ABC

Benarkah Susu Kecoa Lebih Berkhasiat dari Susu Sapi?

Selama dua tahun terakhir, kabar tentang “susu” kecoa banyak dibahas di berbagai media.

Contoh terbaru yaitu pembahasan di tabloid Daily Mail pada Mei 2018 di Australia.

Judulnya pun cukup menantang: “Beetlejuice untuk sarapan? Para ahli mengatakan susu KECOA bisa menjadi tren terbaru dan mengklaim rasanya seperti susu sapi”.

Sub judul artikel itu bahkan menyebutkan: “Susu kecoa mungkin merupakan makanan super terbaru setelah penelitian menemukan nilai gizinya yang tinggi”.

Ada apa dengan semua ini? Apakah “susu” kecoa merupakan makanan super? Apakah kecoak bahkan menghasilkan “susu”?

Susu didefinisikan sebagai cairan, berasal dari kelenjar susu mamalia.

Selama ini kita agak longgar dalam melabel produk susu, mengingat adanya “susu kedelai”, “susu beras”, dan “susu almond”.

Apakah kecoa memiliki kelenjar susu?

Untuk menjawab hal ini, kita harus melihat kembali bagaimana kecoa mengasuh anak-anaknya.

Ada tiga pilihan utama seekor kecoa dalam membesarkan bayinya.

Pertama, menyimpan telurnya di suatu tempat yang aman. Kedua, menempelkan telurnya di bagian luar tubuhnya.

Pilihan ketiga yaitu menyimpan telur-telurnya di dalam semacam kantung kecil sampai telur-telur itu siap menetas.

Mirip dengan apa yang terjadi dengan bayi kanguru yang dibesarkan di kantong induknya.

Diketahui bahwa hanya satu spesies kecoa yang menggunakan pilihan ketiga ini. Yaitu kecoa kumbang Pasifik, yang ada di Australia.

Di dalam kantung seekor induk kecoa, ada sekitar 9–12 embrio.

Untuk memberi makanan pada embrio-embrio ini, induk kecoa cukup mengeluarkan cairan melalui dinding kantung induk agar embrionya bisa minum.

Cairan ini sangat kaya lemak, protein dan karbohidrat. Sama seperti susu sapi.

Pacific beetle cockroach (Diploptera punctata)
Kecoa kumbang Pasifik (Diploptera punctata) menghasilkan "susu" untuk makanan anaknya.

Flickr: Arthur Chapman

Tidak semua cairan ini langsung diserap oleh bayi kecoa. Mereka mengubah sebagian di antaranya menjadi kristal kecil.

Kristal-kristal inilah, yang dirujuk oleh media Daily Mail, dan memicu klaim mengenai makanan super.

Pada tahun 2016, tim dari India, AS, Jepang dan Perancis menerbitkan makalah dalam International Union of Crystallographers Journal.

Para peneliti ini meneliti kristal di dalam perut embrio kecoa.

Dalam ringkasan makalah ini ada ungkapan “protein susu kristalin”. Kini kita mendengarnya sebagai “susu kecoa”.

Media lainnya seperti Inverse pun menulis tentang “susu” kecoa.

Judulnya: “Semuanya Tenang. Susu Kecoa Belum Mendominasi”, dengan sub judul: “Kami melaporkan bahwa ini bahkan bukanlah susu sebenarnya”.

Media ini juga menunjukkan bahwa untuk mendapatkan 100 ml (atau secangkir) “susu” kecoa, dibutuhkan lebih dari 1.000 induk kecoa.

Dari mana asalnya disebut makanan super?

Artikel jurnal yang memuat hasil penelitian itu menyatakan bahwa “susu” kecoa mengandung banyak lemak (sekitar 20 persen dari berat kering), jadi sangat tinggi kalori atau kilojoule.

Dan mungkin hal itulah yang mendorong adanya penyebutan sebagai makanan super baru.

Penyebutan ini salah satunya didasarkan atas fakta adanya kandungan energi empat kali lebih banyak daripada susu sapi.

Tetapi jika kita menginginkan kandungan energi, mengapa hanya di susu? Kandungan energi tertinggi yang bisa kita dapatkan justru ada di minyak murni, seperti minyak zaitun, yang 100 persen lemak.

Kami juga harus menunjukkan bahwa “susu” kecoa belum pernah diujicobakan pada manusia.

Karena itu, tidak pernah diketahui apakah akan memberi manfaat kesehatan. Jadi tidak mungkin untuk mendukung klaim “susu” kedelai sebagai sebagai makanan super saat ini.

Pembahasan tabloid Daily Mail bahwa “rasanya persis seperti susu sapi” berasal dari seorang ahli biokimia.

Dia rupanya diwawancara oleh National Public Radio di AS, dan mengaku bahwa seorang rekannya mencicipi sedikit “susu” kecoa dan menemukan rasanya “tidak terasa apa-apa”.

Namun, semua ini tidak menghentikan tabloid-tabloid tersebut “memerah” ceritanya sendiri dari fakta-fakta yang ada.

Diterbitkan oleh Farid M. Ibrahim dari artikel ABC Australia.