ABC

Bersusah Payah Demi Promosikan Angklung di Australia

Kelompok angklung asal Bandung, Muhibah Angklung sedang berkeliling Australia, meski mereka mengaku sedang mengalami kesulitan pendanaan.

Muhibah Angklung di Australia

  • Selama 12 hari Muhibah Angklung mengunjungi Melbourne, Canberra, Brisbane, dan Sydney
  • Kebanyakan pemain adalah murid-murid dari sejumlah sekolah menengah di Bandung
  • Mereka membawakan tarian dan lagu-lagu dari berbagai budaya dengan iringan angklung
  • Pihak Muhibah Angklung mengaku jika tahun ini mereka mengalami kesulitan dana

Perjalanan Muhibah Angklung ke Australia selama 12 hari dimulai di kota Melbourne, dengan penampilan di halaman gedung kantor KJRI Melbourne, yang terletak di Queens Road, Melbourne, Sabtu sore (20/1/2018) di depan sekitar 150 penonton, yang kebanyakan adalah warga Indonesia.

Tim Muhibah Angklung yang berangkat dari Bandung ada 47 orang, terdiri dari 40 pemain angklung yang kebanyakan adalah siswa-siswi dari sejumlah sekolah menengah atas di Bandung dan enam anggota lainnya adalah mahasiswa dari beberapa universitas.

Penampilan mereka di Melbourne dikemas dalam acara piknik yang santai, dimana para penonton menikmati kesenian angklung sambil duduk di atas rumput dan menyantap makanan yang mereka bawa sendiri atau dari stand yang menjual jajanan tradisional Indonesia.

Muhibah Angklung mendapat bantuan dari warga Jawa Barat yang tergabung dalam Paguyuban Pasundan untuk kegiatan mereka di Melbourne, termasuk menyediakan tempat menginap selama berada di Melbourne.

Ada sekitar 10 keluarga yang menampung anggota tim Muhibah Angklung.

Maulana Syuhada, pendiri sekaligus salah satu produser Muhibah Angklung mengatakan hampir separuh dari perjalanan mereka di Australia dihabiskan di atas bus.

“Kita biasanya sampai di satu kota pada pagi hari kemudian acaranya adalah melihat-lihat kota dan lokasi manggung, lalu malamnya menginap di warga Indonesia. Esok harinya kami tampil, lalu di malam hari pergi ke kota lain, tidur di atas bus. Jadi semalam tidur di bus, semalam tidur di rumah warga Indonesia,” kata Maulana kepada Erwin Renaldi dari ABC News di Melbourne.

Sebelum ke Australia, Muhibah Angklung pernah mengunjungi enam negara Eropa di tahun 2016, yang kebetulan tiap-tiap kota yang dikunjunginya sedang menggelar festival budaya.

Maulana mengaku ingin terus membawa kelompok angklungnya keliling dunia karena pengalaman tampil di negara lain adalah yang ia ingin berikan kepada siswa-siswi sekolah. Terlebih di Australia dimana mereka tinggal bersama keluarga Indonesia untuk mengetahui seperti apa hidup di Australia, serta melakukan perjalanan antar kota selama belasan jam di atas bis.

“Ini pengalaman yang luar biasa dan tidak terbayarkan,” ujar Maulana yang memiliki gelar PhD dari Lancaster University di Inggris.

Benturan dana untuk tampil di Australia

Seorang pria sedang berpose dengan latar belakang bendera Australia
Maulana Syuhada, salah satu pendiri Muhibah Angklung asal Bandung, Jawa Barat.

Foto: ABC News, Erwin Renaldi

Namun rencana mereka keliling Australia tidaklah semulus saat mereka berkeliling Eropa yang mendapatkan sponsor.

Tahun ini Maulana mengaku baru di saat-saat terakhir mereka mengetahui tidak mendapatkan sponsor dan kesulitan mencari sponsor yang lain.

“Kita memang sedang mengalami krisis finansial, tapi mau tidak mau, tidak ada pilihan untuk tidak berangkat,” ungkap Maulana.

