ABC

Banyak Orang Australia tak Tahu Indonesia Negara Demokratis

Pakar hubungan internasional Professor Hugh White menjelaskan, sampai kini banyak pihak di Australia, termasuk di kalangan pemerintah, yang tidak menyadari transformasi Indonesia menjadi negara demokratis dengan pertumbuhan ekonomi tinggi.

Hal itu dikemukakan Prof. White dalam diskusi “Renewing and Managing Australia-Indonesia Relations” hari Selasa (26/5/2015) di kampus Australian National University (ANU).

Diskusi yang digelar Indonesia Synergy, sebuah kelompok mahasiswa PhD di Canberra, juga menampilkan Dr Evi Fitriani, kepala Departemen Hubungan Internasional Universitas Indonesia. Acara yang dimoderatori Awidya Santikajaya, mahasiswa PhD di ANU, ini dihadiri mahasiswa, akademisi, diplomat, kalangan bisnis, wartawan dan masyarakat umum.

Pakar hubungan internasional dari ANU, Prof. Hugh White.
Pakar hubungan internasional dari ANU, Prof. Hugh White.

 

“Sebagaian besar masih menyadari bahwa masa depan Australia tergantung pada Amerika Serikat yang sampai akhir abad 20 memang mendominasi perekonomian dan politik dunia,” ujar Prof. White.

Padahal, katanya, bangkitnya ekonomi China dan negara lain, termasuk Indonesia, telah menjadikan Australia yang memang posisi geografisnya berada di Asia-Pasifik untuk lebih menjalin hubungan dekat dengan negara-negara Asia.

Prof White menambahkan, Indonesia sendiri telah mengalami perubahan drastis ke arah demokrasi dan penghormatan Hak Asasi Manusia yang seharusnya justru menjadikan kedua negara sebagai mitra dekat.

“Diperlukan kesadaran kolektif di Australia untuk mengubah paradigma mengenai Indonesia dengan mengedepankan hubungan yang berdasarkan kesetaraan dan saling pengertian,” kata Prof White.

Suasana diskusi di Indonesia Synergy di kampus ANU Canberra.
Suasana diskusi di Indonesia Synergy di kampus ANU Canberra.

 

Sebaliknya di pihak Indonesia, menurut Dr Evi Fitriani, terdapat kecenderungan baik di kalangan politisi maupun masyarakat umum, untuk tidak menjadikan hubungan dengan Australia sebagai prioritas.

Hal ini, katanya, menyebabkan hubungan kedua negara sering berada dalam kondisi yang tidak stabil dan saling curiga.

"Kecurigaan itu terutama menjadi-jadi ketika Timor Timur meraih kemerdekaan pada tahun 1999 di mana banyak kalangan di Indonesia yang mempersepsikan sebagai hasil campur tangan Australia," ujarnya.

Dalam pandangan Evi, kesenjangan hubungan yang sering terjadi bisa diatasi dengan mengintensifkan hubungan people-to-people. Evi menyoroti kurangnya warga Indonesia yang secara akademik memahami Australia.

“Meskipun terdapat belasan ribu WNI yang saat ini menuntut ilmu di Australia, tidak banyak yang menulis tesis dan disertasi mengenai Australia,” tegas Evi.

Tidak ada pula pusat studi Australia di kampus-kampus di Indonesia. Kondisi ini menyebabkan ketimpangan pemahaman antara kedua pihak.

Evi juga menyebutkan masih banyak potensi hubungan ekonomi dan bisnis Australia-Indonesia yang saat ini belum dioptimalkan, seperti industri kreatif dan kerja sama usaha kecil dan menengah (UKM) antara kedua negara.