ABC

Belajar Memfasilitasi Kaum Difabel Dari Australia

Irpan Rustandi, Ni Putu Mahyuni dan Rini Rindawati berkesempatan mengenyam studi singkat di Australia tahun 2016 untuk memelajari manajemen organisasi penyandang disabilitas.

Di Sydney, ketiganya tak hanya belajar secara formal namun juga merasakan pengalaman kehidupan yang berbeda dari negara asal.

Pepatah bijak ‘Jangan jadikan keterbatasan sebagai penghalang’ agaknya benar-benar dihayati oleh Rini Rindawati, perempuan penyandang disabilitas asal Bantul, Yogyakarta.

Berbekal dorongan dari sang atasan di Sentra Advokasi Perempuan Difabel dan Anak (SAPDA) dan kemauan yang kuat, Rini memberanikan diri untuk mendaftar beasiswa studi singkat di Australia. Ia-pun akhirnya terpilih untuk berangkat ke Sydney di awal tahun 2016.

Rini bercerita, ia mulai menyandang disabilitas sejak usia 2,5 tahun akibat lumpuh kaki kiri yang disebabkan polio, namun baru menggunakan tongkat di tahun 2009.

“Dulu saya sering terpeleset, jatuh di tangga dan akumulasi pernah kecelakaan motor. Baru sadar kalau (menyandang disabilitas) ketika SMA. Itupun diingatkan oleh guru olahraga yang membedakan perlakuan ketika olahraga,” tuturnya kepada Nurina Savitri dari ABC Australia Plus.

Rini, begitu pula Irpan Rustandi dan Ni Putu Mahyuni adalah penerima beasiswa Studi Singkat Kepemimpinan Organisasi dan Praktek Manajemen untuk Organisasi Penyandang Disabilitas dari Pemerintah Australia.

Beasiswa ini membawa ketiganya menempuh studi singkat selama sekitar 2 minggu di Universitas Sydney.

Irpan Rustandi berharap agar Pemerintah Indonesia bisa lebih memberdayakan kaum difabel.
Irpan Rustandi berharap agar Pemerintah Indonesia bisa lebih memberdayakan kaum difabel.

Supplied

Di negeri tetangga, ketiganya mempelajari bagaimana merubah paradigma berpikir mengenai kaum difabel dan disabilitas baik di tingkat masyarakat, pemerintah dan antar penyandang disabilitas, pekerjaan yang tak mudah menurut penuturan Rini.

Sementara bagi Ni Putu Mahyuni yang akrab disapa Ayuk, pengalaman beasiswa ini memberinya cakrawala baru.

“Pengaruh terbesar adalah koneksi atau hubungan atau jaringan ke organisasi disabilitas yang lain menjadi lebih luas, sehingga kami bisa mengembangkan program lebih luas,” ujar perempuan yang ketika menempuh studi tersebut masih menjadi relawan di Yayasan Damai Olahraga Bali.

Ketika ditanya mengenai kondisi penyandang disabilitas Australia dan perbedaannya dengan di kondisi di tanah air, ketiganya menyebut soal inklusivitas dan akses.

“Masyarakat dan Pemerintah di Australia sangat paham akan inklusivitas. Contohnya ketika kita melakukan kunjungan ke pemerintah kota Sydney ternyata Pemerintah Kota Sydney mempunyai panel penasehat penyandang disabilitas yang anggotanya semua penyandang disabilitas, sehingga kota Sydney sangat ramah terhadap penyandang disabilitas,” jelas Irpan, mantan Manajer Program di Perkumpulan Penyandang Disabilitas Indonesia (PPDI).

Ni Putu Mahyuni ketika belajar di Australia.
Ni Putu Mahyuni ketika belajar di Australia.

Supplied

Bagi Irpan, keberpihakan dari pemerintah terutama dalam hal pengakuan akan eksistensi penyandang disabilitas begitu penting.

Ayuk lantas menimpali agar fasilitas pendidikan seperti sekolah inklusi bisa disediakan lebih memadai.

“Sehingga kaum difabel Indonesia mampu bersaing dalam mendapatkan peluang pekerjaan. Saat ini yang saya ketahui sekolah inklusi tidak berjalan sempurna,” sebutnya.

Rini (jilbab hijau) bersama kawan-kawannya di Australia.
Rini (jilbab hijau) bersama kawan-kawannya di Australia.

Supplied

Di luar pengalaman studi, Rini juga mengisahkan satu pengalaman berkesan yang ia alami.

“Ketika di Jakarta, saya ditawari akan memakai alat bantu untuk mobilitas seperti apa. Saat itu, ada tawaran kursi roda, kruk, dan seterusnya. Informasi yang saya dapat adalah lokasi kelas dan asrama sangat dekat, hanya 5 menit.”

“Karena berfikir sangat dekat saya memilih untuk pakai kruk saya saja. Dan ketika sampai di Australia, setelah ada orientasi kelas dan asrama, kemudian dibagikan kursi roda. Teman-teman dibagikan kursi roda listrik. Saya kemudian mendapat kursi roda biasa.”
Ia lalu menuturkan, “Ketika saya memakai kursi roda tersebut dari asrama menuju kelas, tangan yang tak biasa mengayuh menjadi kram dan tidak bisa dipakai untuk menulis apalagi waktu tempuhnya bukan 5 menit lagi tapi 20 menit.

Keesokan harinya dengan rasa pegal-pegal di lengan, saya memakai kruk. Biasanya hanya 1 kemudian saya meminta bantuan 2 kruk kepada panitia.”

“Dan 2 kruk itulah yang menemani saya selama studi singkat. Lumayan menguruskan badan ketika harus olahraga dari asrama ke kelas dan sebaliknya,” ujarnya sambal terkekeh.

Beasiswa Studi Singkat Kepemimpinan Organisasi dan Praktek Manajemen Untuk Organisasi Penyandang Disabilitas seperti yang didapatkan Rini, Ayuk dan Irpan, kini dibuka kembali untuk periode belajar 2018.

Pendaftaran terakhir ditutup pada tanggal 22 September 2017 dan bias diakses lewat situs Austtralia Awards Indonesia