ABC

Bendera Bintang Kejora Berkibar 1,5 Jam di Kantor Bupati Deiyai

Sejumlah massa mengibarkan bendera bintang kejora yang merupakan simbol gerakan Papua Merdeka di kantor bupati Deiyai dalam aksi serentak di sejumlah tempat di Indonesia, Senin (26/8/2019). Bendera tersebut berkibar sekitar 1,5 jam sebelum diturunkan.

Seorang koordinator aksi Yosep Iyai kepada kantor berita Reuters menjelaskan, sedikitnya 5000 orang ikut aksi di Deiyai, yang terletak sekitar 500 km dari ibukota Papua, Jayapura.

“Di kantor bupati, bendera bintang kejora dikibarkan sekitar 1,5 jam,” katanya seraya menambahkan, aksi itu sendiri berlangsung secara damai.

Aksi serentak terjadi di Paniai, Dogiayai, Wamena, Yahukimo serta sejumlah kota lainnya di luar Papua seperti di Makassar.

Aksi solidaritas terhadap Papua juga telah digelar sebelumnya di Jakarta, Semarang, Den Haag Belanda, Melbourne dan Alice Springs Australia, serta Port Moresby PNG.

bintang kejora veronica.jpg
Massa aksi demo di Kantor Bupati Deiyai menurunkan bendera Indonesia merah-putih dan mengibarkan bendera Papua bintang kejora selama 1,5 jam, Senin (26/8/2019)

Twitter: @VeronicaKoman

Di Deiyai sendiri, aksi diikuti ribuan orang termasuk warga yang mengenakan pakaian tradisional, yang berbaris di jalan-jalan kota itu.

Aksi massa ini merupakan kelanjutan dari aksi sebelumnya pekan lalu, yang menyebabkan terbakaranya sejumlah fasilitas umum di Papua.

Massa marah dengan penghinaan berbau rasis terhadap mahasiswa Papua yang terjadi di asrama mahasiswa daerah tersebut di Jawa Timur pada 17 Agustus.

Media setempat melaporkan setidaknya lima prajurit TNI telah diskors dan akan diseret ke pengadilan militer terkait kasus di asrama mahasiswa Papua di Surabaya.

Bergeser ke tuntutan referendum

Aksi-aksi ini semakin berkembang dan tampaknya bergeser ke tuntutan untuk menggelar referendum bagi rakyat Papua.

Menurut Gubernur Papua Lukas Enembe, tuntutan referendum itu merupakan “aspirasi rakyat”.

“Orang Papua memiliki harga diri dan martabat. Tindakan rasis tidak kita inginkan di setiap negara termasuk Indonesia,” katanya usai bertemu dengan Presiden Joko Widodo di Istana Negara Jakarta, Senin (26/8/2019).

Tindakan rasis yang dia maksudkan itu merujuk ke aksi serangan terhadap asrama mahasiswa Papua di Surabaya, ketika ada oknum yang melontarkan kata “monyet” kepada para mahasiswa Papua.

Video kejadian dengan kata-kata “monyet” yang jelas terdengar itu beredar luas di Papua dan menyulut kemarahan warga di sana.

papua aust.jpg
Sejumlah warga di Alice Springs Australia menunjukkan dukungan mereka bagi gerakan Papua Merdeka.

Twitter: @VeronicaKoman

Pada Senin 19 Agustus, terjadilah aksi demonstrasi besar-besaran di Manokwari (ibukota Papua Barat) dan Jayapura (ibukota Papua). Aksi di Manokwari berlangsung rusuh.

Pada hari yang sama, kerusuhan juga pecah di Kota Sorong, sekitar 300 km dari Manokwari, ketika massa menggereduk bandara dan membakar penjara yang menyebabkan ratusan rapi melarikan diri.

Hari Selasa, aksi masih juga berlangsung di sejumlah lokasi di Papua. Kemudian pada hari Rabu pekan lalu, ratusan massa turun ke jalan di Kota Fakfak, dan pasar setempat habis terbakar hari itu.

Pada hari yang sama pemerintah RI menurunkan 900 personel Brimob dan 300 prajurit TNI ke Manokwari dan Sorong.

Sedangkan Kementerian Komunikasi dan Informatika RI pada hari itu juga memblokir “layanan data telekomunikasi” di Papua dengan dalih “membantu proses pemulihan keamanan dan ketertiban”.

Aktivis HAM Veronica Koman menjelaskan, tuntutan referendum yang muncul sekarang bukan hal yang mengagetkan.

“Gelombang aksi raksasa saat ini sebetulnya hanya akumulasi, penumpukan dari konflik yang berkepanjangan, dan salah satu akar konfliknya adalah sejarah integrasi yang tidak beres,” ujar Veronica saat dihubungi jurnalis ABC Farid M. Ibrahim, Selasa (27/8/2019).

Yang jelas, katanya, aksi-aksi yang terjadi sekarang semuanya mengerucut kepada tuntutan referendum untuk penentuan nasib sendiri.

“Pemerintah Indonesia perlu duduk sejajar dengan orang Papua, mereka minta referendum, ya cobalah itu dibahas,” katanya.

Pendekatan keamanan dalam menyelesaikan permasalahan ini, menurut dia, justru akan menyuburkan gejolak lagi.

“Hak menentukan nasib sendiri itu adalah jenis HAM yang fundamental dan juga Indonesia berhutang pada orang Papua karena dulu Pepera tidak dijalankan sesuai standar internasional, jadi saya kira orang Papua memang berhak untuk itu,” papar Veronica Koman.

Simak berita lainnya dari ABC Indonesia.