ABC

Belanda Lakukan Banding Atas Kasus Penyiksaan Pejuang Indonesia di Tahun 1947

Dua tahun lalu Yaseman, seorang petani berusia 89 tahun di kota Malang (Jawa Timur) memberikan kesaksian atas penyiksaan yang dialaminya oleh tentara Belanda di tahun 1947.

Lewat Skype ditemani cucunya Iswanto, Yaseman memberikan kesaksikan kepada majelis hakim di Pengadilan Distrik di Den Haaq (Belanda) atas gugatan untuk mendapatkan kompensasi atas siksaan yang diterimnya.

Sambil tubuhnya sesekali bergetar karena emosi dan usia tua, Yaseman menceritakan kepada hakim bagaimana tentara Belanda menahannya selama lebih dari setahun dan menyiksanya pada tahun 1947, ketika dia masih berusia 17 tahun.

Pasukan Belanda – yang ketika itu berusaha kembali menguasai Indonesia setelah Indonesia menyatakan kemerdekaan di tahun 1945 – menangkap Yaseman karena dicurigai menjadi pejuang untuk mempertahankan kemerdekaan Indonesia.

Yaseman menunjukkan cedera kepalanya
Yaseman mengatakan tentara Belanda memukul kepalanya dan memberinya luka bakar rokok.

Supplied: Komite Yayasan Hutang Kehormatan Belanda

Salah satu siksaan yang diterimanya adalah pukulan menggunakan kayu oleh tentara di bagian tengkorak kepalanya dan juga sundutan rokok di bagian kepalanya.

Ketika para hakim meminta untuk menunjukkan bukti, Yaseman menunjukkan dua bekas luka berbentuk bulat di kulit kepalanya.

Yaseman mengajukan gugatan sejumlah penyiksaan lain termasuk dia disuruh minum air terus menerus sampai perutnya kembung sebelum kemudian perutnya ditendang.

Yaseman juga mengalami sengatan listrik. Kepada hakim dia menjelaskan seutas tali yang terhubung ke mesin kecil dilekatkan di jarinya dan mengirimkan sengatan listrik ke tubuhnya.

“Kejutan listrik itu siksaan yang paling parah,” kata Yaseman seperti dikutip dalam dokumen pengadilan yang diterjemahkan.

“Anda bisa mengatasi satu pukulan, saya masih bisa mengatasinya.

“Tapi sengatan listrik itu mengalir ke seluruh tubuh dan rasa sakitnya berlangsung terus menerus. “

Kisah penyiksaan yang meyakinkan

Yaseman berusia 89 tahun ketika dia memberikan bukti-bukti kekerasan yang dialaminya.

Meskipun usian sudah lanjut dan fisiknya sudah tidak segar lagi, dia mampu menceritakan kisahnya dengan rincian yang sangat jelas.

“Dia memiliki ingatan yang tajam,” kata cucunya, Iswanto, yang duduk di sampingnya di “ruang sidang virtual”.

“Dia sering membicarakan masa lalunya. Setiap kali seseorang datang, teman, tetangga, kerabat, dia akan menceritakan kisahnya kepada siapa pun yang mau mendengarkan.”

Namun sebelum majelis hakim memutuskan kasus tersebut, Yaseman meninggal beberapa bulan setelah memberikan kesaksian.

Bulan Juli 2018, Pengadilan Belanda membuat keputusan bahwa tentara Belanda di tahun 1947 memang telah menyiksa Yaseman.

Korban penyiksaan Yaseman
Yaseman berusia 89 tahun ketika dia memberikan bukti di depan Pengadilan Distrik di Den Haag.

Supplied

Pengadilan mengatakan menerima bukti bahwa Yaseman memang dipukul dan disundut rokok namun klaim sengatan listrik dan penyiksaan dengan air, pengadilan mengatakan tidak bisa membuktikanya.

Dalam putusan itu, pengadilan mengakui penggunaan metode penyiksaan seperti itu “sangat mungkin terjadi”.

Pemerintah Belanda diperintahkan untuk membayar ganti rugi $AUD 12.000 atau sekitar Rp 125 juta.

Atas keputusan pengadilan tersebut, pemerintah Belanda sekarang mengajukan banding, hal yang memicu kemarahan dari pihak keluarga maupun pengacara Yaseman.

“Ini adalah fakta yang diketahui bahwa Belanda terlibat dalam penyiksaan besar-besaran selama perang kemerdekaan,” kata pengacara Yaseman di Amsterdam, Liesbeth Zegveld.

“Dari semua korban, hanya satu yang terdaftar di pengadilan, dan itu adalah Pak Yaseman.

“Sungguh memalukan bahwa negara tidak akan bertanggung jawab, bahkan untuk kasus yang satu ini.”

Sejarah penyiksaan

Dibanding negara lain, Belanda sebenarnya dianggap sebagai ibukota keadilan global.

Pengadilan Kriminal Internasional di Den Haag secara rutin memberikan putusan tentang pelanggaran hak asasi manusia di seluruh dunia, termasuk genosida, pembersihan etnis dan kejahatan lain terhadap kemanusiaan.

Tetapi kasus Yaseman telah menghidupkan kembali perdebatan tentang masa lalu penjajahan yang dilakukan negara itu sendiri dan menimbulkan pertanyaan apakah Belanda telah sepenuhnya mengakui sejarahnya tentang penyiksaan yang terjadi selama penjajahan itu.

