 53.541.554.750.

Sementara Partai Berkarya, yang dimiliki Tommy Soeharto, tercatat sebagai partai yang menerima sumbangan kampanye terkecil yakni Rp 2.821.000.

Ikuti berita-berita lain di situs ABC Indonesia.