Buku Tentang Dendam Imam Samudra Diluncurkan di Melbourne
Buku bertajuk Imam Samudra's Revenge (Pembalasan Imam Samudra) karya Prof Angus McIntyre diluncurkan di Melbourne pekan lalu, dan banyak mengungkap kepribadian koordinator lapangan Bom Bali tersebut.
"Rasa terhina dan ketidakberdayaan untuk membela umat Islam tak berdosa dari kematian dan kehancuran yang disebabkan orang Barat, mendorong Imam Samudra untuk melakukan pembalasan terhadap warga sipil asal Amerika Serikat dan sekutunya di Bali," jelas Prof McIntyre, saat peluncuran buku di Victoria State Library, sebagaimana dilaporkan wartawan ABC Farid M Ibrahim.
Bom Bali pertama terjadi pada 12 Oktober 2002 di dalam Paddy'd Pub serta di depan Sari Club di Kuta, menewaskan 202 orang termasuk 88 warga Australia dan 38 warga Indonesia.
Buku Imam Samudra’s Revenge terbitan Melbourne University Publishing, 2016.
Menurut Prof McIntyre, konteks sosial politik yang mempengaruhi Imam Samudra, sebenarnya dialami pula oleh rekan-rekannya dalam kelompok Jamaah Islamiyah. Misalnya, keterlibatan mereka dalam gerakan Darul Islam serta konflik agama di Indonesia tahun 1999.
"Faktor yang sama juga mempengaruhi rekan Imam Samudra di Jamaah Islamiyah, namun mereka sangat tidak menyetujui aksi yang dilakukan Imam Samudra di Bali," jelas Prof McIntyre.
Karena itu, menurut Prof McIntyre, studinya lebih fokus pada aspek kepribadian atau personality dari Imam Samudra, sehingga bisa menjelaskan mengapa pria asal Banten bernama Abdul Azis ini melakukan aksinya di Bali.
Menurut Prof Greg Fealy dari Australian National University yang memberi pengantar pada peluncuran buku tersebut, karya Prof McIntyre ini bisa disebut sebagai yang pertama dengan fokus pada faktor psikologis dari teroris di Indonesia.
Di dalam buku yang dibagi atas enam bab, Prof McIntyre menjelaskan bahwa pendekatan psikologis dalam memahami jalan pikiran dan tindakan Imam Samudra bisa disimpulkan dalam satu kata, yaitu balas dendam.
Namun Prof Fealy menjelaskan, balas dendam yang dilakukan Imam Samudra disebut sebagai "third party revenge" atau balas dendam kepada pihak ketiga. "Sama dengan misalnya balas dendam kepada pembunuh yang dilampiaskan kepada istri sang pembunuh itu," katanya.
Disebut demikian, kata Prof Fealy lagi, sebab sasaran dendam ditujukan kepada pihak lain, dalam hal ini para turis asing di Bali yang merupakan target yang mudah diserang. "Ini juga untuk menimbulkan kepuasan psikologis bagi pelaku," jelasnya.
Menurut Prof McIntyre, misi balas dendam telah menjadi panggilan hidup Imam Samudra, dan telah mencapai tahapan "nyawa dibayar nyawa". Hal ini bukan hal aneh dalam hubungan antara terorisme dan misi balas dendam.
"Namun meskipun balas dendam sangat sentral dalam terorisme, jumlah teroris yang melakukan aksinya karena dorongan balas dendam sebenarnya sangat kecil," jelas Prof McIntyre.
Dikatakan, di kalangan anggota Jamaah Islamiyah yang sekitar 2000-an orang di tahun 2001 dan 2002, mereka yang memiliki pandangan sama dengan Imam Samudra tidak banyak jumlahnya. "Jumlahnya saat itu hanya sekitar 10 orang," katanya.
Prof McIntyre menyebutkan nama-nama seperti Riduan Isamuddin alias Hanbali, Ali Ghufron alias Mukhlas, Amrozi, Ali Imron, Zulkarnaen, Joko Pitono alias Abdul Matin, serta Mubarok yang kesemuanya warga Indonesia; serta dua warga Malaysia Azhari Husin dan Noordin Top.
Situasi pasca lendakan bom Bali 2002.
Prof McIntyre menjelaskan, Imam Samudra bisa disebut sebagai pengecualian di kalangan jihadis di Indonesia bahkan di dunia terkait tekadnya melakukan misi balas dendam kepada pihak ketiga. Sebab, tanah airnya sendiri sebenarnya tidak sedang dijajah atau diduduki negara lain, dan bahkan Indonesia saat itu sudah berada dalam kehidupan yang sangat demokratis.
"Makanya memahami personalitas Imam Samudra sangat penting untuk menjelaskan aksi yang dilakukannya," jelasnya.
Prof McIntyre mengutip konsep dan teori psikologi yang menjelaskan proses timbulnya dorongan balas dendam akibat perasaan terhina dan tidak berdaya yang dirasakan oleh seseorang. Konsep itu antara lain meliputi dorongan narsistik, paranoid dan depresi, serta teori balas dendam dari Melvin Lansky.
Secara psikologis, aksi balas dendam kepada pihak ketiga yang tak berdosa, menurut Prof McIntyre, mampu menimbulkan perasaan terhina dan tidak berdaya bagi mereka yang ingin membela korban.
"Hal itulah yang ingin dicapai oleh Imam Samudra, yaitu perasaan bahwa kini Anda tahu bagaimana rasanya kehilangan orang dekat yang tak berdosa," jelasnya.
Prof McIntyre merupakan peneliti dan pengajar pada La Trobe University serta visiting fellow pada Australian National University. Karyanya yang berjudul The Indonesian Presidency: The Shift from Personal toward Constitutional Rule (2005) menjadi rujukan penting dalam studi di berbagai perguruan tinggi di luar negeri mengenai kepemimpinan nasional di Indonesia.