ABC

Bertani di Perkotaan Mulai Banyak Dilakukan di Indonesia

Tren pertanian perkotaan atau urban farming tengah marak di banyak kota di Indonesia. Namun sejumlah praktisi menilai gairah bercocok tanam di lahan terbatas di perkotaan ini masih belum menjadi solusi bagi kemandirian pangan warga di perkotaan.

Berkebun atau bercocok tanam khususnya tanaman produktif seperti sayur dan buah, tidak lagi identik dengan masyarakat di pedesaan. Karena tidak sedikit dari warga di perkotaan sekarang juga melakoni aktivitas pertanian seperti itu di lahan mereka yang serba terbatas.

Seperti yang dilakukan warga di Kelurahan Cempaka Putih Timur, Jakarta pusat. Warga di kawasan yang berlokasi tidak jauh dari Pelabuhan Tanjung Priok ini telah menyulap lingkungan pemukiman mereka yang padat menjadi kawasan yang asri dipenuhi berbagai tanaman produktif seperti sayur dan buah maupun tanaman obat.

“Ya Alhamdulillah bagi warga di wilayah saya, kalau hanya untuk masak sehari-hari sih, kita tinggal petik aja, Mereka jadi bisa hemat belanjanya karena menanam sendiri tanaman produktif di pekarangan rumah dan sepanjang gang mereka,” kata Adian Sudiana pegiat urban farming dari RT10/RW 3 di Kelurahan Cempaka Putih Timur yang kini aktif menjadi instruktur urban farming bagi masyarakat dari kawasan lain di ibukota.

adian Sudiana
Adian Sudiana (pinggir kanan) salah satu pegiat urban farming dari Kelurahan Cempaka Putih Timur sering memberikan tutorial urban faming dengan berbagai teknik bertanam kepada warga yang ingin belajar.

ABC – Iffah Nur Arifah

Adian dan warga di sekitar rumahnya tergolong yang lebih awal menanami pemukiman mereka dengan tanaman sayur-sayuran dan buah. Gerakan ini semakin menyebar ke banyak wilayah lain di Kelurahan Cempaka Putih Timur setelah difasilitasi pemerintah daerah Provinsi DKI Jakarta.

“Jadi dulu tahun 2011, saya mulai menanam di rumah saya, pakai Styrofoam bekas, botol bekas, di sekitar rumah saya saja. Lalu karena saya RT, ya sudah saya tanami juga di sekitar gang di rumah saya dan akhirnya terus merembet ke rumah warga lain dan baru 2014-2015 mulai ada bantuan, kita jadi semakin semangat.” kenang Adian.

Sementara itu Lurah Cempaka Putih Timur, Sri Hatmo mengatakan pihaknya sejak awal hingga kini masih terus menjembatani antusiasme warganya dalam berkebun dengan memberikan bantuan bibit dan pupuk kompos yang diproduksi sendiri oleh kelurahan, hingga alat dan pelatihan bagi warga yang menanam secara hidroponik.

Sri Hatmo
Lurah Cempaka Putih Timur, Sri Hatmo, terus mendorong dan memfasilitasi warganya untuk menggalakan urban farming di lingkungan mereka. Salah satunya dengan memasok pupuk kompos yang diproduksi sendiri dari berbagai limbah daun yang dikumpulkan petugas PPSU.

ABC – Iffah Nur Arifah

“Awalnya kita modalin dulu warga, bibitnya kami ambil dari Pasar Minggu, kompos kita kasih gratis. Kita hanya minta mereka merawat tanaman itu aja. Lama-lama mereka rasakan sendiri manfaatnya. “

“Sekarang setiap gang boleh memilih mau menanam tanaman apa sebagai tanaman utama ada yang menanam pohon obat, sayuran sampai ada gang yang khusus menanam buah anggur dan markisa.”

Walhasil, tidak hanya di gang-gang di sekitar rumah mereka, warga di kelurahan ini juga telah memiliki kelompok tani yang mengelola bersama lahan sepanjang 500 meter di pinggiran sungai Rawa Kerbau di wilayah mereka sebagai kebun hidroponik.

Media tanam hidroponik dari susunan pipa PVC yang berjejer di sepanjang areal kebun bersama itu ditanami berbagai jenis sayuran ada seperti kangkung, sawi hingga sayuran kaya zat nutrisi seperti kale. Hasil dari kebun hidroponik milk warga ini bahkan diminati sejumlah hotel dan supermarket.

"Beberapa hotel dan supermarket permintaannya luar biasa, bahkan supermarket maunya 2 hari sekali dikirimi sayuran dari kebun hidroponik kita. Tapi petaninya tidak sanggup, karena meski peralatan kita ada tapi karena tenaga petaninya masih terbatas dan skala kebun hidroponik kita juga masih kecil jadi sulit untuk bisa panen secara kontinyu. Jadi sekarang kita pasok kalau panen saja," tambah Sri Hatmo.

Belum jadi solusi kemandirian pangan

Kegiatan bercocok tanam yang dilakukan warga di Cempaka Putih Timur kini telah menjadi proyek percontohan bagi program urban farming di ibukota. Pemerintah DKI kini tengah menggiatkan program serupa di berbagai kawasan lain melalui program Gang Hijau.

Program ini mengharuskan warga menanam tumbuh-tumbuhan berupa sayur-mayur, buah atau tanaman obat yang hasilnya bisa dijual oleh warga yang bertani.

