Banyak Pasien Gangguan Mental Terlantar di UGD RS Australia
Penanganan masalah kesehatan mental di Australia dinilai gagal memenuhi kebutuhan pasien yang datang ke bagian UGD rumah sakit.
Dalam laporan Australasian College for Emergency Medicine (ACEM) yang dirilis hari Senin (8/10/2018) disebutkan, lebih dari 250 ribu pasien mendatangi bagian UGD RS setiap tahun untuk mendapatkan pertolongan kondisi mental dan perilaku yang mereka alami.
Namun laporan ini menyatakan para pasien itu harus menunggu lebih lama dibandingkan pasien lainnya.
Akibatnya, katanya, pasien gangguan mental kadang meninggalkan UGD sebelum menyelesaikan pengobatannya.
Salah satu kasus dialami anak muda abojirin berusia 20-an yang dibawa ke bagian UGD oleh ayahnya.
“Dia gelisah dan kesal. Dia ingin bunuh diri tetapi tidak mau menjelaskan lebih jauh,” ujar dokter UGD yang menanganinya.
Pasien itu kemudian diperiksa oleh tim dokter yang menempatkannya di ruang UGD karena tidak ada tempat tidur tersedia.
Di hari kedua di UGD, pasien ini melarikan diri. Tak lama kemudian, ada warga yang datang ke UGD, menyampaikan bahwa pria tersebut telah meninggal dunia.
Menurut Ketua ACEM Simon Judkins, sistem kesehatan gagal menangani kelompok pasien yang butuh bantuan atau yang kesulitan membantu diri sendiri.
“Kita harus jujur bahwa kita tak melakukan hal ini dengan baik,” ujar Dr Judkins kepada ABC.
Data Australian Institute of Health and Welfare dari 287 rumah sakit umum menyatakan pasien gangguan mental harus menunggu berjam-jam, kadang berhari-hari di bagian UGD sebelum ditangani.
Pada Juli lalu, pemerintah negara bagian Tasmania misalnya menyebutkan sejumlah pasien gangguan mental harus menunggu selama enam hari.
Bahkan, ada kasus dimana pasien dipaksa tidur di lantai UGD sambil menunggu ketersediaan tempat tidur.
Laporan ACEM menyatakan 90 persen pasien biasa yang datang ke UGD meninggalkan bagian itu dalam tempo tujuh jam. Sementara pasien gangguan mental harus menghabiskan 11,5 sampai 16,5 jam.
“Lambannya pelayanan ini merusak kesehatan dan pemulihan pasien,” ujar Dr Judkins.
Laporan ini juga menyatakan hampir 7.000 pasien gangguan mental meninggalkan bagian UGD sebelum menyelesaikan pengobatannya.
Disebutkan, meski penduduk aborijin hanya 3 persen dari keseluruhan populasi, namun mereka mewakili 11 persen pasien yang datang ke UGD.
Salah seorang warga bernama Fiona Nguyen mengaku pernah merasakan bagaimana beratnya menunggu berjam-jam di UGD.
Selama beberapa tahun ini, Fiona menghabiskan banyak waktu keluar-masuk UGD menyusul trauma akibat kekerasan seksual dan KDRT yang dialaminya.
Dalam setiap KDRT yang dialaminya, dia mengaku berakhir di UGD antara 12 jam hingga beberapa hari lamanya.
Menurut Dr Judkins, bagian UGD di seluruh RS di Australia perlu dipersiapkan menghadapi meningkatnya pasien gangguan mental.
Dia mengatakan bahwa permasalahannya bukan semata pada dokter di bagian UGD. Hal ini, katanya, lebih mencerminkan masalah kesehatan mental yang terus meningkat.
Alison Verhoeven dari Asosiasi Kesehatan dan Rumah Sakit Australia mengatakan sangat disayangkan jika pasien gangguan mental harus menunggu lebih lama untuk mendapatkan pengobatan.
Namun dia menyatakan perlunya dipikirkan klinik alternatif dan tempat aman lainnya bagi pasien gangguan kesehatan mental.
Pada Mei lalu, pemerintah negara bagian Victoria mengumumkan alokasi dana $ 705 juta untuk perawatan kesehatan mental.
Namun Dr Judkins mengatakan program seperti ini perlu dilakukan di tingkat nasional.
Sebanyak 150 dokter bagian UGD, psikiater dan dokter klinik akan bertemu di Melbourne pekan depan untuk membahas solusi permasalahan ini.
Diterbitkan oleh Farid M. Ibrahim dari artikel ABC Australia.