ABC

Budaya ‘Macho’ Lebih Memicu Kekerasan, Bukannya Alkohol

Kekerasan yang berlatar belakang alkohol selalu dikaitkan dengan kondisi mabuk. Tapi salah seorang antropolog percaya bahwa kekerasan itu bukanlah akibat dari minuman keras itu sendiri.

Dr Anne Fox memiliki spesialisasi dalam studi budaya minum di negara-negara seluruh dunia selama 20 tahun terakhir, dan telah mengamati Australia serta Selandia Baru.

Ia adalah penulis buku ‘Memahami Perilaku Ekonomi di Australia dan Selandia Baru pada Malam Hari.”

"Warga Australia, seperti banyak orang lainnya di seluruh dunia, memiliki keyakinan yang sangat luas bahwa alkohol dapat mengubah perilaku Anda, bahwa itu adalah zat transformatif, yang entah bagaimana bisa membuat Anda berperilaku dengan cara tertentu," jelasnya.

Antropolog Dr. Anne Fox telah meneliti budaya minum di berbagai negara di dunia.

Ia menerangkan, "Alkohol – seperti yang dibahas semua literatur ilmiah, yang telah kami kaji secara luas dalam laporan – tidak dapat dianggap sebagai penyebab kekerasan. Jika memang iya, kita akan melihat tingkat kekerasan yang sama di antara semua peminum."

Negara seperti Eslandia mengkonsumsi alkohol lebih banyak dari Australia, tetapi jumlah kekerasan yang terjadi di sana lebih sedikit.

"Mereka memiliki budaya minum yang kuat, mereka memiliki bar 24 jam, mereka bahkan memiliki tingkat kepemilikan senjata yang tinggi, tetapi di Islandia, hampir tak ada kekerasan yang tercatat," utara Dr. Anne.

"Negara itu bukan masyarakat pecinta kekerasan dan mereka tak memiliki keyakinan bahwa alkohol menyebabkan kekerasan, dan oleh karena itu Anda benar-benar tak melihat kekerasan di Eslandia," tambahnya.

Sebagian besar Eropa Selatan mengikuti pola ini, menurut Dr Anne.

Saat melakukan penelitian di Italia, Dr Anne menyaksikan ketegangan yang luar biasa antara geng yang bersaing di sebuah bar.

"Ada pria yang cukup kekar dan agresif di bar dan tiba-tiba ada gesekan kursi yang ditarik dan semua orang berdiri dan kami pikir, ‘ Oh Tuhan, kita harus keluar dari sini secepatnya’," tuturnya.

Tanggapan bartender terhadap tawuran yang tak terelakkan itu sungguh mengejutkan.

"Ia bersandar di bar dan berkata, ‘ragazzi, ragazzi’ (cowok-cowok) dan memanggil mereka semua ke bar dan menuangkan mereka wiski ke mereka semuanya," kemuka Dr. Anne.

Setelah Dr Anne bertanya mengapa ia bereaksi sedemikian rupa, bartender itu menjawab: ‘karena semua orang tahu alkohol menenangkan. Jika ada perkelahian, kami memberi mereka alkohol’.

Alkohol tak bisa ubah sifat seseorang, atau membuat mereka jadi kasar

Menurut Dr Anne, alkohol "tak bisa membajak sifat baik seseorang dan membuat mereka menjadi kasar" dan istilah kekerasan yang dipicu alkohol tidaklah akurat.

Ia mengatakan, fokus seharusnya diletakkan pada penyebab dan pemicu kekerasan itu sendiri.

"Anda melihat bahwa sebagian besar penelitian menemukan bahwa alkohol tak begitu banyak menyebabkan kekerasan ketika seseorang itu memang agresif atau memiliki kecenderungan yang mempengaruhi mereka untuk menjadi agresif, seperti depresi atau gangguan bipolar atau skizofrenia atau hiper-agresif, kontrol impuls yang buruk – orang-orang ini cenderung minum banyak,” jelasnya.

Ia menyebut bahwa kewarasan, umumnya diyakini berkurang saat minum alkohol, adalah konstruksi budaya.

"Kewarasan Anda hanyalah aturan-aturan sosial. Selama beberapa dekade, melalui studi lintas budaya internasional, antropolog menemukan bahwa cara Anda berperilaku ketika Anda mabuk adalah sebagian besar cara budaya Anda mengajarkan Anda untuk berperilaku," katanya.

Ia mengungkapkan bahwa Australia memiliki budaya macho.

"Kami melihat bahwa bukanlah pola minum atau tingkat konsumsi alkohol yang menentukan bagaimana orang berperilaku, tetapi fitur lain dari budaya yang dijelas melalui kondisi mabuk," kemukanya.