Namun geliat kesadaran warga dan pemerintah untuk Bertani di ibu kota ini menurut aktivis kemandirian pangan dari organisasi Persatuan Indonesia Berseru, Tejo Wahyu Jatmiko masih jauh dari cukup untuk bisa menciptakan kemandirian pangan warga di perkotaan.

"Ini masih sekedar tren ya, data yang saya punya urban farming sifatnya belum meluas, kalau pun sudah ada digelar di banyak kota itu sifatnya masih titik-titik kawasan tertentu saja. Urban farming yang bagus itu idealnya menjadi bagian dari komunitas, sehingga minimal mereka bisa memenuhi sebagian kebutuhan pangan mereka sendiri sehari-hari,"

Tejo menambahkan peran urban farming ke depan akan semakin penting, mengingat laju pertumbuhan penduduk di perkotaan yang terus meningkat.

Saat ini saja komposisi penduduk Indonesia yang tinggal di daerah perkotaan mencapai 50% dan diprediksi pada tahun 2030 akan meningkat menjadi 67%.
Jika warga kota terus mengandalkan pasokan pangan dari daerah, maka akan memicu isu keamanan pangan.

“Kalo semua orang tinggal di kota, sementara di desa lahan pertanian semakin terbatas, lalu siapa yang mengusahakan penyediaan pangan? Makanya, idealnya desa itu harusnya hanya untuk memenuhi pangan pokok seperti beras, tapi untuk tanaman pangan seperti sayuran dan buah itu harus dibudidayakan di kota. Baik itu di halaman rumah warga maupun fasilitas sosial dan fasilitas umum seperti lahan tidur di perkotaan itu bisa digunakan sesuai kesepakatan.”

Urban farming berbasis komunitas

Gerakan bertani di perkotaan atau urban farming selama ini juga banyak diinisiasi oleh komunitas. Komunitas Indonesia Berkebun merupakan salah satu pelopornya.

Bermula dari cuitan arsitek – kini menjabat sebagai Gubernur Jawa Barat- Ridwan Kamil di Twitter tahun 2010 lalu yang mengajak warga memanfaatkan lahan tidur untuk berkebun menghijaukan lingkungan, semangat itu kini telah menyebar ke berbagai daerah dan membentuk jaringan komunitas Indonesia berkebun di 48 kota dan kampus.

Mulai dari Nangroe Aceh Daarussalam (NAD) sampai ke Kota Fakfak Papua.

“Komunitas ini mengajak warga kota melakukan aktivitas berkebun biasanya di akhir pekan dan kebanyakan komunitas kita meminjam lahan yang tidak digunakan. “

“Ada yang  dipinjamkan oleh pemerintah lokal, ada dari private developer ada juga yang perorangan. Lahan itu akhirnya jadi kebun komunitas dimana siapa saja boleh datang dan ikut menanami lahan itu.” papar Sigit Kusumawijaya, salah satu co-founder Indonesia Berkebun.

urban farming
Salah satu kegiatan yang dilakukan jejaring komunitas Indonesia berkebun yang kini sudah memiliki anggota di 48 kota dan kampus.

Facebook: Indonesia Berkebun

Setelah bergulir hampir 2 dekade, menurut Sigit komunitas urban farming ini tidak hanya telah berhasil menghijaukan lahan tidak produktif di perkotaan, tetapi juga mampu menumbuhkan antusiasme di kalangan individu di perkotaan untuk bercocok tanam dan menghijaukan lingkungan di sekitarnya.

"Tujuan kami memang tidak hanya sekedar menjadi event berkebun saja, yakni menanam pohon ramai-ramai, tapi tujuan lainnya dari komunitas kami sebenarnya lebih ke individual atau mikro yaitu orang yang datang bisa terinspirasi dan coba berkebun di rumahnya masing-masing di keluarganya. Walau belum semua, tapi ada cukup banyak dari anggota kami yang memulai hal itu di rumah mereka menanam di halaman atau di dalam rumahnya. Jadi saya kira awareness itu sudah ada."

Namun diakuinya komunitas urban farming Indonesia berkebun hingga kini juga masih mengalami sejumlah tantangan untuk bisa mendorong lebih banyak warga urban untuk mengupayakan pemenuhan sebagian dari kebutuhan pangan mereka sendiri.

“Regenerasi itu menjadi tantangan terbesar kami. sebagai kegiatan komunitas kami sepenuhnya mengandalkan relawan dan ada banyak anggota yang awalnya antusias dan kami sudah resmikan menjadi bagian dari jaringan tapi kemudian pengurusnya sibuk ya akhirnya cuma sekali melakukan kegiatan urban farmin tapi lalu vacuum.”

Selain itu pria yang berprofesi sebagai arsitektur ini juga menyoroti masih kentalnya perspektif serba instant di kalangan warga perkotaan.

“Tantangan terbesarnya itu perspektif orang saja, mereka berpikir selama mudah mendapatkannya, ngapain repot nanam.”

“Masyarakat kota juga sudah terbiasa hidup di kota gak pernah bertani atau menanam jadi untuk memulai itu sulit, ada anggapan ‘tangan mereka panas’ tumbuhan gak mau hidup, alasan gak ada waktu, gak ada lahan.”

“Padahal itu semua hanya perspektif. Sebenarnya tidak ada alasan asal memang niat mau menanam dan kreatif kuncinya.”