ABC

Belajar dari Pengaturan Kelas Sekolah di Australia

Yuna Kadarisman yang sedang melanjutkan pendidikan S2 di Monash University di Melbourne baru-baru ini mengunjungi beberapa sekolah di negara bagian Victoria. Sebagai guru yang sudah lama mengajar di Indonesia, salah satu perhatian Yuna adalah bagaimana interaksi guru dan murid di Australia, berkenaan dengan pengaturan kelas dan lainnya.

Pada akhir tahun 2015 saya berkesempatan untuk berkeliling ke 13 sekolah di daerah pedesaan di Victoria. Saya mengikuti program Rural Professional Experience – Placement Program (RPE-PP) yang dikoordinasi oleh Melanie Craig dari Monash University.

Tidak seperti para mahasiswa Placement Program yang harus mengajar di satu sekolah selama tiga minggu, saya hanya berkunjung dari satu sekolah ke sekolah lain, berdiskusi dengan guru, siswa, dan pemangku kebijakan, dan mengamati jalannya proses pendidikan pada hari itu.

Pada beberapa sekolah saya sempat duduk selama jam pelajaran berlangsung dan mengamati bagaimana siswa dan guru berinteraksi. Di lain kesempatan saya duduk berdiskusi tentang sistem pendidikan Australia.

Saya juga bertemu dengan mahasiswa program RPE – PP ini. Saya ikut mendengarkan bagaimana mereka berusaha untuk belajar sebanyak mungkin dari tiga minggu kesempatan untuk menjadi bagian dari sekolah tempat mereka ditugaskan. Dan semua pengalaman ini menjadi suatu pengalaman yang luar biasa bagi saya sebagai seorang guru madrasah dari Indonesia.

Yuna Kadarisman sebelumnya mengajar di MAN Insan Cendekia di Serpong.
Yuna Kadarisman sebelumnya mengajar di MAN Insan Cendekia di Serpong.

Namun tujuan utama saya bukan untuk mengagumi sistem pembelajaran Australia. Saya bukan datang untuk terkesima lalu berbangga hati karena saya sedang belajar di salah satu negeri dengan sistem pendidikan terbaik di dunia.

Saya datang untuk mencari, apa yang bisa saya terapkan di Indonesia, untuk membantu memajukan pendidikan di Indonesia. Saya yakin, ada banyak hal yang bisa dipelajari, dan diterapkan.

Ruang Kelas Yang Fungsional

Ada kesamaan dari seluruh sekolah yang saya datangi. Tidak ada yang membiarkan pengunjung untuk menikmati dinding sekolah yang bersih dan mulus. Semua bagian sekolah difungsikan sebagai ruang belajar. Dinding, baik didalam maupun dilorong kelas dimanfaatkan sebagai ruang pajang hasil kreasi siswa.

Bahkan terkadang langit-langit kelas dan sekolah juga tak luput digunakan sebagai tempat untuk menggantung hasil karya siswa. Kemanapun siswa menoleh, mereka akan senantiasa diingatkan tentang apa yang sudah mereka lakukan di kelas.

Saya pikir, hal semacam ini sangat mungkin diterapkan di Indonesia. Alih-alih membiarkan anak membawa lukisannya pulang, kenapa guru tidak memajangnya dikelas?

Ini bisa berfungsi sebagai hiasan kelas sekaligus mengingatkan siswa atas proses belajar yang sudah berlangsung. Jika jumlah siswa terlalu banyak, sehingga tidak memungkinkan untuk memajang seluruh hasil karya siswa, kumpulkan saja hasil karya mereka untuk dikembalikan di akhir tahun ajaran. Sebagai ganti pengingat kegiatan belajar, guru bisa memajang bahan ajar atau alat peraga yang digunakan.

Lorong kelas di Baimbridge College, Hamilton, Victoria (Foto: Yuna Kadarisman)
Lorong kelas di Baimbridge College, Hamilton, Victoria (Foto: Yuna Kadarisman)

Selain hasil belajar, saya juga melihat guru menampilkan alat belajar di dinding kelas. Kelas matematika memajang rumus-rumus matematika yang akan digunakan sepanjang term (triwulan).

Pada kelas bahasa Perancis, guru juga menghias dinding kelas dengan kata-kata sulit dan ekspresi dalam bahasa Perancis yang akan kerap digunakan.

Rumus-rumus atau informasi penting ini ditempel dengan perekat yang bisa mudah dilepaskan dan ditempelkan kembali. Sehingga, jika saat ulangan berlangsung, beberapa rumus yang memang tidak perlu dipajang bisa diturunkan dan dipasang kembali saat ujian selesai.

Selain alat dan informasi penunjang pembelajaran, saya juga melihat guru memasang daftar yang berisi tugas guru dan siswa selama pembelajaran berlangsung. Siswa bisa dengan mudah memahami tugas dan tanggung jawabnya selama kelas berlangsung, dan guru juga bisa dengan mudah bergerak diantara siswa dan langsung membantu siswa yang membutuhkan perhatian ekstra tanpa harus khawatir siswa lain akan mengganggu jalannya pembelajaran di kelas.

