ABC

Berbagi Inspirasi Sekolah Menyenangkan

Muhammad Nur Rizal adalah inisiator Gerakan Sekolah Menyenangkan dan baru-baru ini dia diundang ke Kedutaan Besar Australia di Jakarta untuk menjelaskan gerakan yang dibuatnya tersebut, dan bertukar pikiran dengan para pegiat dan pemerhati pendidikan.

Sudah dua kali saya diundang di Kedutaan Besar Australia di Jakarta dalam Program “Principle Leture Series” untuk bertukar pengetahuan dan pengalaman praktik sekolah yang menyenangkan dan aman kepada puluhan Kepala Sekolah, Pengawas serta Aktivis LSM Pendidikan di Jakarta.

Pada acara ini juga mengundang Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan RI, Komisi Perlindungan Anak Indonesia dan Gerakan Sekolah Menyenangkan (GSM), gerakan akar rumput yang terinspirasi nilai-nilai sekolah Australia yang sejalan dengan Ajaran Ki Hadjar Dewantoro untuk diterapkan di Indonesia.

Sekitar dua puluh lebih sekolah dasar di Daerah Istimewa Yogyakarta menjadi piloting sekolah jejaring GSM.   

SD Negeri Tiimbulharjo yang mendesain kelas yang punya ruang bergerak dan berkolaborasi
Contoh yang dilakukan anak-anak di SD Negeri Tiimbulharjo di Yogyakarta dimana kelas mereka didesain untuk memiliki ruang bergerak dan berkolaborasi

Foto: Istimews

Acara di Kedutaan Besar Australia di Jakarta ini mendapatkan tanggapan yang positif dari peserta. Berbagai pertanyaan yang diajukan menunjukkan ketertarikan mereka dengan isu yang dibahas.

Besarnya animo peserta oleh karena materi yang disampaikan sangat relevan dengan persoalan kekerasan atau bulying yang terjadi di sekolah-sekolah mereka.

Data Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) menyebutkan bahwa lebih dari 80 persen anak di Indonesia mengalami kekerasan atau bullying.

Data serupa dilaporkan oleh Lembaga PLAN yang dirilis awal Maret 2015 menunjukkan fakta mencengangkan bahwa 84 persen anak di Indonesia mengalami kekerasan di sekolah.

Para peserta yang notabene adalah pendidik atau aktivis cukup terkejut dengan data kekerasan yang disampaikan oleh Wakil Ketua Komisi Perlindungan Anak Indonesia yang turut menjadi pembicara.

SD Muhamadiyah Sidoarum menghargai keunikan dan bakat anak di kelas 6
SD Muhamadiyah Sidoarum di Yogyakarta menghargai keunikan dan bakat anak di kelas 6.

Foto: Istimewa

Peserta mempertanyakan tindakan revolusioner apa yang harus dilakukan oleh bangsa ini untuk memutus mata rantai kekerasan di sekolah itu?

Pembicara lain dari Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan RI menjelaskan bahwa Pemerintah telah meluncurkan berbagai peraturan untuk menciptakan ekosistem sekolah yang kondusif, yakni Peraturan Mentri (Permen) Nomor 23/2015 tentang Program Penumbuhan Budi Pekerti dan Permen nomor 18 tahun 2016 tentang Program Pengenalan Lingkungan Sekolah untuk mengganti kegiatan ‘masa orientasi sekolah’ yang ditengarai sarat kekerasan oleh Kakak Senior kepada siswa baru.

 “Kita menginginkan hal-hal praktis yang mudah dilakukan oleh guru dan siswa secara luas”  tanggap peserta diskusi.

Sebagai pembicara terakhir, saya menangkap keinginan kuat guru untuk merubah pola pendidikan yang selama ini terlalu menekan siswa yang berakibat pada maraknya kekerasan.

Indonesia memang sedang menghadapi peningkatan kekerasan akibat lunturnya sikap keberagaman dan kelenturan masyarakat terkait kompleksitas dan tekanan sosial saat ini.

Lembaga UNICEF PBB menyebutkan bahwa satu dari tiga anak perempuan atau satu dari empat anak laki-laki Indonesia mengalami kekerasan. Walaupun data ini tidak menggambarkan potret sesungguhnya, namun tren angkanya masih lebih tinggi dibandingkan di Asia.

“Dalam Gerakan Sekolah Menyenangkan ada beberapa prinsip dan praktik yang dapat membantu sekolah untuk mengurangi kekerasan dengan menciptakan budaya pembelajaran yang positif dan menyenangkan” jawab saya kepada peserta.

Prinsip pertama adalah menciptakan  ruang fisik dan emosi yang seimbang.

Berdasarkan penelitian yang dilakukan di Gerakan Sekolah Menyenangkan oleh Novi Candra, Dosen Psikologi UGM (Kandidat PhD di Universitas Melbourne) menyatakan bahwa ruang kelas yang kaku, kamar mandi yang kotor dan berbau, lorong yang gelap dan minimnya tempat bermain adalah faktor utama yang membuat anak tidak betah di sekolah.

Menurut penelitian tersebut, sering dijumpai bahwa kekerasan pada umumnya dilakukan di tempat-tempat yang gelap dan terpencil di sekolah. Jauh dari pengawasan guru atau orang tua seperti di kamar mandi, lorong sekolah atau kebun belakang sekolah.

Sehingga sekolah di jejaring GSM didorong untuk mendisain ulang lorong dan tempat bermain yang dimilikinya menjadi tempat untuk memajang hasil kreasi belajar anak-anak. Sehingga tempat itu menjadi lebih ramai dan meriah agar tidak lagi digunakan untuk melakukan tindakan kekerasan.

Ketika kamar mandi lebih bersih dan wangi, anak-anak tidak ragu untuk membersihkan diri mereka selama di sekolah. Dan ketika ruang kelasnya lebih dinamis dan memiliki ruang bergerak yang cukup, maka anak-anak akan lebih betah belajar karena kelasnya seolah menjadi rumah kedua mereka.

Prinsip kedua adalah membangun keterlibatan siswa (Student Engagement) dalam proses belajar akan menumbuhkan rasa kepemilikan dan tanggungjawab anak-anak selama di kelas atau sekolah.

Ketika anak dilibatkan dalam membuat berbagai kesepakatan belajar hingga membuat tata aturan kelas atau sekolah, anak-anak merasa dihargai sebagai warga komunitas sekolah. Peran mereka tidak lagi hanya sebagai “obyek” melainkan pelaku utama (subyek) di sekolah.

Anak-anak juga dilatih untuk menerapkan model konsekuensi – apresiasi bagi mereka yang melanggar atau mentaati kesepakatan.

*Tulisan ini merupakan pendapat pribadi. Muhammad Nur Rizal Alumni PhD Monash Australia dan Inisiator Gerakan Sekolah Menyenangkan.