Buka Puasa Tahunan Bersama Anggota Parlemen Victoria
Acara tahunan buka puasa bersama sejumlah anggota parlemen negara bagian Victoria di Australia digelar hari Senin (30/6/2014). Dalam acara tersebut, topik yang dibicarakan tak hanya hal-hal positif, tetapi juga tantangan terhadap kehidupan damai antar umat beragama.
Buka puasa bersama di Hotel Sofitel Melbourne ini dihadiri antara lain oleh Menteri Utama Victoria, Denis Naphtine, Sekretaris parlemen bagi Ketua Menteri, Craig Ondarchie, sejumlah pemuka agama, dan juga anggota kepolisian.
Setelah adzan dikumandangkan dan sajian berbuka puasa dihidangkan, para tamu diberi waktu untuk bercakap-cakap dan shalat. Setelah itu, tiba waktu menyantap sajian utama dan mendengarkan sambutan dari sejumlah tokoh yang hadir. Ditampilkan juga tarian sufi.
“Saya berterima kasih pada komunitas Islam kita. Saya berterima kasih karena kami diberi kehormatan bisa bersama anda malam ini,” ucap Craig Ondarchie, anggota parlemen Victoria dari partai Liberal.
Sedangkan Menteri Utama Denis Naphtine bercerita bahwa Ia pertama kali merasakan suasana Ramadan pada tahun 1980an, saat Ia bertugas sebagai dokter hewan di Bangladesh.
Di sana, Ia sempat diundang ke beberapa acara buka puasa bersama, baik di rumah keluarga yang kaya raya maupun yang sederhana.
“Saya rasa [pengalaman itu] menunjukkan pada saya begitu banyak tentang kemurah hatian masyarakat Muslim,” ceritanya.
Rencana pembangunan masjid ini sempat ditentang keras oleh sejumlah anggota masyarakat, namun Dewan kota baru-baru ini menyetujui pembangunan itu.
Menurut Merlino, tak sepantasnya bersedih atas kejadian itu, karena hasil akhirnya membuktikan bahwa mereka yang menentang pembangunan masjid adalah minoritas.
“Saya senang karena tujuh dari sembilan anggota mendukung rencana pembangunan,” katanya,
“Saya senang karena setelah pertemuan itu komunitas di Bendigo dan komunitas Victoria secara lebih luas kebanyakan menolak intoleransi sebagian kecil orang.”
Memang, meskipun di Victoria ada berbagai budaya dan komunitas, masih mungkin terjadi kesalahpahaman, prasangka, atau enggan bergaul antar komunitas.
“Di tingkat akar rumput, bukannya ada kebencian. Saya rasa itu adalah rasa takut karena tidak memahami satu sama lain, tidak berbicara satu sama lain,” katanya,
“dan bila kita bisa membuat orang berbicara sedikit saja satu sama lain, berbagi keramahan, kita bisa mengatasi kesulitan alami yang dialami manusia dalam berkomunikasi.”
“..Banyak orang yang tidak hanya menjalani ini [berkomunikasi satu sama lain] dengan keraguan , mereka benar-benar tidak menjalani ini sama sekali. Itulah yang harus kita atasi.”
Morgan mengaku bahwa dirinya pun sempat mengalami curiga pada orang dari agama lain.
“Tapi anda harus berusaha mengatas itu. Dan makin banyak saya bertemu dengan orang lain yang berbeda, makin mudah jadinya.”
Morgan bercerita bahwa ada juga tempat-tempat ibadah Yahudi di Victoria yang membuka pintu dan mengundang umat Islam untuk berbagi makanan atau menikmati perayaan, seperti festival Yahudi Sukkot.
Berbuka puasa bersama dan berbagi makanan menjadikan komunikasi lebih mudah, karena ada yang menjadi bahan pembicaraan, tapi sayangnya masih jarang diadakan buka puasa bersama di akar rumput, atau di luar tokoh-tokoh masyarakat dan pemuka agama, ucapnya.
Esma Yucel, Executive Masyarakat Inter-kultural Australia (AIS) bercerita bahwa organisasinya juga mengadakan berbuka puasa bersama di rumah-rumah warga Muslim ‘biasa’ yaitu yang bukan tokoh masyarakat atau pemuka agama.
“Idealnya, kami selalu ingin membangun jembatan antara berbagai kelompok. Bukan hanya kelompok agama yang berbeda, tapi juga kelompok kelas dan industry,” ceritanya,
“Kapan lagi seseorang bisa menjamu seorang asisten komisioner di rumah mereka makan malam?”
Seperti Morgan, Yucel menyatakan bahwa di Australia memang tak ada kebencian terang-terangan antar kelompok, namun seringkali masih ada keengganan bergaul antara kelompok yang berbeda.
“Seberapa sering ibu saya, yang tak begitu nyaman berbicara bahasa Inggris, pergi bersama teman-teman China? Tidak pernah, karena ada perbedaan bahasa,” ucap Yucel,
“[Ada juga] perbedaan budaya dan jarak. Banyak masyarakat Muslim tinggal di kawasan tertentu. Bagaimana mereka bisa berhubungan dengan masyarakat Yunani yang tinggal di kawasan berbeda?”
Maka, menurut Yucel, perlu dilakukan berbagai kegiatan yang bisa menarik orang-orang dari berbagai kelompok untuk meninggalkan kesibukan mereka dan bertemu satu sama lain.