Pemerintah Belanda tidak membantah hal tersebut meski berpendapat bahwa tidak ada bukti bahwa luka-luka Yaseman disebabkan oleh pasukan Belanda, karena para pejuang Indonesia juga melakukan kekejaman selama perang kemerdekaan.

Tentara Belanda selama 'aksi polisi' di Indonesia pada tahun 1947
Tentara Belanda di Malang, Indonesia, pada 24 Juli 1947, yang selama operasi "tindakan polisi".

Arsip Nasional Belanda

Liesbeth Zegveld mengatakan pemerintah Belanda akan menggunakan alasan bahwa sebuah kasus tidak bisa diajukan ke pengadilan bila sudah terjadi lebih dari 70 tahun lalu.

Zegveld berharap alasan itu tidak akan diterima mengingat Pengadilan Pidana Internasional di Den Haag tidak menerapkan batasan waktu seperti itu di tempat lain.

“Belanda ingin dilihat sebagai ibu kota hukum internasional,” kata Zegveld.

“Tetapi ketika menyangkut perilaku mereka sendiri, kemauan politik mereka gagal dan mereka tidak mau melihat apa yang mereka lakukan sendiri.

“Ketika kejahatan dilakukan dalam skala yang luas, dan negara meninggalkan semua korban ini dan tidak melakukan tindak apapun 70 tahun, mereka tidak bisa menggunakan alasan pembatasan waktu kejadian.”

Keputusan Belanda untuk mengajukan banding atas putusan Yaseman juga bertentangan dengan tanggapannya terhadap putusan pengadilan sebelumnya.

Pengadilan Distrik yang sama di Den Haag pada tahun 2011 memerintahkan Belanda untuk memberi kompensasi kepada para janda atau sanak keluarga dari 150 pria yang terbunuh dalam pembantaian di Rawagede di Jawa Barat bulan Desember 1947.

Kasus-kasus itu berakhir dengan paket kompensasi yang sedang diberikan senilai 20.000 Euro kepada para janda yang dapat membuktikan kasus mereka.

Sekitar 50 wanita telah menerima kompensasi.

Pemerintah Belanda kemudian membuat permintaan maaf publik resmi untuk ribuan orang yang ditembak mati pasukan Belanda di Indonesia.

Pengadilan masih mendengar kasus-kasus 20 atau lebih janda lain di Jawa dan Sulawesi, yang juga telah memberikan bukti di “pengadilan virtual”.

Keputusan tentang klaim mereka diharapkan awal tahun depan.

Dan tak terhitung banyaknya kasus yang diajukan oleh anak-anak dari mereka yang dieksekusi, yang mungkin juga berhak mendapatkan kompensasi.

Pasukan Belanda di Singasari selama 'aksi polisi'
Tentara berpatroli di jalan-jalan Singasari pada 24 Juli 1947.

Arsip Nasional Belanda

Picu preseden

Lisbeth Zegveld mengatakan sekarang pemerintah Belanda mengajukan banding terhadap kasus Yaseman karena untuk mencegah adanya kasus-kasus baru serupa yang akan diajukan.

“Mereka ingin pengadilan banding memutuskan bahwa batas waktu 70 tahun setelah peristiwa itu, jadi sudah terlambat untuk membawa kasus semacam ini ke pengadilan, dan bahwa batasan waktu harus diterapkan selayaknya dalam kasus lain,” katanya.

“Negara seharusnya tidak diizinkan untuk mengajukan alasan seperti ini.”

Satu LSM yang mewakili para penggugat asal Indonsia mengatakan bahwa Pemerintah Belanda menolak untuk bertanggung jawab atas tindakan pasukan Belanda selama perang mempertahankan kemerdekaan di Indonesia tahun 1945-1949.

“Banding ini menunjukkan bahwa Belanda masih tidak bertanggung jawab atas apa yang terjadi di sana,” tulis ketua LSM bernama Foundation Committee of Dutch Debts of Honour Jeffry Pondaag.

“Tidak diragukan lagi bahwa ini adalah pelanggaran besar hak asasi manusia. “

Pemerintah Belanda mempertahankan diri mengatakan mereka terhadap menghormati hak asasi manusia internasional dan supremasi hukum.

Tahun 2016 Belanda mengumumkan penyelidikan tentang kekejaman yang dilakukan pada hari-hari terakhir pemerintahan kolonialnya di Indonesia dan memperingatkan penyelidikan dapat membuktikan “menyakitkan” bagi veteran Belanda dari periode itu.

“Belanda menempatkan nilai tinggi untuk melindungi dan mempromosikan hak asasi manusia, hukum internasional dan supremasi hukum,” kata Perdana Menteri Mark Rutte pada saat itu.

Tapi Jeffry Pondaag mempertanyakan penyelidikan independent tersebut, mengingat bahwa salah satu dari tiga lembaga penelitian yang terlibat – Institut Belanda Sejarah Militer – berada di bawah kendali langsung Kementerian Pertahanan Belanda.

NMIH “mendukung negara dalam menentang dan menolak klaim seperti Yaseman,” ia menulis dalam sebuah surat kepada Pemerintah tahun lalu.

Penyelidikan pemerintah Belanda ini baru akan menerbitkan laporan beberapa tahun lagi.

Simak beritanya dalam Bahasa Inggris disini.