Buzzer Penyebar Propaganda Bermain dalam Pilpres 2019
Puluhan “buzzer” dibayar untuk menyebarkan propaganda kepada para pengguna media sosial di saat para elit politik berperang di dunia maya dalam upayanya mempertahankan kekuasaan.
Penggambaran ini bukanlah semacam kisah film-film terbaru dari Hollywood. Hal ini nyata sebagai kondisi perpolitikan Indonesia tahun 2018.
Dalam sebuah kantor yang terletak di Jakarta Pusat, tampak beberapa anggota Partai Solidaritas Indonesia (PSI), sedang mengadakan rapat menyusun strategi. PSI adalah salah satu parpol baru yang lolos ikut Pemilu 2019.
Ada yang duduk melantai, ada pula yang duduk di bangku panjang. Mereka bersiap dengan laptopnya, sebagian fokus menyimak penjelasan pembicara.
Di samping pembicara tampak papan tulis yang ditempeli banyak kertas catatan berwarna-warni.
Suasananya mirip dengan suasana di perusahaan teknologi di Silicon Valley. Namun merek yang mereka usung adalah perpolitikan secara online.
Michael Sianipar, salah satu pengurus PSI, mengklaim parpolnya ini menjadi yang kedua dalam hal kehadiran di media sosial.
Dia mengaku turut membantu PSI mengubah “kebisingan” online, menjadi aksi di jalanan, seperti yang terjadi dalam Arab Spring.
“Saya kira itu sebabnya mengapa kami mendirikan partai ini,” katanya.
“Media sosial adalah alat yang kini dikuasai (elit politik), sehingga merugikan masyarakat. Kami harus merebutnya kembali,” kata Micahel.
Dia mencontohkan kasus Gubernur Basuki Tjahaja Purnama yang dikalahkan dalam Pilgub DKI dan akhirnya dipenjara dalam kasus penistaan agama setelah pidatonya yang diedit viral secara online.
Michael Sianipar turut merasakan hal ini karena dia mantan asisten pribadi Ahok saat itu.
Sejak itu, menurut dia, manipulasi politik massa semakin memburuk. Bahkan trik-trik kotor online sekarang sudah menjadi operasi komersial.
“Kita memiliki istilah ini ‘buzzers’. Mereka menjadi selebriti di dunia media sosial. Jika mereka mendukung seseorang atau menentang sesuatu, mereka mendapatkan bayaran,” katanya.
Buzzer bayaran
Tidak ada yang tahu pasti berapa banyak buzzer saat ini. Namun diyakini puluhan buzzer bekerja mendukung pemerintah atau sebaliknya.
ABC mendapatkan informasi bahwa ada parpol yang menawarkan buzzer sampai sekitar Rp 5 juta untuk sekali postingan.
Salah satu pegiat medsos Denny Siregar, misalnya, mengaku ditawari duit Rp 10 juta perbulan untuk menjadi buzzer.
Akun Facebook Denny difollow 625.000 akun sedangkan Twitternya difollow 560.000 akun.
Dia dipandang sebagai komoditas berharga bagi para politisi. Namun Denny membantah bahwa dia pernah menerima duit untuk postingan atau komentar-komentar onlinenya.
“Kata buzzer itu penghinaan,” katanya. “Sama saja dengan mengatakan pendapatmu diperjualbelikan. Tidak seorang pun akan mengakui hal itu.”
Menurut dia, buzzers yang menyebarkan misinformasi secara online berbahaya bagi demokrasi Indonesia.
“Saya mengamati apa yang terjadi di Suriah tahun 2011/2012, ketika terjadi perang,” katanya.
“Saya melihat pola yang sama sedang dibangun di Indonesia. Itulah mengapa saya menyebut ini sebagai perang. Propaganda mereka melawan propaganda saya,” katanya.
WhatsApp paling berbahaya
Dalam kancah media sosial, Indonesia kini menjadi pengguna Facebook terbesar ketiga di dunia dengan sekitar 130 juta akun.
Tetapi platform medsos paling berbahaya untuk mendukung atau menjatuhkan politisi justru layanan pesan terenkripsi, WhatsApp.
Tidak seperti platform Twitter, Instagram dan Facebook, pesan yang dikirimkan melalui WA itu tersembunyi di sesama anggota grup saja.
Platform yang terenkripsi artinya bahkan teknisi-teknisi WhatsApp sekalipun tidak dapat melihat konten di suatu grup WA.
Sebagian besar pengguna WA memiliki puluhan grup tertutup yang bisa menampung hingga 256 nomor telepon.
Postingan-postingan populer seringkali dibagikan dari satu grup WA ke grup lainnya, menyebar diam-diam, seperti api dalam sekam.
Menurut analis media sosial Ismail Fahmi, hal itu menyajikan peluang emas bagi para penipu politik.
“Berita palsu dan propaganda jauh lebih mudah dibuat dan didistribusikan melalui grup-grup WA karena kelompok mereka tertutup,” katanya.
“Suatu permasalahan biasanya bermula di Twitter karena berita menyebar dengan cepat di sana,” jelasnya.
“Isu itu kemudian bermigrasi ke Facebook, dimana meme dan video disertakan. Lalu berikutnya, isu itu masuk ke Instagram dan WhatsApp,” ujar Ismail Fahmi.
Presiden Joko Widodo sendiri telah merasakan “sengatan” dari kampanye media sosial ini.
Pada bulan April lalu, sebuah hashtag # 2019GantiPresiden viral di dunia maya dan dunia nyata, dan sampai kini terus membayang-bayangi peluang Jokowi untuk terpilih kembali tahun depan.
Di berbagai jajak pendapat sebelum pendaftaran Capres dan Cawapres pekan lalu, Jokowi tetap menjadi kandidat terkuat dengan rating lebih dari 50 persen.
Simak beritanya dalam Bahasa Inggris di sini.