“Anak-anak sudah bekerja keras latihan selama tujuh bulan, untuk mempersiapkan tampil di empat kota di Australia, masa dibatalkan? Saya tidak mau menghancurkan mimpi dan hati mereka.”

Untungnya Maulana mengaku jika ada beberapa orang tua anggota Muhibah Angklung yang bisa membantu memberikan bantuan. Sejumlah biaya juga ditutup lewat pinjaman dari beberapa teman-teman.

Ketika ditanya apakah tidak mendapat bantuan dari pemerintah Indonesia lewat kementrian atau lembaga terkait pariwisata dan budaya untuk mendapatkan biaya operasional, Maulana mengatakan sudah mencoba.

“Saya pernah datang ke kantor-kantor mereka, mengajukan proposal, tapi jawabannya, ‘Oh kalau seperti ini sih, anggaran kami sudah ditutup tahun ini, biasanya harus mengajukan setahun sebelumnya’,” kata Maulana

Maulana mengaku jika kelompok angklungnya tidak pernah meminta bayaran untuk tampil di luar negeri, karena hanya membutuhkan dana untuk menutupi biaya pengeluaran mereka, seperti transportasi.

“Untungnya untuk di Australia, biaya akomodasi kami nol karena menginap di rumah warga Indonesia dan di atas bus.”

Sementara itu dari informasi yang diketahui oleh ABC, meski acara di KJRI Melbourne gratis, tapi Paguyuban Pasundan berhasil mengumpulkan dana dari sumbangan para penonton yang hadir sebanyak $400, senilai Rp 4 juta, yang semuanya diberikan sebagai ‘bekal’ kepada anggota Muhibah Angklung.

Di Australia, Muhibah Angklung akan tampil di Australian National University (ANU) di Canberra, Senin malam (22/01). Kemudian mereka akan tampil di Indoz Festival, tepat di Queen Street Mall, pusat kota Brisbane, Kamis sore (25/01).

Perjalanan mereka akan berakhir di Sydney, yang rencananya akan tampil di Illawarra Folk Festival.

Orang-orang duduk di atas rumput sambil menikmati penampilan angklung
Suasana saat Muhibah Angklung tampil di halaman gedung KJRI Melbourne, Sabtu sore (20/01)

Foto: ABC News, Erwin Renaldi

Demi lestarikan angklung

Kesenian angklung asal Jawa Barat dimasukkan dalam daftar warisan budaya dunia oleh badan PBB, UNESCO pada tahun 2010. Di tahun 2016 pihak UNESCO mendatangi Indonesia untuk melihat apakah ada upaya untuk melestarikan angklung dengan serius atau tidak.

Menjaga status bergengsi dari UNESCO inilah yang menjadi satu-satunya semangat bagi Maulana dan rekan-rekannya di Muhibah Angklung untuk terus berupaya memperkenalkan dan mengingatkan kesenian angklung bagi warga asing dan warga Indonesia di luar negeri.

“UNESCO memantau secara berkala untuk melihat apakah benar atau tidak jika kita memainkan dan melakukan upaya edukasi, saya pernah termasuk yang dipanggil sebagai perwakilan dari komunitas-komunitas angklung dengan UNESCO.”

Menurutnya jika komunitas-komunitas angklung tidak terus menerus melakukan upaya pelestarian ini maka status tersebut bisa dicabut, bahkan lebih parah angklung bisa terancam diakui oleh negara lain.

“Sebelum tahun 2010, saya pernah membawa angklung ke kota Aberdeen [Skotlandia] untuk melakukan pelatihan. Lalu ada seseorang yang membawa angklung dan ia mengatakan jika dirinya tak tahu kalau alat musik ini bernama angklung dan berasal dari Indonesia.”

“Orang tersebut mengatakan jika ia punya alat musik yang sama yang dibelinya di Malaysia, dengan sebutan Bambu Malay. Saya lihat bambunya berwarna kuning dan begitu dibunyikan jauh berbeda. Karena bambu yang bisa dimainkan merdu itu tidak bisa sembarangan, tapi bambu hitam yang berasal dari tanah Jawa,” jelas Maulana.