Hal semacam ini juga sangat bisa diterapkan di sekolah Indonesia, terutama pada kelas-kelas besar. Saya bisa membayangkan, saat guru menugasi siswa untuk bekerja kelompok, deskripsi tentang tugas kelompok dan tugas guru yang terpasang di dinding akan memudahkan siswa memahami apa yang harus mereka lakukan dan apa yang diharapkan dapat tercapai selama pembelajaran berlangsung.

Siswa juga memahami bahwa guru akan senantiasa hadir diantara mereka untuk membantu selama proses belajar berlangsung.

Guru kelas di St. Laurence O'Toole Primary School, Leongatha, Victoria memasang tugas siswa dan guru selama pembelajaran. (Foto: Yuna Kadarisman)
Guru kelas di St. Laurence O’Toole Primary School, Leongatha, Victoria memasang tugas siswa dan guru selama pembelajaran. (Foto: Yuna Kadarisman)

Pengaturan kelas yang fleksibel

Pada beberapa sekolah yang memiliki jumlah murid sedikit, sekolah memberlakukan kebijakan composite class. Kebijakan ini menempatkan dua kelas dalam satu ruangan sehingga guru harus mengajar dua kelas dalam waktu bersamaan.

Kelas 2 ditempatkan sekelas dengan kelas 3. Kelas 5 dan kelas 6 digabung. Bahkan ada sebuah sekolah yang menempatkan kelas 2,3, dan 4 dalam satu ruangan. Alih-alih mengganggu atau membuat pusing guru dalam membuat bahan ajar berbeda, pengaturan semacam ini malah membuat kelas menjadi dinamis dan lebih fleksibel dalam memberikan layanan sesuai dengan kemampuan siswa.

Siswa sudah terbiasa duduk dalam kelompok yang berbeda usia. Siswa tidak dikelompokkan berdasarkan kelas. Jika ada 4 kelompok meja di kelas, maka satu meja akan diisi oleh kelas yang berbeda pada waktu yang bersamaan. Mereka saling bantu jika ada kesulitan pelajaran.

Dan guru akan senantiasa bergerak dari kelompok satu ke kelompok lainnya untuk tetap memonitor perkembangan setiap siswa. Guru juga senantiasa siap dengan berbagai bahan ajar untuk berbagai jenis kemampuan.

Pengaturan ini sangat menarik bagi saya, karena alih-alih berbicara pada satu kelompok khusus, kelas 2 atau kelas 3 saja, guru terbiasa untuk berbicara berdasarkan tugas yang diberikan.

Jadi, guru akan berkata, ‘Untuk kalian yang bekerja pada LKS A, tolong perhatikan.’ Dengan demikian, jika LKS ini diperuntukkan bagi kelas 2, kelas 3 yang membutuhkan penjelasan tambahan juga dapat mengerjakan LKS ini tanpa harus merasa minder. Atau, jika LKS ini diperuntukkan bagi kelas 3,  kelas 2 yang memiliki kemampuan diatas teman sebayanya, dapat mengerjakan LKS ini dan mendapatkan ruang lebih untuk mengembangkan kemampuannya.

Pengaturan semacam ini sangat mungkin diterapkan di Indonesia, terutama pada sekolah dengan jumlah siswa sedikit. Alih-alih menggunakan lebih banyak ruang kelas untuk kelas kecil, sekolah bisa menggabungkan kelas-kelas kecil menjadi satu kelas sedang.

Namun perlu diingat, guru harus benar-benar matang dalam perencanaan kelas. Bahan ajar harus benar-benar siap untuk membantu siswa dengan tingkat kemampuan yang berbeda.

Selain itu, guru harus benar-benar memahami kemampuan setiap siswa di kelas agar bisa memberikan pengajaran sesuai kemampuannya dan bukan sesuai dengan usianya. Hal ini mungkin akan butuh banyak persiapan, namun saat pembelajaran berlangsung, saya bisa membayangkan, akan ada banyak siswa terbantu. Siswa yang lemah akan mendapatkan penguatan ekstra, dan siswa yang berkemampuan lebih juga akan lebih tergali kemampuannya.

Ruang kelas di Good Shepherd Junior College, Hamilton yang merupakan composite class. (Foto: Yuna Kadarisman)
Ruang kelas di Good Shepherd Junior College, Hamilton yang merupakan composite class. (Foto: Yuna Kadarisman)

 

* Yuna Puteri Kadarisman adalah mahasiswa Master of Education di Monash University. Yuna memenangkan Allison Sudradjat Prize yang sebagian dimanfaatkan untuk melakukan observasi di sekolah-sekolah di Australia dan Indonesia untuk mengumpulkan praktek pengajaran yang baik dan bermanfaat yang dapat berguna untuk memajukan pendidikan di Indonesia.